Menyikapi
Proyek Tanggul Laut
Bun Yamin Ramto ; Wagub
DKI Jakarta 1984-1988; Alumnus Teknik Sipil ITB; Guru Besar Kebijakan Publik
Unpad
|
KOMPAS,
11 November 2014
ADA ”teori” sederhana para petani di desa-desa untuk mengairi
sawah (irigasi) atau memelihara got di pinggir jalan: jika mau menaikkan muka
air, maka muara salurannya ditutup, sehingga permukaan air naik dan sawah
bisa diairi. Kalau tutupnya dibuka, air mengalir sampai menjangkau sawah yang
luas.
Kalau saluran got tertutup oleh benda keras seperti batu, kayu,
onggokan tanah, maka air akan tertahan, permukaannya naik ke belakang, aliran
air terhambat, terjadi endapan kotoran dan lumpur sehingga perlu dibersihkan
dengan membuang benda penghambat itu; dan menggali endapan lumpur untuk
kemudian diletakkan di tepi saluran. Dengan demikian, dasar air saluran lebih
dalam, sementara tepi saluran lebih tinggi. Jika hujan datang, tidak akan
terjadi luapan air, banjir. Inilah sifat-sifat air yang dipelajari penduduk
di desa turun-temurun.
Teori sederhana ini digunakan Pemerintah Belanda dulu untuk
memelihara sungai di Jawa dan luar Jawa. Sepanjang tahun sungai-sungai
dikeruk dari endapan pasir dan kerikil. Hasil pengerukan ditimbun di
jalan-jalan di sepanjang sungai itu. Hasilnya, dasar sungai lebih dalam dan
tanah tepi sungai lebih tinggi sehingga jarak antara dasar sungai dan
permukaan tanah atau jalan di tepi sungai lebih besar. Jika musim hujan
datang, permukaan air sungai tak akan meluap ke tepi sungai.
Sewaktu Belanda datang lagi mau menduduki Indonesia (1947–1949),
mereka ulangi lagi perbuatan serupa untuk mengambil hati rakyat Indonesia.
Sekarang, sejak Indonesia merdeka dan membangun, tak pernah dilakukan
perbuatan di atas. Maka, semua sungai di Jawa dan luar Jawa dangkal—jarak
dasar sungai dengan tepi sungai (tanah dan jalan-jalan) pendek. Pada musim
hujan, belum apa-apa, sungai-sungai sudah meluap dan banjir. Juga di musim
kemarau. Baru sebentar kemarau datang, sungai-sungai kering kerontang, bahkan
dapat dilalui kendaraan bermotor. Lihatlah Bengawan Solo, Berantas, Citarum,
Ciliwung, Cisadane di Jawa, serta sungai-sungai di Sumatera, Sulawesi, dan
Kalimantan. Semua dangkal.
Teori desa di Jakarta
Di zaman Belanda mereka membangun jalan di Jakarta dengan memperhatikan arus alir air dari atas ke
bawah (laut). Pada sisi jalan-jalan itu dibuatkan saluran air berupa kolam
besar di tepi jalan. Contohnya Daan Mogot (Mokovart) dan RE Martadinata
(Ancol). Dulu kedua jalan ini tak pernah banjir karena ”kolam” airnya tak
terganggu, dipelihara terus. Demikian juga Sudiyatmo (ke arah Bandara
Soekarno-Hatta, Cengkareng). Dalam perencanaannya harus ada kolam air (atas
bawah). Pembangunan kolam ini baru dilaksanakan sekitar 2 kilometer dari
Pluit ke Tegal Alur, tetapi tidak diteruskan. Sebenarnya sudah ada SK
Gubernur DKI Jakarta yang melarang mendirikan bangunan pada jarak 200 meter
kiri kanan jalan, tapi sekarang dilanggar. Maka, jalan ini pernah dilanda
banjir sehingga dibuatlah jalan layang pada tempat yang banjir itu (bukan
yang ada kolamnya).
Pada Rencana Induk DKI 1965-1985 dan 1985-2005, jalan utama yang
akan dibangun di sepanjang RE Martadinata adalah di sebelah utara kolam besar
dan di sebelah selatan jalan kereta api. Sekarang saluran-saluran air itu tak
dipelihara sungguh-sungguh (dikeruk). Bahkan, dalam kolam air yang ada di RE
Martadinata ditanam ”pilar-pilar besar” jalan tol di dalam kota. Akibatnya,
permukaan air naik dan lumpur tak dapat diangkat/mengendap. Jadi, bukan salah
rob. Karena itu, fondasi Martadinata sudah rontok dikikis air dan kampung-kampung di sekitarnya terkena
banjir sepanjang masa: Pademangan, Lodan, dan lain-lain.
Terakhir, depan PLTU Tanjung Priok juga ditimbun pasir sehingga
mengganggu air untuk suplai PLTU itu. Makanya listrik Jakarta sering
terganggu. Hal yang sama dialami PLTU Muara Karang. Dulu PLTU ini tidak
pernah terlanda air karena laut di depannya tidak terganggu (dilarang
mengadakan penimbunan laut) dan di atasnya ada danau buatan di Pluit.
Di masa pemerintahan Gubernur Dr Sumarno (masa Soekarno)
dibangunlah daerah Ancol, yang ditimbun pemerintah pusat dan dilaksanakan
perusahaan Perancis Citra untuk membangun Menara Bung Karno (seluas 530
hektar). Caranya dengan mengeruk lumpur dari laut dan menimbunkannya di
Pantai Ancol, yang tadinya rawa dan hutan yang dihuni kera. Pada waktu diuruk
kera-kera berenang sendiri, pindah ke Pulau Rambut, sekarang jadi cagar alam.
Andai kera-kera itu masih hidup, boleh ditanya mengapa mereka pindah ke sana.
Pada zaman Gubernur Sutiyoso, dilepas lagi kera-kera di Ancol.
Karena tidak diberi makan, kera-kera ini menjadi penyamun para pemain golf di
Ancol, terutama ibu-ibu. Tas-tas mereka sering dibuka kera-kera yang mencari
makanan.
Karena keberhasilan Proyek Ancol, menyusullah Proyek Pluit yang
dilaksanakan PT Jawa Barat Indah Company (dulu PT Jawa Housing) pimpinan
Endang Widjaya (Acay). Konsepnya seperti Ancol: membuat kolam (danau-danau
buatan) untuk menahan air. Sayang, Ancol sekarang sudah dilanda rob. Rob jadi
tertuduh lagi, dianggap ketinggiannya naik. Padahal, itu karena laut di
sebelah timur Ancol sudah ditimbun pasir sehingga permukaan air laut naik
(karena dasar laut ditimbun).
Dulu Pluit tidak pernah banjir karena di samping Waduk Pluit
sebagai drainase utama Jakarta bagian tengah, juga di daerah Pluit itu ada
danau buatan untuk rekreasi masyarakat. Bahkan, dulu ada taman buaya di sana.
Setelah danau buatan ini ditutup dan dijadikan Mega Mall, banjirlah daerah
Pluit ini sepanjang musim hujan. Air tidak ditampung lagi dalam danau buatan,
sementara perjalanan ke laut pun tertahan. Permukaan air naik. Terjadilah
banjir.
Kondisi Jakarta
Teluk Jakarta sudah berabad-abad terbentuk secara alami. Menurut
para ahli oseanografi (oseanologi), sudah terjadi keseimbangan antara
gelombang laut dari utara dengan aliran air 13 sungai di Jakarta yang turun
dari gunung (dari selatan). Kalau diganggu atau diadakan perubahan atau ada
campur tangan manusia, maka akan terjadi ketidakseimbangan. Akan terjadi
gelombang naik (baca: rob) atau air aliran sungai-sungai naik atau kecepatan
turun (gravitasi) air sungai menuju laut terhambat sehingga lumpur mengendap
di muara-muara bahkan di sepanjang sungai itu sendiri.
Kembali ke ”teori” sederhana di atas, dasar sungai dangkal, tepi
sungai turun (ada teori penurunan permukaan
tanah di Jakarta). Akibatnya, jika terjadi hujan sedikit, langsung
banjir. Dulu MH Thamrin dan Jenderal Sudirman tidak pernah banjir. Sekarang
banjir. Istana pun terkena dampaknya (banjir) karena Kali Ciliwung (bawah),
Kali Cideng, dan Kali Krukut tidak dirawat dengan baik. Waduk Melati
diperkecil dan tidak berfungsi dengan baik, bahkan Waduk Ciragil ditutup.
Pada waktu Master Plan Banjir Jakarta diterima resmi oleh
Pemerintah RI pada 1973, endapan lumpur di sungai-sungai, kanal, waduk, dan
saluran utama di seluruh wilayah Jakarta tidak kurang dari 9 juta meter kubik
(yang harus dikeruk). Sekarang mungkin sudah berlipat-lipat kalinya karena
tak ada program pengerukan lumpur di seluruh wilayah DKI Jakarta (dulu setiap
tahun diprogramkan pengerukan 300.000 meter kubik). Ketika Keppres No 52
Tahun 1995 tentang Reklamasi Teluk Jakarta dengan judul Water Front City dikeluarkan pada akhir 1995, saya sudah memberi
komentar melalui wawancara dengan wartawan Kompas yang dimuat sebagai berita
utama halaman depan edisi 25 Oktober 1995, bahwa ”Jakarta Akan Tenggelam”.
Banyak orang tersinggung dan membela diri (termasuk konsultannya) bahwa
proyek ini tak akan memberikan dampak lingkungan serius karena sudah
diperhitungkan semua. Tak ketinggalan beberapa anggota DPRD DKI dan pengusaha
besar menuduh saya dan Bang Ali tak bisa mengikuti lagi keadaan zaman.
Proyek ini, dengan massa yang cukup besar dan solid, membentang
sepanjang 32 kilometer dengan lebar maksimal 1,6 kilometer atau berluas total
2.700 hektar. Alangkah besar sumbatan di muara aliran 13 sungai yang turun
dari pegunungan hinterland Jakarta.
Jika dihambat, ia akan meninggikan air di muara dan juga di hulu. Karena laju
air mengalir dihambat, timbul endapan lumpur (tanah) yang sangat tinggi, jauh
lebih tinggi dari penurunan permukaan muka tanah yang sangat dirisaukan orang
(sekitar 7,5 cm/tahun). Jadi, ancaman banjir akan lebih dahsyat lagi kalau
tidak dikeruk besar-besaran. Rob pun akan lebih tinggi karena muara sungai
dangkal (ingat teori sederhana para petani di desa). Rencana Induk DKI
1985-2005 diubah di tengah jalan oleh DPRD DKI, jadi Rencana Induk DKI
1995-2010 hanya untuk memasukkan Water
Front City.
Akhirnya megaproyek ini dibatalkan karena desakan beberapa LSM
lingkungan hidup hingga era Reformasi tiba. Tau-tau sekarang muncul lagi
dalam bentuk lain yang sepintas lalu akan punya dampak lebih serius kelak.
Kalau alasannya menambah lahan, berarti kita bangsa besar yang berpikir kerdil
sebab melihat wilayah Indonesia hanya Jakarta saja (luas 650 kilometer
persegi. Padahal, luas wilayah Indonesia berjuta-juta kilometer persegi.
Kalau alasannya kota pantai, maka pantai Indonesia berpuluh-puluh ribu
kilometer panjangnya (terpanjang di dunia) yang tidak ada muara sungainya.
Kalau alasannya untuk mendapat air bersih keperluan penduduk Jakarta, tirulah
Tokyo. Seluruh air bersihnya disuplai dari Chiba, histerland Tokyo. Jangan
contoh Dubai karena berada di padang pasir, tak ada sungai, tak ada gelombang
laut, lautnya tenang. Jangan contoh Singapura karena mereka reklamasi
kekurangan lahan.
Sebagai bangsa besar yang luas wilayah-nya juga besar, kita tak
perlu berkumpul di Jakarta. Pikirkan juga wilayah lain. Yang penting ada
aksesibilitas darat, laut, udara; terbuka lebar, mudah, murah, aman, nyaman.
Lihat saja sekarang, sekitar 62 persen calon legislator dalam pemilu kita
yang lalu berdomisili di Jakarta dan sekitarnya. Tak sehat dalam pembangunan
bangsa ini. Dampaknya dalam jangka panjang akan menjadi sesalan anak cucu
kita.
Lebih terhormat lebih berhati nurani memikirkan kepentingan
rakyat jangka panjang daripada menuruti hawa nafsu sesaat segelintir anggota
masyarakat. Batalkan Proyek Giant Sea Wall. Selamatkan Teluk Jakarta. Selamatkan anak
cucu kita untuk menikmati kenyamanan hidup di Jakarta milik segenap bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar