Kebudayaan
yang Mendidik
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS,
13 November 2014
APA yang beberapa kali saya kritik (juga otokritik) dari tim
editor majalah Time Asia, yang
memasang foto close up bagus dari
Joko Widodo, sebenarnya semata soal tajuk di sampul majalah paling ternama
dunia itu, ”A New Hope”.
Pertama, tajuk itu memberi kesan kuat bangsa yang sejak
kemerdekaan modernnya sudah bisa dianggap lanjut usia ini ternyata hanya
sukses memproduksi harapan. Sebagaimana masyarakat rajin menempatkan tajuk
itu dalam plang nama toko, media massa, perumahan, hingga bengkel dan panti
pijat.
Apa yang dilakukan oleh bangsa ini, mungkin, selebihnya hanya
pertikaian, konflik, dan tipu daya atau sekurangnya, bangsa ini belum mampu
bekerja untuk menghasilkan bukti yang mengisi karung-karung harapan itu.
Bangsa kalahan, yang selalu menghibur diri, ”Ah... masih ada harapan, kok”,
melulu sebagai basis apa yang disebut optimisme.
Hal kedua, yang saya semula tidak setuju, memosisikan Jokowi
sekadar sebuah harapan belaka, bukan sebagai kata atau hasil kerja. Artinya,
kita memilih presiden baru itu melulu dengan pertimbangan yang spekulatif,
imajinatif, bahkan kadang ilusif dan absurd
sebagaimana posisi harapan berada. Tidak. Jokowi (seharusnya) adalah sebuah
kerja, atau sekurangnya lokomotif dari gerbong-gerbong yang bergerak
(bekerja) ke satu tujuan yang sama. Bahwa hasilnya sesuai dengan harapan atau
keinginan (idealisme atau ideologi) adalah soal berikutnya. Yang utama adalah
bangsa ini berkeringat. Harus berkeringat, tidak hanya biologis, tetapi juga
psikologis, pun spiritualistis.
Sebagai pihak yang merasa menjadi kuncen kebudayaan, karena
kebudayaan sudah tiga perempat mati akibat percobaan pembunuhannya yang
berulang dan sistematik, saya merasa tergerak untuk (juga menghela banyak
pihak) lebih berkeringat untuk memberi kehidupan penuh, me-recharge, reviving apa pun namanya,
kebudayaan kita. Namun, begitu nomenklatur kabinet baru—yang juga diberi
julukan ”kerja”—diumumkan, saya sudah letih bahkan sebelum tetes pertama
keringat saya keluar.
Untuk pertama kalinya, dalam sejarah negeri ini, mungkin juga
sejarah pemerintahan dunia, ada satu kata (lema, terma) yang sama digunakan oleh dua instansi atau
kementerian dalam satu tim kerja atau kabinet. Saya kehilangan akal untuk
memaknai perbedaan dari penempatan atau penggunaan nama atau istilah itu.
Termasuk berpikir keras, apakah yang satu itu sifatnya makro yang kedua
mikro, yang satu abstrak satunya konkret, yang satu suprastruktur, lainnya
infrastruktur. Ajaib. Saya sungguh ingin bertanya atau belajar dari the thinkers yang ada di balik
separasi institusional itu.
Hal yang lebih dalam lagi, apa sebenarnya yang kita, terutama
pengelola negara (pemerintah keseluruhannya karena parlemen ikut menyetujui
nomenklatur baru itu), pahami tentang ”kebudayaan”. Apa pemahaman itu
mengimperasikan pemisahan yang akan menciptakan ”gegar”–sebagaimana
diindikasikan oleh banyak pengamat—kebudayaan dari pendidikan tinggi? Ajaib.
Banyak pemikir kebudayaan di balik presiden baru yang ajaib, dalam arti
memiliki pemahaman yang bisa jadi luar biasa atau penuh terobosan sehingga ia
bisa melanggar tradisi yang dioperasikan umat manusia sepanjang usia
peradabannya, di seluruh dunia.
Kebudayaan idealistik
Sebagai konservatif—mengikuti peristilahan ilmu
kontinental—karena menjadi pengikut dari tradisi yang menjunjung keluhuran
kebudayaan dengan manusia senantiasa menjadi subyek utama yang ditingkatkan
kualitas kemanusiaannya, maqam spiritual atau keilahiannya, saya berpegang
pada pemahaman bahari saya tentang kebudayaan sebagai sebuah kerja
idea(listik) dari satu kelompok (manusia) memusyawarahkan (melakukan
diskursus dalam terminologi modern) sebuah mufakat (konsensus) hal-hal
fundamental yang dapat dijadikan acuan utama (main references) bagi pemuliaan sub-spesies mamalia bernama
manusia alias dirinya sendiri.
Acuan fundamental dari hasil permufakatan itu tentu saja tidak
bersifat material atau tangible. Ia adalah ide-ide abstrak yang kemudian
diformasi menjadi nilai, norma-norma, moralitas, etika, dan akhirnya
estetika. Seluruh pegangan mental-spiritual, intelektual, dan fisikal manusia
yang ingin mengembangkan (aktualisasi) dirinya. Hingga kalau bisa menjadi ”tuhan”
dalam ambisi ilmu pengetahuan-terukur (sains) dalam tradisi pemikiran
kontinental.
Dengan semua acuan itulah, kemudian manusia yang berbudaya
menciptakan produk-produknya di semua dimensi kehidupan, yang ketika ia
lengkap, bertahan (sustainable), teruji,
dan mapan (established), lalu dapat
menjadi landasan sebuah peradaban. Jadi, sebaiknya tidak menggolongkan
politik, perdagangan, kerajinan tangan, museum, bahkan korupsi atau perjudian
sebagai ”kebudayaan”. Semua itu produk, yang karena dibuat oleh manusia, bisa
berbentuk atau bersifat destruktif bisa pula konstruktif.
Dalam sebuah analogi: sebuah gadget atau mesin pemanas atau
roket peluncur rudal tidaklah dapat disebut teknologi apalagi sains atau ilmu
pengetahuan. Semua itu adalah produk keras dari teknologi, dengan sains
adalah acuan di belakangnya. Kebudayaan dalam analogi ini adalah sains atau
ilmu pengetahuan yang berisi ide-ide abstrak di mana sebuah kerja praktis dan
nyata dimungkinkan. Kebudayaan seperti ketentuan-ketentuan agama (syariah,
fikih, dan sebagainya) yang berisi ideal-ideal dari praksis religius atau
spiritual kita. Lebih luas lagi, kebudayaan semacam kitab suci yang tidak
berhenti pada cetakan dan kata-kata, tetapi ayatullah yang harus dibaca
(iqra) dari seluruh realitas dan fenomena yang ada di semesta, di keseharian
kita.
Semua hanya analogi, tidak harus diberi ukuran tingkat
sakralitas atau dominasinya secara struktural dalam hidup kita. Komprehensi
semacam ini hanya untuk membuat kita jernih, apa dan mengapa, di bagian mana,
untuk apa, dan bagaimana caranya kebudayaan itu (sebaiknya) dilangsungkan.
Termasuk menjadi urusan penyelenggara negara, termasuk sebagai job description dari sebuah
kementerian, misalnya.
Pendidikan yang
membudayakan
Melalui kejernihan komprehensi itu, antara lain, kita dapat
mafhum apabila kerja kebudayaan sesungguhnya dioperasikan oleh seluruh matra
kerja manusia. Di berbagai bidang dan dimensinya. Ada dalam persoalan bisnis,
berlaku politik atau memainkan manuver politik, berhubungan dengan orang
lain, membangun industri, sistem pertahanan, diplomasi antarbangsa, hingga
mengelola kehutanan atau aparatur negara.
Di dalam proses berbudaya itu, yang terjadi sebenarnya adalah
(juga) transmisi dari acuan-acuan fundamental itu (nilai hingga estetika) dari
yang lebih tahu, lebih kuasa, lebih tua, dan lebih dipercaya (dan seterusnya)
kepada mereka yang ”tidak lebih” atau kurang.
Maka, semua orang yang dipercaya menjadi pejabat negara/publik
dituakan (sesepuh, orangtua), atau bahkan orang yang secara sukarela mengabdi
(berdedikasi) pada kemaslahatan umum secara otomatis mendapat imperasi
sebagai transmitor dari kebudayaan kita bersama. Artinya, apabila mereka yang
tergolong dalam kategori-kategori sosial di atas tidak mampu menunjukkan
kapasitas dan kualitas yang ber(adab dan) budaya, dia adalah minor atau
”tidak lebih” alias harus dikurangi bahkan disingkirkan dari ketinggian
posisi sosialnya tadi.
Paparan di atas hanya sekadar menunjukkan, dalam kata kebudayaan
sesungguhnya sudah terintegrasi sebuah kerja (dan pemahaman) tentang
pendidikan, dalam pengertian lapang pengajaran, tempat transmisi nilai (juga
pengetahuan) berlangsung. Insan yang berbudaya adalah insan yang mendidik,
langsung maupun tidak langsung. Lewat modul, sistem kelas, sorogan, atau hanya
sekadar contoh perbuatan (cara hidup).
Dalam dunia formal, katakanlah dalam lingkup penyelenggara
negara, kebudayaan adalah sebuah kerja mendidik atau mengajar (dalam proses
dialogis ajar- mengajar) yang dilangsungkan melalui institusi-institusi
legalnya (sekolah, madrasah, perguruan, dan lain-lain).
Makna ringkasnya, apa yang disebut pendidikan adalah proses
membudayakan atau—dalam bahasa gaulnya—melakukan transmisi kultural antara
seorang pengajar dan siswa ajar. Untuk semua hal atau bidang kehidupan yang
nyata (existence) dalam keseharian
kita. Sebuah kurikulum boleh saja mengkhususkan siswa ajar pada bidang
tertentu, tetapi jangan sampai ia lalai atau alpa dengan dimensi-dimensi
hidup lainnya. Karena, apabila tidak, ia akan menjadi manusia-budaya (man of culture) yang tidak lengkap.
Kerja yang tak usai
Dengan penalaran sederhana di atas, tentu dengan mudah kita
mafhumi bahwa pendidikan dalam arti formal atau pengajaran dalam makna yang
lapang adalah sebuah kerja yang tak akan pernah selesai, juga tidak memiliki
yurisdiksi material atau fisikawinya. ”Belajarlah
hingga ke negeri Tiongkok”, ”Belajar itu hingga ke liang lahat” adalah
peribahasa yang arif kita miliki, baik dari tradisi agama maupun istiadat
kita.
Entah apakah ini cukup memadai untuk memberi pemahaman, betapa
muskil apabila kita membayangkan proses pembudayaan manusia ini berhenti atau
terpisah setelah seseorang memasuki usia dewasa alias tergolong mahasiswa.
Apalagi membiarkan dan menyerahkan anak-anak kita, para siswa ajar itu, ke
dalam sebuah skema pengetahuan dan keahlian yang hanya menjadi hamba industri
atau pragmatisme dan oportunisme materialistik, dengan libido keserakahan
menjadi engine utamanya. Apakah sebuah pemerintahan mampu bertanggung jawab
pada sejarah, konstitusi, apalagi anak-cucu-buyut mereka nanti, akan
terjerembabnya anak-anak kebudayaan kita menjadi motor atau mesin-mesin dari the greediness of politic and economy
saat ini?
Hal yang paling tentu, dan gampang sekali kita sadari, siapa pun
orang yang berada dalam tanggung jawab ”pembudayaan” (pendidikan dan
pengajaran) di atas, tentulah seseorang yang sudah selesai dengan dirinya
sendiri. Bukan mereka yang masih membutuhkan pemolesan atau lipstik
pencitraan diri, atau tokoh yang masih harus melakukan ”pembangunan manusia”
(oh... kenapa frase ini terpisah dari
kebudayaan yang melingkupinya) atau ”revolusi mental” pada dirinya
sendiri. Apalagi, duh... betapa akan mengiriskan nasib generasi kita nanti
jika penanggung jawab kerja besar di atas mengerti tugas mereka sekadar ”memperbanyak
tari-tarian” atau hanya ”banyak mengunjungi museum dan situs purba”.
Janganlah rendahkan
kehebatan kultural bangsa ini, yang tidak dikarbit seperti Amerika Serikat,
tetapi ditandur dan disemai dengan
tekun oleh nenek moyang melewati milenium yang lebih banyak dari sebagian
besar bangsa di atas bumi ini. Saya mafhum, sesungguhnya presiden baru kita pun mafhum.
Namun... (ah, saya mewajibkan diri untuk berhenti di sini). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar