Menata
Industri Telkom dan Penyiaran
Amir Efendi Siregar ; Ketua
Pemantau Regulasi dan Regulator Media
|
KOMPAS,
12 November 2014
RUDIANTARA telah ditetapkan sebagai Menteri Komunikasi dan
Informatika yang baru. Menteri ini sangat menguasai industri telekomunikasi.
Ia pernah jadi pemimpin di Indosat, Telkomsel, dan Excelcomindo (kini XL
Axiata). Tantangan memang besar antara lain menyelesaikan masalah komunikasi,
khususnya infrastruktur telekomunikasi, agar seluruh bangsa Indonesia bisa
terhubung secara luas dan cepat. Termasuk di dalamnya pengaturan frekuensi
agar dapat dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Banyak masalah yang ditinggalkan Menkominfo lama, yang sebelum
mengakhiri masa tugasnya dengan bangga mengatakan bahwa Kementerian Kominfo
berhasil memperoleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 13,59 triliun
pada 2013. Jumlah itu memang tercatat sebagai yang terbesar dalam sejarah
Kominfo. Namun, upaya mengejar PNBP ini pula yang tampaknya dijadikan alasan
untuk secara cepat dan terkesan tergesa-gesa memberikan izin penggunaan
frekuensi bagi penyelenggara penyiaran multiplexing/digital tepat saat akhir
masa jabatannya. Kristiawan menyebutnya ”Manuver di Ujung Kuasa” (Kompas, 30/8).
Sebagai gambaran dan contoh, di industri telekomunikasi ini,
berdasarkan D & A Valuation Firm
(2013), terdapat 10 operator seluler besar. Telkomsel/Telkom, Indosat, dan XL
Axiata adalah yang terbesar, yang pada 2010 menguasai sekitar 160 juta dari
180 juta pelanggan atau sekitar 88 persen penduduk Indonesia. Dari jumlah
itu, Telkom/Telkomsel memiliki sekitar 95 juta pelanggan (Telkom 13 juta dan
Telkomsel 82 juta). Pendapatan dalam bisnis ini sekarang sudah menembus angka
Rp 100 triliun.
Lantas siapa pemiliknya? Indosat dimiliki asing (Qtel) 65
persen, pemerintah 14,29 persen, dan publik 20,71 persen. Adapun XL Axiata
dimiliki asing (Axiata Investments) 66,485 persen dan publik 33,515 persen.
Kemudian Telkom dimiliki oleh pemerintah 53,14 persen dan publik 46,86 persen
(publik asingnya 38 persen). Sementara Telkomsel dimiliki Telkom (65 persen)
dan Singtel (35 persen).
Tampak dengan jelas, meskipun jalan berputar, asing mendominasi
industri telekomunikasi Indonesia. Jadi, rasanya tak perlu terlalu berbangga
diri dengan PNBP yang relatif besar karena pendapatan terbesar akhirnya lari
ke luar negeri.
Saya sangat percaya bahwa Menkominfo yang baru sangat memahami
persoalan industri ini. Membangun infrastruktur dengan cepat, meluas, dan
berkecepatan tinggi itu penting, tetapi harus diimbangi dengan pendapatan
negara yang tinggi. Namun, kepentingan bangsa dan negara harus diutamakan.
Tanpa sistem yang jelas
Lantas bagaimana dengan penyiaran? Dalam visi dan misinya
sebagai calon presiden-calon wakil presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla
menyatakan akan menata kembali frekuensi penyiaran yang merupakan hajat hidup
orang banyak sehingga tak terjadi monopoli atau penguasaan oleh sekelompok
orang (kartel) di industri penyiaran.
Saat ini dunia penyiaran berjalan tanpa sistem yang jelas. Pasar
bergerak liar, yang kuat menjadi lebih kuat. Kepemilikan dan isi media
terkonsentrasi. Televisi dikuasai segelintir orang. Sistem berjaringan tidak
berjalan karena para pemilik lebih menikmati pola konsentrasi dan
sentralisasi.
Sementara lembaga penyiaran publik, seperti RRI dan TVRI, tidak
mendapat perhatian yang memadai. Demikian juga penyiaran komunitas banyak
yang mati karena tidak punya frekuensi dan dukungan negara.
Menurut sementara pihak terdapat lubang regulasi yang
dimanipulasi untuk akumulasi kapital dan penguasaan media. Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa ini adalah masalah implementasi norma, masalah
penegakan hukum. Apabila dalam sistem otoriter pada era Orde Baru,
media—khususnya media elektronik—dikuasai dan dikontrol pemerintah dan
negara, kini dikuasai kapital bermodal besar.
Belanja iklan media 2013 sekitar Rp 124 triliun, sebagian besar
diserap media elektronik: TV 60 persen dan radio 0,2 persen (Harris Thajeb,
2013). Sepuluh stasiun televisi yang berpusat di Jakarta menikmati belanja
iklan ini. Market share-nya dalam persentase: TransTV (17,5), RCTI (15,1),
SCTV (14,2), MNC-TV (9,9), Indosiar (5), Trans7 (8), ANTV (7), GlobalTV (6,2), TVOne (5,1), dan
MetroTV (2,6) (AC Nielsen, 19-25 Januari 2014).
Pada 18 September 2014, sebelum kabinet baru terbentuk, Koalisi
Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) yang terdiri atas sembilan
organisasi masyarakat sipil menuntut Menkominfo atas perbuatan melawan hukum
yang membiarkan terjadinya pemusatan kepemilikan di lembaga penyiaran swasta.
Menurut KIDP, seharusnya tak boleh seseorang atau satu badan hukum punya
lebih dari satu stasiun televisi di satu provinsi. Sekarang yang terjadi
bahkan sampai tiga di satu provinsi.
Pada 30 Oktober, KIDP kembali mengajukan gugatan kedua kepada
Menkominfo karena mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2013 tentang
Digitalisasi yang dianggap cacat hukum. Itu karena, antara lain, tetap
mengakui keputusan berdasarkan Permen No 22/2011 tentang Digitalisasi yang
telah dibatalkan MA. Permen No 32/2013 membagi Indonesia berdasarkan jumlah
provinsi, sementara Permen No 22/2011 membaginya menjadi 15 zona.
Kontroversi tentang digitalisasi televisi ini terus berlanjut
dengan keberanian menteri lama mengeluarkan Kepmen 729 dan 730 pada 25 Juli
2014. Pada akhir jabatannya, ia melepas frekuensi untuk penyelenggaraan
penyiaran multiplexing. Banyak pihak, termasuk DPR , meminta penyelenggaraan
digitalisasi televisi dilakukan berdasarkan UU. Yang dilakukan saat ini
bertentangan dengan UU, menguntungkan yang besar dan melanggengkan
konsentrasi.
Semua ini adalah tantangan yang berat dan tidak mudah bagi
Menkominfo yang baru. Kita meminta pemerintahan baru menjalankan visi dan
misinya untuk kehidupan komunikasi dan media yang lebih baik. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar