Minggu, 02 November 2014

Mengentaskan Pemukiman Kumuh

Mengentaskan Pemukiman Kumuh

Nirwono Joga ;  Koordinator Gerakan Indonesia Menghijau
KORAN TEMPO, 29 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Pemerintah Jokowi-JK memiliki pekerjaan rumah berat untuk mewujudkan kota bebas dari kekumuhan sekaligus terentaskan dari kemiskinan. Tulisan ini mengingatkan kembali tanggung jawab bersama pemangku kepentingan terhadap hak bermukim dan hak dasar tempat tinggal untuk semua.

Kota-kota di Indonesia tengah menghadapi tantangan besar, di mana kota telah memasuki fase urbanisasi kritis dengan pertambahan penduduk yang tidak terkendali, keterbatasan lahan kota, dan menjamurnya permukiman kumuh di kota/kawasan perkotaan. Kota mulai mengalami defisit ekologis, kelebihan beban, semakin sesak dan sumpek, dengan konsumsi energi lebih banyak, boros lahan, peningkatan pencemaran udara, serta ancaman banjir.

Dengan tingkat kepadatan yang semakin tinggi, kota harus mampu menjawab dampak urbanisasi sekaligus melakukan antisipasi, mitigasi, dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Wali kota/bupati dituntut bersikap responsif, berpikir inovatif, dan bertindak kreatif untuk meningkatkan kualitas kehidupan kota dan mewujudkan kota bebas kumuh.

Menurut UU Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakaturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Perumahan kumuh adalah perumahan yang mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian.

Di Indonesia ada 3.201 kawasan kumuh dengan total luas 34.473 hektare yang dihuni lebih dari 34,4 juta jiwa (Kementerian Pekerjaan Umum, Oktober, 2014). Itu berarti pemerintah Jokowi-JK harus mampu membenahi sekitar 640 kawasan kumuh setiap tahun. Sebuah pekerjaan rumah yang sungguh sulit, tapi bukan berarti mustahil untuk dilaksanakan. Lalu, apa yang harus dilakukan?

Pertama, pemerintah kota/kabupaten membuat peta sebaran kawasan permukiman kumuh di setiap wilayah kota atau kawasan perkotaan kabupaten (kawasan ibu kota atau strategis perkotaan) dan ditetapkan dalam surat keputusan wali kota/bupati. Pemerintah pusat melakukan validasi permukiman kumuh untuk menyepakati luasan kawasan dan batasan wilayah permukiman yang akan dibenahi bersama.

Cek peruntukan lahan kawasan permukiman kumuh dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang, apakah berada di atas peruntukan hunian atau bukan. Permukiman kumuh tumbuh di bantaran kali, tepian waduk/situ/danau, tepian rel kereta api, kolong jalan/jembatan layang, atau taman pemakaman.

Kedua, pemerintah kota/kabupaten melakukan validasi sertifikat kepemilikan lahan warga, apakah bangunan rumah berdiri di atas tanah milik pribadi, perusahaan swasta, badan usaha milik negara, atau pemerintah pusat/provinsi/kota/kabupaten. Identifikasi dengan cepat, klarifikasi ulang dengan jelas, dan tentukan prioritas solusinya.

Jika lahan milik badan pemerintah, pemerintah daerah harus segera berkoordinasi dengan lembaga pemerintah terkait. Kalau milik perusahaan, pemerintah daerah dapat membeli lahan atau bekerja sama dengan perusahaan untuk mengembangkan kawasan. Untuk kepemilikan individu, pemerintah dapat menawarkan alternatif pembagian kepemilikan saham dalam pengembangan kawasan dengan tetap mengantongi kepemilikan lahannya.

Ketiga, pilih lokasi yang rendah resistansi penolakan warga, tingkat partisipasi masyarakat tinggi, sedikit atau tidak ada sengketa kepemilikan lahan, legalitas lahan tidak terlalu bermasalah, serta memiliki potensi ekonomi kreatif yang sudah berjalan.

Pemerintah dapat segera membenahi permukiman kumuh dalam waktu singkat sebagai kawasan percontohan. Jika berhasil, warga permukiman kumuh lainnya diharapkan bersedia untuk dibenahi secara menyebar dan serentak oleh pemerintah.

Keempat, jika permukiman kumuh berdiri di atas RTH, pemerintah wajib memfungsikan kembali kawasan sebagai RTH daerah resapan dan tangkapan air. Namun, jika permukiman kumuh merupakan peruntukan hunian, ada tiga pola penanganan permukiman kumuh. 

Pemugaran permukiman mencakup kegiatan perbaikan dan pembangunan kembali permukiman menjadi lebih layak huni. Peremajaan kawasan mewujudkan permukiman yang lebih baik guna melindungi keselamatan dan keamanan masyarakat sekitar dengan terlebih dulu menyediakan tempat tinggal yang layak bagi masyarakat. Pemukiman kembali berupa pemindahan masyarakat dari lokasi yang tidak mungkin dibangun kembali atau tidak sesuai dengan rencana tata ruang kota/kabupaten dan/atau rawan bencana serta menimbulkan bahaya bagi barang atau manusia.

Kelima, wali kota/bupati memimpin langsung pembenahan permukiman kumuh dengan berbagi tugas berbagai pihak terkait dalam membangun rusunawa, infrastruktur pendukung jalan, jaringan utilitas, dan taman untuk interaksi sosial dan ruang evakuasi.

Pemerintah harus membuka akses seluas-luasnya terhadap program kreatif dan inovatif yang diprakarsai pemerintah kota/kabupaten, komunitas, atau kelompok masyarakat. Program yang mampu menstimulasi peningkatan kualitas permukiman kumuh, baik skala komunitas maupun kawasan perkotaan. Selamat bekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar