Kamis, 20 November 2014

Nihilnya Sikap Melayani

                                           Nihilnya Sikap Melayani

Adli Usuluddin  ;   Pemerhati Masalah Sosial
KORAN TEMPO,  19 November 2014

                                                                                                                       


Revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo seharusnya dimulai dari sikap bersedia melayani. Sayangnya, justru sikap itu belum terlihat dalam pelayanan publik di negeri kita.

Pada awal November lalu, saya mengurus asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dari tiga anggota keluarga, istri saya ditolak ketika mendaftar. Kenapa? Menurut petugas, Nomor Induk Kependudukan (NIK) milik istri saya tak terdaftar dalam database kependudukan.

Usut punya usut, kesalahan memang terletak pada NIK istri saya. Yang tercatat dalam database kependudukan adalah NIK baru yang disesuaikan dengan e-KTP. Sialnya, akibat ketidakakuratan proses input, justru NIK pada KTP elektronik itu salah. 

Kita tahu, setiap penduduk memiliki satu NIK dan itu melekat seumur hidup. NIK terdiri atas 16 digit angka. Enam digit pertama merupakan kode wilayah, 6 digit kedua tanggal lahir (dd/mm/yy atau hari/bulan/tahun), sedangkan 4 digit terakhir adalah nomor urut. Untuk warga negara berjenis kelamin perempuan, tanggal lahir ditambah bilangan 40.   

Istri saya lahir pada 6 Mei 1955. KTP lama mencatat tanggal lahir istri saya itu dengan benar. Dengan metode pencatatan dd/mm/yy, pada KTP lama tanggal lahir istri saya itu dicatat "460555". Maka, NIK istri saya: XXXXXX 460555 XXXX. NIK inilah yang dipakainya selama berpuluh tahun.

Pada 2011, pada saat pembuatan e-KTP, tanggal lahir istri saya yang seharusnya dituliskan dengan "0605" di-input-kan "0506". Ketidaktelitian membuat letak digit itu seolah-olah hanya sedikit meleset, tapi akibatnya sangat besar. NIK pun berubah: XXXXXX 450655 XXXX.

Saya mencoba melakukan koreksi. Di sebuah kantor kecamatan di Provinsi Banten, tempat saya tinggal, saya disarankan mendatangi Dinas Kependudukan Kota. Ternyata, Dinas Kependudukan tidak bisa mengubah NIK dan memberi saran yang sangat janggal: pakai saja NIK yang telanjur salah itu.

Dinas Kependudukan pun membuat surat keterangan: istri saya adalah penduduk dengan "NIK baru tapi salah" itu. Rupanya, "NIK baru tapi salah" itulah yang tersimpan dalam database kependudukan dan dipakai sebagai acuan oleh BPJS. Itu sebabnya, "NIK lama tapi benar" istri saya dalam KTP lama (yang masih berlaku sampai 2017) ditolak BPJS.

Saya tak percaya proyek e-KTP yang menghabiskan triliunan rupiah itu tak menyediakan sistem koreksi. Yang tak ada dalam kasus ini: kesediaan melayani.  

Ada cerita lain. Seorang teman mengisahkan uang pensiun ibunya tiba-tiba tak bisa ditarik. Penyebabnya, teller sebuah bank di Jakarta tidak melakukan input atas pembayaran pensiun bulan sebelumnya dengan proper. Akibatnya, pembayaran pada bulan ini terblokir. Singkatnya, setelah berdebat panjang dan makan waktu, bank bersedia membayar dengan dana cadangan bank. Kesepakatan yang telat itu menyisakan kekecewaan mendalam.

Personal attitude pegawai negeri, ujung tombak pelayanan publik, masih jauh dari harapan. Pejabat dan pegawai negeri selama ini kelihatannya memperlakukan rakyat sebagai "tangan di bawah". Rakyat harus menerima apa pun kualitas kerja mereka, tak boleh protes, dan kalau perlu bersedia membayar jasa itu. 

Revolusi mental wajib membalik pola pikir itu: karena rakyat yang "mempekerjakan", pejabat dan pegawai semestinya bekerja seperti melayani bos mereka. Perbaikan sistem insentif dan dis-insentif, penilaian karya yang adil, remunerasi, seharusnya menjadi bagian awal revolusi mental itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar