Minggu, 02 November 2014

Komitmen Pembangunan Manusia

Komitmen Pembangunan Manusia

Kadir  ;  Bekerja di Badan Pusat Statistik
KORAN TEMPO, 29 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Meski sekadar perubahan nomenklatur, penggantian nama Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat menjadi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menunjukkan bahwa pemerintah Jokowi-JK punya komitmen yang kuat untuk menyelesaikan salah satu persoalan krusial di negeri ini: kualitas pembangunan manusia yang rendah. Komitmen ini menjadi penting. Pasalnya, hanya dengan bermodalkan manusia Indonesia yang berkualitas, visi Indonesia Hebat dapat diwujudkan.

Secara faktual, berdasarkan laporan United Nations Development Programme (UNDP), kualitas pembangunan manusia Indonesia yang diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berada di urutan ke-108 dari 287 negara dengan skor IPM 0,684 pada 2013. Di kawasan ASEAN, skor IPM Indonesia masih berada di belakang Singapura (0,901), Brunei Darussalam (0,852), Malaysia (0,773), dan Thailand (0,722) (Laporan Pembangunan Manusia 2014).

Laporan UNDP juga memperlihatkan, akselerasi pembangunan manusia Indonesia sedikit lambat. Hal ini tecermin dari perubahan peringkat IPM Indonesia sepanjang periode 2008-2013 yang hanya naik 4 peringkat. Bandingkan dengan Singapura yang peringkat IPM-nya naik sebesar 14 peringkat sepanjang periode yang sama.

Penggantian nama tersebut juga memperlihatkan adanya kesadaran pemerintah Jokowi-JK bahwa aspek paling esensial dari pembangunan adalah peningkatan kualitas penduduk--yang notabene--merupakan subyek dari pembangunan itu sendiri.

Selama ini pelaksanaan pembangunan manusia terkesan masih berorientasi pada peningkatan kualitas penduduk sebagai obyek pembangunan. Akibatnya, pelaksanaan pembangunan manusia secara umum baru menyentuh satu dimensi, yakni peningkatan daya beli, dan belum menyentuh dimensi peningkatan kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) (Razali Ritonga, 2014).

Diketahui, IPM mengukur kualitas pembangunan manusia melalui tiga dimensi: kesehatan yang diukur berdasarkan umur harapan hidup, pendidikan yang diukur atas dasar rata-rata lama bersekolah dan lama rata-rata yang diharapkan bersekolah, serta daya beli yang didasari pendapatan nasional bruto per kapita.

Karena itu, mudah dipahami bahwa titik lemah pembangunan manusia Indonesia yang harus menjadi fokus perhatian pemerintah Jokowi-JK adalah peningkatan kapabilitas penduduk. Dengan demikian, akses penduduk-terutama kelompok miskin-terhadap pendidikan dan kesehatan harus digenjot.

Faktanya, kapabilitas penduduk Indonesia masih rendah. Berdasarkan laporan UNDP, rata-rata lama sekolah hanya 7,5 tahun. Pencapaian ini jauh di bawah sejumlah negara ASEAN. Rata-rata lama sekolah di Singapura 10,2 tahun, Malaysia 9,5 tahun, Filipina 8,9 tahun, dan Brunei Darussalam 8,7 tahun.

Rendahnya kapabilitas penduduk juga tecermin dari pencapaian derajat kesehatan yang tertinggal dari sejumlah negara ASEAN. Hal ini termanivestasi dari angka harapan hidup yang hanya 70,8 tahun. Bandingkan dengan Singapura yang 82,3 tahun, Brunei Darussalam 78,5 tahun, Vietnam 75,9 tahun, Malaysia 75 tahun, dan Thailand 74,4 tahun.

Karena itu, komitmen kuat pemerintah Jokowi-JK harus diwujudkan dalam bentuk akselerasi peningkatan kualitas pembangunan manusia Indonesia, khususnya dimensi pendidikan dan kesehatan, selama lima tahun mendatang. Dan terkait dengan hal tersebut, kinerja Kemenko PMK dalam mengkoordinasi perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan berbagai kebijakan di bidang pembangunan manusia amat menentukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar