Jumat, 07 November 2014

Pelindo Incorporated

Pelindo Incorporated

Rhenald Kasali  ;  Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
KORAN SINDO, 06 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Sudah sejak dahulu saya risau melihat kita terlalu lama mengabaikan pembangunan ekonomi kelautan. Kita hanya bisa tertegun-tegun menyaksikan ikanikan kita dicuri nelayan-nelayan asing.

Kita hanya bisa melongo melihat terumbu-terumbu karang rusak. Lalu pelabuhan-pelabuhan kita juga belum menjadi tempat transit utama bagi kapal-kapal kontainer yang ingin mengirimkan barang-barang ekspornya ke mancanegara. Intinya adalah potensi kelautan kita begitu kaya. Lokasi pelabuhan kita begitu strategis.

Tapi, kita hanya berhasil memetik sedikit manfaat saja dari kekayaan yang melimpah ruah dan posisinya strategis tersebut.Buktinya begitu banyak nelayan kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.Lalu daya saing pelabuhan-pelabuhan kita juga masih tertinggal ketimbang pelabuhan milik negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

Belum lagi sumber daya kelautan lainnya, mulai dari garam yang masih impor hingga energi, mineral, pariwisata, dan sebagainya. Pokoknya kaya sekali. Itu sebabnya ketika pemerintahan Jokowi-JK menawarkan gagasan Pendulum Nusantara, semangat saya betul-betul terbakar. Itu pula sebabnya saya tergelitik membuat tulisan panjang lebar tentang mengapa kita perlu membangun ekonomi kemaritiman sampai beberapa serial.

Seperti kali ini, saya juga masih ingin melanjutkan topik yang sama. Hanya kali ini saya ingin to the point. Saya ingin mengulas tentang banyaknya manfaat yang bisa kita peroleh jika memiliki BUMN yang besar di sektor kelautan. Salah satunya adalah BUMN yang mengurusi masalah kepelabuhanan. Saat ini kita memiliki empat BUMN kepelabuhanan.

Ada PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I, III, dan IV, serta PT Indonesia Port Corporation (IPC yang dulu dikenal sebagai Pelindo II). BUMN-BUMN itu kini jalan sendiri-sendiri. Belum bersinergi, apalagi terintegrasi walau harus kita angkat jempol, CEO-nya bagus-bagus. Padahal di depan mata saya melihat banyak manfaat seandainya empat BUMN tadi bisa menjadi satu. Bagaimana caranya? Saya tidak tertarik untuk membahas soal ini.

Bagi saya, silakan saja untuk bisa bersatu memakai skema merger atau akuisisi. Silakan juga kalau pilihannya adalah dengan membentuk holding company yang masing-masing berbagi kepemilikan saham atau dengan model joint operation. Bagi saya, yang penting mereka bersatu sehingga menjadi besar dan bisa saling sinergi satu sama lain. Bukan berjalan sendiri sesuai maunya BUMN kepelabuhanan negeri tetangga yang jadi besar karena kita bersaing, karena kita serahkan pasar kita sebesar-besarnya untuk mereka.

Besar, tapi Lincah

Apa saja manfaatnya? Pertama, meningkatnya nilai dari empat perusahaan pelabuhan kita, baik dari sisi ukuran, volume bisnis, kinerja maupun ekuiti dan asetnya. Ingat, kita sekarang hidup di abad global dalam fase regional. Persaingan di era ini jelas semakin sengit.

Pada era ini, ukuran dan efisiensi menjadi faktor kunci. Jadi, bukan lagi small is beautiful. Sangat merepotkan kalau kita punya banyak perusahaan, tetapi ukurannya kecil-kecil. Perusahaan-perusahaan seperti ini pasti bakal sulit bersaing di pasar global. Malah yang terjadi perusahaan-perusahaan itu akan bersaing satu sama lain. Harusnya kita mulai bangun dan bertanya-tanya, janganjangan kita telah dikerjai negeri tetangga.

Bertanyalah mengapa ekonomi maritim mereka menjadi sangat besar, sekali lagi sangat besar, sementara kita sangat karut-marut, logistic cost kita sangat mahal. Menjadi besar itu menguntungkan. Di industri migas, untuk memperkuat daya saingnya, dua perusahaan raksasa asal Amerika Serikat (AS), Exxon dan Mobil Oil, memilih bergabung pada 1998.

Kini, per Juni 2014, aset Exxon Mobil mencapai USD358,98 miliar atau sekitar Rp4.308 triliun. Ini berarti nyaris 2,5 kali APBN kita untuk tahun 2014. Dengan aset sebesar itu, Exxon Mobil mempunyai cukup modal untuk mengembangkan teknologi fracking yang memungkinkan mereka mengeluarkan minyak dan gas dari sela bebatuan karang nun jauh di perut bumi.

Hal yang di masa lalu tidak mungkin dilakukan karena mahalnya biaya. Kini, berkat teknologi fracking, pasokan energi baru di AS jadi berlimpah. Kini AS kaya dengan gas alam. Cadangan mereka diperkirakan cukup hingga 100 tahun ke depan.

Dengan ukuran sebesar itu, Exxon Mobil jelas siap bertanding dengan perusahaan migas lainnya. Misalnya dengan Shell dari Belanda, Total asal Prancis, BP dari Inggris atau Chevron yang sama-sama dari AS. Di India, Tata Motor sedang mengembangkan industri automotifnya. Untuk memperkuat brand image-nya, pada 2008 Tata Motor mengambil alih Jaguar dan Land Rover dari Ford Motor, AS.

Nilai pengambilalihannya mencapai USD2,3 miliar. Guna memperkuat posisinya di industri hiburan, Disney dan Pixar memutuskan bergabung. Di industri investment bank, JP Morgan dan Chase pun akhirnya memilih bergabung ketimbang bertarung sendirisendiri. Jadi, untuk bertarung dalam kancah bisnis global, size does matter.

Besarnya skala usaha akan sangat menentukan apakah kita akan memenangi persaingan atau hanya akan menjadi pecundang. Dulu memang sempat mencuat anggapan bahwa elephant can’t dance. Kalau ukuran perusahaan sudah terlalu besar, bakal sulit untuk bergerak lincah. Sulit untuk efisien.

Struktur organisasinya berlapis- lapis, terlalu birokratis, sehingga pengambilan keputusan menjadi lambat. Akibatnya banyak peluang yang menguap begitu saja, tak bisa mereka tangkap. Tapi, kini, ungkapan tersebut tak berlaku lagi. Perkembangan ilmu manajemen dan solusi yang berbasis teknologi informasi membuat banyak perusahaan raksasa tetap mampu bergerak dengan lincahnya.

Sederet Manfaat

Kedua, semakin besar ukuran perusahaan, semakin besar pula kapasitasnya untuk memperoleh pendanaan. Baik dari sumber-sumber dalam negeri maupun luar negeri. Pada awal Oktober lalu, Pelindo III baru saja menerbitkan obligasi internasional (global bond) senilai USD500 juta atau sekitar Rp6 triliun. Saya menilai emisi obligasi ini sangat sukses.

Kelebihan permintaannya (oversubscribed) sampai 13 kali. Bagi saya, ini bukti bahwa bisnis infrastruktur, terutama pelabuhan, sangat diminati investor. Saya membayangkan seandainya empat BUMN pelabuhan kita bergabung menjadi satu, katakanlah dengan nama baru Pelindo Incorporated, dana yang berhasil dihimpun pasti akan jauh lebih besar.

Kita akan mempunyai modal yang cukup untuk membangun pelabuhan-pelabuhan di antero Nusantara dan menjadikan posisi Indonesia sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan dunia. Ketiga, dengan memiliki satu perusahaan yang mengelola pelabuhan, sinergi yang tercipta pasti akan lebih optimal. Bukan seperti sekarang, yang satu lari ke barat, lainnya lari ke timur.

Contohnya, saat ini berth windows atau kesepakatan waktu khusus untuk berlabuh dan berlayar antarpelabuhan saja tidak sama. Ini tentu mengganggu efisiensi kerja maskapai pelayaran. Keempat, peningkatan kecepatan pelayanan dan pengambilan keputusan. Pelayanan memang menjadi salah satu isu krusial bagi pelabuhan-pelabuhan kita. Celakanya, antarpelabuhan di negara kita seakan-akan tidak ada standarnya.

Misalnya menyangkut pengurusan dokumen impor barang, kadang ada yang bisa selesai dalam satu hari, tetapi pernah pula sampai berbulanbulan tak juga tuntas. Ini tentu meningkatkan ketidakpastian dalam berbisnis—hal yang sangat tidak disukai kalangan dunia usaha.

Kelima, prinsip complementarity bisa segera dijalankan. Siapa yang jadi hub di antara mereka akan menguntungkan bangsa ini ketimbang hanya bersaing, lalu semua memilih hub Singapura atau Iskandaria di Malaysia. Itu sebabnya langkah ini menjadi amat strategis dan tentu ada masalah geopolitis yang harus kita ukur. Kemajuan yang kita capai jelas merupakan ancaman bagi negeri tetangga.

Kalau pesawat Sukhoi buatan Rusia yang mulai banyak ordernya bisa kandas di Gunung Salak, apalah artinya kita bila harus berhadapan dengan negeri-negeri kecil namun punya dukungan aliansi kekuatan Barat yang tersembunyi? Saya kira kita bisa menyebut sederet manfaat lainnya jika penggabungan empat BUMN pelabuhan bisa kita wujudkan.

Misalnya, dari sisi perolehan perpajakan akan naik, produktivitas pelabuhan juga meningkat, biaya logistik menurun, dan banyak lagi lainnya. Saya kira, ibarat baja, dia harus ditempa selagi panas. Jadi harus segera, jangan tunggu sampai dingin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar