Jumat, 07 November 2014

Melepaskan Belenggu Subsidi BBM

Melepaskan Belenggu Subsidi BBM

Satya Widya Yudha  ;  Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar
KORAN SINDO, 06 November 2014

                                                
                                                                                                                       


Harapan menjulang tinggi untuk disematkan kepada Kabinet Kerja yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo. Terlepas masih munculnya riak-riak sinisme maupun pro-kontra terhadap sejumlah figur yang duduk didaulat sebagai menteri, tak ada salahnya jika kita tetap menancapkan optimisme.

DPR RI periode baru dengan komposisi politik yang ada saat ini juga menunggu langkah konkret Kabinet Kerja Presiden Jokowi. Tidak ada alasan bahwa para wakil rakyat di legislatif akan menghambat programprogram kebijakan yang sudah disusun dan direncanakan untuk segera dijalankan dari pemerintah.

Terlebih bahwa alat kelengkapan dewan (AKD) yang terdiri dari komisi-komisi juga sudah terbentuk beberapa hari yang lalu. Dalam waktu dekat, rapat-rapat kerja membahas rencana program kebijakan antara Senayan dan Istana pun bisa diselenggarakan. Bersamasama menjunjung tinggi semangat bekerja untuk rakyat.

Mencermati sektor ESDM yang menjadi mitra Komisi VII DPR RI periode ini, kehadiran menteri baru Sudirman Said setidaknya sudah menciptakan ekspektasi yang cukup besar bagi para stakeholder atau pemangku kepentingan. Termasuk bagi kalangan industri sektor minyak dan gas (migas) maupun sektor mineral dan batu bara (minerba).

Figur baru menteri ESDM semoga bisa memotong polemik atau bahkan menggergaji kontroversi yang selama ini menjadi ganjalan dalam implementasi program-program strategis ESDM. Mengapa tidak? Sosok baru dengan visi membangun Kementerian ESDM menjadi kementerian utama yang kuat, bersih, dan taktis sinergis patutlah kita apresiasi bersama.

Belenggu Subsidi BBM, Sampai Kapan?

Sebut saja kebijakan penghematan subsidi terhadap bahan bakar minyak (BBM). Persoalan subsidi BBM dalam periode 2009-2014 yang lalu juga tak kalah hebat mengalami dinamika yang cukup menguras energi dan perdebatan panjang antara pemerintah dan parlemen.

Subsidi BBM tak lagi menjadi isu sektoral ESDM semata, tetapi telah menjadi isu nasional yang implementasinya bisa merembet ke segmen-segmen lainnya. Begitu berpengaruhnya isu BBM bersubsidi ini, dalam dinamikanya sering memunculkan benturan dan gesekan- gesekan antara eksekutif dan legislatif.

Catatan dari Komisi VII pada periode lalu, pemerintah seolah tak konsekuen menindaklanjuti poin-poin yang direkomendasikan DPR RI. Di tengah impitan angka subsidi energi yang terdiri dari subsidi BBM dan subsidi listrik yang terus menekan fiskal dalam APBN tiga tahun terakhir, pemerintah tidak konkret melakukan langkahlangkah strategis penghematan subsidi.

Padahal, ruang untuk mengeksekusi penghematan subsidi BBM tercantum melalui Undang-Undang APBN sejak tahun 2012. Namun, celah itu tak dimanfaatkan pemerintah. Dan sekarang, wewenang menyesuaikan harga BBM bersubsidi ada di tangan pemerintah, tanpa melalui ketuk palu persetujuan di DPR (Pasal 14 ayat 13 UU APBN-P 2014 No.12/2014).

Kesempatan itu menjadi momentum pemerintah untuk tidak mengulur-ulur waktu mengonkretkan implementasi penghematan anggaran dengan menaikkan harga BBM secara rasional. Dampak menonjol dari implementasi penghematan subsidi BBM yang tak tegas adalah membengkaknya belanja subsidi energi pada tahun anggaran 2015 yang menembus angka Rp344,7 triliun! Khusus subsidi BBM dalam APBN 2015 mencapai Rp276 triliun.

Ironisnya, selama ini subsidi BBM dalamrealisasinya tidak tepat sasaran. Dan dibakar di jalan begitu saja. Tak adamanfaatkonkret untuk rakyat. Penikmat BBM bersubsidi 70 persennya adalah masyarakat kategori mampu secara ekonomi. Persoalan muncul ketika subsidi terhadap harga tersebut memicu disparitas harga BBM bersubsidi dengan BBM nonsubsidi yang cukup menganga.

Aksi penyelundupan BBM bersubsi dikeindustri marak. Begitu pula penimbunan BBM bersubsidi sebagai aksi memburu rente. Dan, kelangkaan BBM bersubsidi jenis bensin maupun solar terjadi di mana-mana. Chaos terjadi di masyarakat. Maka terjadilah kepanikan karena pemerintahan sebelumnya seolah tak mau mengambil risiko didemo rakyat terus-terusan. Pemerintahan baru harus mencermati bahwa realisasi subsidi BBM sudah melenceng.

Hal ini menjadi catatan khusus dalam rencana penghematan subsidi BBM yang prorakyat ke depan. Subsidi BBM yang selama ini membelenggu ruang fiskal APBN harus dikoreksi sehingga program-program pemerintah berbasis kerakyatan mendapatkan porsi yang besar.

Paradigma dalam tata kelola anggaran terhadap subsidi BBM sudah waktunya berani diubah. Jika selama ini basis subsidi BBM adalah terhadap harga komoditas, pemerintah perlu menyubstitusikan menjadi subsidi secara langsung. Subsidi langsung (targeted subsidies) lebih riil untuk menjangkau warga miskin secara adil.

Artinya, ketika rakyat miskin tak mendapatkan subsidi harga BBM karena salah sasaran, sebagai kompensasinya mereka berhak mendapatkan layanan kesehatan gratis, pendidikan gratis maupun akses transportasi publik yang murah dan nyaman. Yang penting, subsidi untuk rakyat kecil itu harus tetap ada, karena menghapus subsidi sama dengan melawan konstitusi. Rakyat pun harus diberi pemahaman bahwa subsidi tidak dicabut, hanya dialihkan. Itu sangat prinsip.

Berantas Mafia Migas

Parlemen dengan segala fragmentasi politiknya, mendorong pemerintah agar berani mengambil langkah solutif. Melepaskan ikatan dari jeratan subsidi BBM yang kontraproduktif bagi pembangunan nasional tersebut. Tak hanya mengurangi beban subsidi BBM semata, tapi penting juga menggeser pola pikir konsumsi masyarakat terhadap bahan bakar fosil (BBM) ke sumber energi baru dan terbarukan.

Ini akan menjadi PR bagi Menteri ESDM baru yang senantiasa dibelenggu soal subsidi BBM. Menteri ESDM yang baru perlu juga melakukan breakthrough untuk menggalakkan kembali program konversi BBM ke BBG (bahan bakar gas) yang sempat mandek di era pemerintahan SBY.

Pasalnya, dengan potensi gas nasional yang cukup melimpah untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka kebergantungan terhadap BBM bisa ditekan drastis. Karena itu perlu terobosan, jika perlu membongkar sekat-sekat regulasi dan birokrasi yang selama ini menghambat. Yang penting, kebijakan tersebut di bawah payung hukum yang kuat.

Komoditas gas ke depan akan menjadi primadona jika konsumsi bahan bakar bisa digeser ke BBG secara masif. Menaikkan harga BBM bersubsidi bisa menjadi trigger atau pemicu mengangkat harga keekonomian bagi sumber energi lainnya, seperti gas bumi atau panas bumi (geothermal), sehingga pemanfaatan akan sumber energi baru nonminyak menjadi maksimal. Sekarang bukan lagi soal berani atau tidak, mau atau tidak, suka atau tidak, menaikkan harga BBM untuk menghemat anggaran.

Tapi menjadi pilihan konkret jika tidak ingin terus-terusan digerus subsidi yang tidak produktif. Edukasi kepada masyarakat menjadi penting ketika terjadi kenaikan harga BBM tanpa berimplikasi terhadap gejolak sosial. Inilah yang ditunggu kalangan industri dan investor tentunya. Begitu juga dengan keinginan kuat mengurangi impor BBM, di mana produksi minyak dalam negeri tak lagi menjadi “tuan rumah” di negerinya sendiri.

Sampai saat ini, kita menjadi negara net importir, yaitu mencapai 700 ribu barel per hari (bph) hanya untuk menutup kebutuhan dalam negeri yang menembus 1,5 juta bph. Program jangka panjang yang perlu direalisasikan adalah pembangunan kilang minyak, di mana kilang dan tangki penampungan yang ada saat ini selain sudah uzur, tapi juga sudah tak mampu memproduksi BBM jadi karena kapasitas yang terbatas.

Jika kilang minyak ini konkret dibangun, mata rantai mafia minyak yang selama ini menghantui kita bisa diberantas. Hanya, butuh komitmen dan konsisten pemerintahan baru untuk mewujudkan kemandirian energi nasional tersebut. DPR tentu akan mengamini jika pemerintah benar-benar berpikir progresif. Nah, menarik ditunggu terobosan-terobosan apa saja dari pada menteri Kabinet Kerja Presiden Jokowi, terutama di sektor ESDM.

Banyak persoalan yang perlu diurai satu-satu oleh menteri baru. Mulai dari tata kelola sektor hulu dan hilir migas, sektor minerba, sektor energi baru sebagai energi masa depan kita serta menyangkut politik anggaran pengelolaan anggaran subsidi energi.

Tentu saja, sebagai mitra menteri ESDM, Komisi VII DPR RI akan membuka diri untuk selalu berdiskusi, membangun simbiosis produktif serta saling mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah demi mewujudkan sektor energi yang berdaulat di negeri sendiri. Sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi Pasal 33 ayat 3, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat“.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar