Politik
Titipan
EH Kartanegara ; Wartawan
|
KORAN
TEMPO, 11 November 2014
Politik titipan. Dua kata itu kembali sering terdengar di antara
pembicaraan dan analisis politik kontemporer kita.
Dari berbagai kajian sejarah politik di Indonesia, politik
titipan ini menjadi salah satu tema menarik sekaligus menantang untuk
ditelaah mendalam. Dalam sejarah pergerakan para tokoh politik kita pada
dekade awal abad ke-20, misalnya, banyak momen dramatis muncul di sekitar
makna "titip-menitip" ini. Kepada Cindy Adams, penulis buku Bung
Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang terkenal itu, konon, dengan
suara bergetar, Presiden RI pertama itu menceritakan kisahnya pada masa
remaja ketika oleh orang tuanya, Soekemi Sosrodihardjo, ia dititipkan pada
H.O.S. Tjokroaminoto.
Di rumah pendiri Syarikat Islam itulah Sukarno yang masih berumur
16 tahun menimba ilmu sekaligus mereguk pengalaman dan mempelajari dinamika
politik kala itu. Membaca banyak buku dan berdiskusi dengan sejumlah tokoh
yang kemudian dikenal sebagai Bapak Pergerakan Nasional, seperti Sutomo,
Wahidin Sudirohusodo, juga Abdul Muis, Agus Salim, Ahmad Dahlan, dan Tan
Malaka.
Dari kajian sangat serius Benedict R.O'G. Anderson, Language and
Power, Exploring Political Cultures in Indonesia, misalnya, kita dapat
membaca perilaku politik para tokoh itu yang sebenarnya berangkat dari
politik tradisional Jawa dengan gaya dan aturan Barat. Maklum, sebagian dari
mereka bukanlah politikus kelas bangsawan, melainkan berasal dari kalangan
priayi rendah. Kelas inilah yang dari awalnya adalah orang-orang desa yang
dititipkan di keraton-keraton oleh orang tua mereka. Dari sinilah kata sowan
tetap dilestarikan hingga sekarang.
Sowan-ungkapan kesopanan dalam bahasa Jawa yang menyatakan
kedatangan "kawula" menghadap pihak yang lebih
"dituakan", lebih dihormati-ini masih kita lihat di pesantren-pesantren
saat para orang tua menitipkan anak-anak mereka kepada para kiai agar dididik
menjadi santri. Bukankah dalam urusan politik, kita juga sering mendengar
ungkapan "sowan politik" yang seolah menunjukkan mereka masih satu
keluarga?
Tema politik keluarga yang diselewengkan Soeharto dijadikan
fokus kajian Saya Sasaki Shiraishi dalam Young Heroes: The Indonesian Family
in Politics (Cornell; 1997), untuk menyoroti sepak terjang politik titipan
yang dikendalikan Soeharto pada era Orde Baru. Dalam studi ringkas ini, kita
menemukan pemahaman bahwa sungguh pun banyak ideologi dan buah pemikiran
besar yang memukau, politik kita belum sepenuhnya bebas dari rekatan
keluarga.
Dalam keluarga versi Orde Baru, politik tidak terbatas pada
kelihaian mengelola kepentingan (management of interest), tapi yang lebih
menentukan adalah kuasa Soeharto sebagai center of interest membagi berbagai
paket politik titipan kepada kroninya. Di sinilah terletak kekuatan sekaligus
kelemahan politik titipan versi Soeharto.
Ya, politik titipan bukan tidak memiliki kaitan dengan masa
lalu. Tinggal bagaimana para wakil rakyat menggalang keberanian politik untuk
meningkatkan kontrol yang menjadi hak mereka agar sejarah kelam Orde Baru
tidak terulang lagi.
Bukankah dalam demokrasi, presiden, wakil presiden, dan para
wakil rakyat sesungguhnya juga titipan? Mereka pemegang amanat rakyat, dan
segala bentuk penyelewengan akan dibaca secara kritis oleh rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar