Kamis, 13 November 2014

Kebudayaan yang Mendidik

Kebudayaan yang Mendidik

Radhar Panca Dahana  ;  Budayawan
KOMPAS, 13 November 2014
                                                
                                                                                                                       


APA yang beberapa kali saya kritik (juga otokritik) dari tim editor majalah Time Asia, yang memasang foto close up bagus dari Joko Widodo, sebenarnya semata soal tajuk di sampul majalah paling ternama dunia itu, ”A New Hope”.
Pertama, tajuk itu memberi kesan kuat bangsa yang sejak kemerdekaan modernnya sudah bisa dianggap lanjut usia ini ternyata hanya sukses memproduksi harapan. Sebagaimana masyarakat rajin menempatkan tajuk itu dalam plang nama toko, media massa, perumahan, hingga bengkel dan panti pijat.

Apa yang dilakukan oleh bangsa ini, mungkin, selebihnya hanya pertikaian, konflik, dan tipu daya atau sekurangnya, bangsa ini belum mampu bekerja untuk menghasilkan bukti yang mengisi karung-karung harapan itu. Bangsa kalahan, yang selalu menghibur diri, ”Ah... masih ada harapan, kok”, melulu sebagai basis apa yang disebut optimisme.

Hal kedua, yang saya semula tidak setuju, memosisikan Jokowi sekadar sebuah harapan belaka, bukan sebagai kata atau hasil kerja. Artinya, kita memilih presiden baru itu melulu dengan pertimbangan yang spekulatif, imajinatif, bahkan kadang ilusif dan absurd sebagaimana posisi harapan berada. Tidak. Jokowi (seharusnya) adalah sebuah kerja, atau sekurangnya lokomotif dari gerbong-gerbong yang bergerak (bekerja) ke satu tujuan yang sama. Bahwa hasilnya sesuai dengan harapan atau keinginan (idealisme atau ideologi) adalah soal berikutnya. Yang utama adalah bangsa ini berkeringat. Harus berkeringat, tidak hanya biologis, tetapi juga psikologis, pun spiritualistis.

Sebagai pihak yang merasa menjadi kuncen kebudayaan, karena kebudayaan sudah tiga perempat mati akibat percobaan pembunuhannya yang berulang dan sistematik, saya merasa tergerak untuk (juga menghela banyak pihak) lebih berkeringat untuk memberi kehidupan penuh, me-recharge, reviving apa pun namanya, kebudayaan kita. Namun, begitu nomenklatur kabinet baru—yang juga diberi julukan ”kerja”—diumumkan, saya sudah letih bahkan sebelum tetes pertama keringat saya keluar.

Untuk pertama kalinya, dalam sejarah negeri ini, mungkin juga sejarah pemerintahan dunia, ada satu kata (lema, terma) yang sama digunakan oleh dua instansi atau kementerian dalam satu tim kerja atau kabinet. Saya kehilangan akal untuk memaknai perbedaan dari penempatan atau penggunaan nama atau istilah itu. Termasuk berpikir keras, apakah yang satu itu sifatnya makro yang kedua mikro, yang satu abstrak satunya konkret, yang satu suprastruktur, lainnya infrastruktur. Ajaib. Saya sungguh ingin bertanya atau belajar dari the thinkers yang ada di balik separasi institusional itu.

Hal yang lebih dalam lagi, apa sebenarnya yang kita, terutama pengelola negara (pemerintah keseluruhannya karena parlemen ikut menyetujui nomenklatur baru itu), pahami tentang ”kebudayaan”. Apa pemahaman itu mengimperasikan pemisahan yang akan menciptakan ”gegar”–sebagaimana diindikasikan oleh banyak pengamat—kebudayaan dari pendidikan tinggi? Ajaib. Banyak pemikir kebudayaan di balik presiden baru yang ajaib, dalam arti memiliki pemahaman yang bisa jadi luar biasa atau penuh terobosan sehingga ia bisa melanggar tradisi yang dioperasikan umat manusia sepanjang usia peradabannya, di seluruh dunia.

Kebudayaan idealistik

Sebagai konservatif—mengikuti peristilahan ilmu kontinental—karena menjadi pengikut dari tradisi yang menjunjung keluhuran kebudayaan dengan manusia senantiasa menjadi subyek utama yang ditingkatkan kualitas kemanusiaannya, maqam spiritual atau keilahiannya, saya berpegang pada pemahaman bahari saya tentang kebudayaan sebagai sebuah kerja idea(listik) dari satu kelompok (manusia) memusyawarahkan (melakukan diskursus dalam terminologi modern) sebuah mufakat (konsensus) hal-hal fundamental yang dapat dijadikan acuan utama (main references) bagi pemuliaan sub-spesies mamalia bernama manusia alias dirinya sendiri.

Acuan fundamental dari hasil permufakatan itu tentu saja tidak bersifat material atau tangible. Ia adalah ide-ide abstrak yang kemudian diformasi menjadi nilai, norma-norma, moralitas, etika, dan akhirnya estetika. Seluruh pegangan mental-spiritual, intelektual, dan fisikal manusia yang ingin mengembangkan (aktualisasi) dirinya. Hingga kalau bisa menjadi ”tuhan” dalam ambisi ilmu pengetahuan-terukur (sains) dalam tradisi pemikiran kontinental.

Dengan semua acuan itulah, kemudian manusia yang berbudaya menciptakan produk-produknya di semua dimensi kehidupan, yang ketika ia lengkap, bertahan (sustainable), teruji, dan mapan (established), lalu dapat menjadi landasan sebuah peradaban. Jadi, sebaiknya tidak menggolongkan politik, perdagangan, kerajinan tangan, museum, bahkan korupsi atau perjudian sebagai ”kebudayaan”. Semua itu produk, yang karena dibuat oleh manusia, bisa berbentuk atau bersifat destruktif bisa pula konstruktif.

Dalam sebuah analogi: sebuah gadget atau mesin pemanas atau roket peluncur rudal tidaklah dapat disebut teknologi apalagi sains atau ilmu pengetahuan. Semua itu adalah produk keras dari teknologi, dengan sains adalah acuan di belakangnya. Kebudayaan dalam analogi ini adalah sains atau ilmu pengetahuan yang berisi ide-ide abstrak di mana sebuah kerja praktis dan nyata dimungkinkan. Kebudayaan seperti ketentuan-ketentuan agama (syariah, fikih, dan sebagainya) yang berisi ideal-ideal dari praksis religius atau spiritual kita. Lebih luas lagi, kebudayaan semacam kitab suci yang tidak berhenti pada cetakan dan kata-kata, tetapi ayatullah yang harus dibaca (iqra) dari seluruh realitas dan fenomena yang ada di semesta, di keseharian kita.

Semua hanya analogi, tidak harus diberi ukuran tingkat sakralitas atau dominasinya secara struktural dalam hidup kita. Komprehensi semacam ini hanya untuk membuat kita jernih, apa dan mengapa, di bagian mana, untuk apa, dan bagaimana caranya kebudayaan itu (sebaiknya) dilangsungkan. Termasuk menjadi urusan penyelenggara negara, termasuk sebagai job description dari sebuah kementerian, misalnya.

Pendidikan yang membudayakan

Melalui kejernihan komprehensi itu, antara lain, kita dapat mafhum apabila kerja kebudayaan sesungguhnya dioperasikan oleh seluruh matra kerja manusia. Di berbagai bidang dan dimensinya. Ada dalam persoalan bisnis, berlaku politik atau memainkan manuver politik, berhubungan dengan orang lain, membangun industri, sistem pertahanan, diplomasi antarbangsa, hingga mengelola kehutanan atau aparatur negara.

Di dalam proses berbudaya itu, yang terjadi sebenarnya adalah (juga) transmisi dari acuan-acuan fundamental itu (nilai hingga estetika) dari yang lebih tahu, lebih kuasa, lebih tua, dan lebih dipercaya (dan seterusnya) kepada mereka yang ”tidak lebih” atau kurang.

Maka, semua orang yang dipercaya menjadi pejabat negara/publik dituakan (sesepuh, orangtua), atau bahkan orang yang secara sukarela mengabdi (berdedikasi) pada kemaslahatan umum secara otomatis mendapat imperasi sebagai transmitor dari kebudayaan kita bersama. Artinya, apabila mereka yang tergolong dalam kategori-kategori sosial di atas tidak mampu menunjukkan kapasitas dan kualitas yang ber(adab dan) budaya, dia adalah minor atau ”tidak lebih” alias harus dikurangi bahkan disingkirkan dari ketinggian posisi sosialnya tadi.

Paparan di atas hanya sekadar menunjukkan, dalam kata kebudayaan sesungguhnya sudah terintegrasi sebuah kerja (dan pemahaman) tentang pendidikan, dalam pengertian lapang pengajaran, tempat transmisi nilai (juga pengetahuan) berlangsung. Insan yang berbudaya adalah insan yang mendidik, langsung maupun tidak langsung. Lewat modul, sistem kelas, sorogan, atau hanya sekadar contoh perbuatan (cara hidup).

Dalam dunia formal, katakanlah dalam lingkup penyelenggara negara, kebudayaan adalah sebuah kerja mendidik atau mengajar (dalam proses dialogis ajar- mengajar) yang dilangsungkan melalui institusi-institusi legalnya (sekolah, madrasah, perguruan, dan lain-lain).

Makna ringkasnya, apa yang disebut pendidikan adalah proses membudayakan atau—dalam bahasa gaulnya—melakukan transmisi kultural antara seorang pengajar dan siswa ajar. Untuk semua hal atau bidang kehidupan yang nyata (existence) dalam keseharian kita. Sebuah kurikulum boleh saja mengkhususkan siswa ajar pada bidang tertentu, tetapi jangan sampai ia lalai atau alpa dengan dimensi-dimensi hidup lainnya. Karena, apabila tidak, ia akan menjadi manusia-budaya (man of culture) yang tidak lengkap.

Kerja yang tak usai

Dengan penalaran sederhana di atas, tentu dengan mudah kita mafhumi bahwa pendidikan dalam arti formal atau pengajaran dalam makna yang lapang adalah sebuah kerja yang tak akan pernah selesai, juga tidak memiliki yurisdiksi material atau fisikawinya. ”Belajarlah hingga ke negeri Tiongkok”, ”Belajar itu hingga ke liang lahat” adalah peribahasa yang arif kita miliki, baik dari tradisi agama maupun istiadat kita.

Entah apakah ini cukup memadai untuk memberi pemahaman, betapa muskil apabila kita membayangkan proses pembudayaan manusia ini berhenti atau terpisah setelah seseorang memasuki usia dewasa alias tergolong mahasiswa. Apalagi membiarkan dan menyerahkan anak-anak kita, para siswa ajar itu, ke dalam sebuah skema pengetahuan dan keahlian yang hanya menjadi hamba industri atau pragmatisme dan oportunisme materialistik, dengan libido keserakahan menjadi engine utamanya. Apakah sebuah pemerintahan mampu bertanggung jawab pada sejarah, konstitusi, apalagi anak-cucu-buyut mereka nanti, akan terjerembabnya anak-anak kebudayaan kita menjadi motor atau mesin-mesin dari the greediness of politic and economy saat ini?

Hal yang paling tentu, dan gampang sekali kita sadari, siapa pun orang yang berada dalam tanggung jawab ”pembudayaan” (pendidikan dan pengajaran) di atas, tentulah seseorang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Bukan mereka yang masih membutuhkan pemolesan atau lipstik pencitraan diri, atau tokoh yang masih harus melakukan ”pembangunan manusia” (oh... kenapa frase ini terpisah dari kebudayaan yang melingkupinya) atau ”revolusi mental” pada dirinya sendiri. Apalagi, duh... betapa akan mengiriskan nasib generasi kita nanti jika penanggung jawab kerja besar di atas mengerti tugas mereka sekadar ”memperbanyak tari-tarian” atau hanya ”banyak mengunjungi museum dan situs purba”.

Janganlah rendahkan kehebatan kultural bangsa ini, yang tidak dikarbit seperti Amerika Serikat, tetapi ditandur dan disemai dengan tekun oleh nenek moyang melewati milenium yang lebih banyak dari sebagian besar bangsa di atas bumi ini. Saya mafhum, sesungguhnya presiden baru kita pun mafhum. Namun... (ah, saya mewajibkan diri untuk berhenti di sini). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar