Jokowi
dan Hubungan RI-Tiongkok
Yeremia Lalisang ; Mahasiswa
Program Doktor di Universitas Xiamen, Tiongkok.
|
KOMPAS,
11 November 2014
TIONGKOK menjadi tujuan pertama blusukan Presiden Joko Widodo ke
luar negeri. Bagaimana peristiwa ini harus dimaknai dalam gerak maju hubungan
Indonesia-Tiongkok? Perkembangan-perkembangan penting hubungan Republik
Indonesia (RI) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) telah menunjukkan suatu
interaksi kooperatif dan saling menguntungkan. Bagi Indonesia, dalam konteks
pelaksanaan kebijakan luar negeri, hubungan diplomatik dengan Tiongkok sedari
awal bermakna amat penting.
Kedekatan yang saling
menguntungkan
Dibukanya hubungan diplomatik dengan Tiongkok pada 1949 adalah
suatu ekspresi nyata ketidakberpihakan, suatu elemen utama prinsip kebijakan
luar negeri bebas-aktif. Dengan berpegang teguh pada prinsip tersebut,
keutuhan bangsa dari Sabang hingga Merauke dapat dipertahankan di tengah
konstelasi Perang Dingin saat itu.
Era Soekarno kemudian menjadi tonggak penting hubungan
persahabatan Indonesia-Tiongkok. Liu Hong, dalam China and the Shaping of Indonesia, 1949-1965, mengungkap bahwa
pada masa itu Tiongkok bagaikan mercusuar, penunjuk ke arah mana dan
bagaimana Indonesia harus dibangun. Model pembangunan ala Tiongkok
diperbincangkan para cendekiawan. Kisah-kisah mengenai Tiongkok dimuat dalam
surat-surat kabar, dan bahkan karya-karya sastra, sehingga menyentuh luas di
masyarakat.
Sungguh tidak berlebihan apabila masa ini dijuluki sebagai masa
bulan madu hubungan Indonesia-Tiongkok. Interaksi dan pertukaran bukan hanya
terjadi di tingkat elite, melainkan juga di akar rumput. Selain itu, dalam
konteks hubungan luar negeri, Indonesia amat penting bagi Tiongkok yang saat
itu bukan anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tiongkok, bagi
Indonesia, juga tak kalah penting, apalagi setelah Indonesia memutuskan untuk
keluar dari PBB pada awal 1965. Keduanya menjalin suatu kemitraan dalam
membangun solidaritas di antara negara-negara New Emerging Forces (NEFO).
Pola interaksi saling menguntungkan ini terus berulang dalam
evolusi hubungan bilateral keduanya. Pada era Soeharto, normalisasi hubungan
Indonesia-
Tiongkok pada awal 1990-an amat bernilai bagi Tiongkok, yang
saat itu tengah dikecam Barat setelah peristiwa Tiananmen. Bagi Indonesia,
dalam sektor ekonomi, hubungan dengan Tiongkok menjadi sangat penting,
terutama setelah negara ini dihantam badai krisis finansial Asia pada tahun
1997.
Era tersebut, di lain pihak, menjadi saksi perekonomian Tiongkok
yang telah lepas landas dengan pertumbuhan ekonomi dua digitnya. Kini, negara
tersebut adalah negara dengan perekonomian nomor dua terbesar di dunia.
Dengan latar belakang itu, Indonesia setelah reformasi, menurut I Wibowo
(almarhum), sinolog kawakan Indonesia, terus melakukan upaya Merangkul Cina
(judul buku yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada 2009 dengan I Wibowo
sebagai editornya).
Kepemimpinan nasional jelas memahami pentingnya hubungan baik dan
bersahabat antara Indonesia dan Tiongkok. Gus Dur mengusulkan pembentukan
poros Jakarta-Beijing-New Delhi menunjukkan pandangannya akan nilai strategis
Tiongkok dalam mandala diplomasi Indonesia. Selanjutnya, dalam wacana publik,
ikon kedekatan hubungan Indonesia-Tiongkok terpelihara melalui ”diplomasi
dansa” Megawati.
Hal-hal yang sudah dirintis tersebut kemudian dikelola dengan
baik oleh Susilo Bambang Yudhoyono, yang dalam dua periode kepemimpinannya
menandatangani dua perjanjian penting, monumen kedekatan hubungan
Indonesia-Tiongkok, yaitu Kemitraan Strategis (2005), yang kemudian
ditingkatkan menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif (2013). Hubungan
politik, ekonomi, dan sosial-budaya terus meningkat berkat interaksi intensif
yang terjadi antarwarga, kelompok bisnis, dan tentu saja pemerintah.
Perubahan atau kelanjutan
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, sebagaimana diliput sejumlah
media, dalam jumpa pers pertamanya paling tidak mengatakan tiga istilah
penting dalam diplomasi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi,
yaitu tegas dan bermartabat, pro rakyat (Kompas,
30/10), dan membumi, tidak berjarak dengan kepentingan rakyat.
Apakah prinsip saling menguntungkan yang menjadi sifat hubungan
Indonesia-Tiongkok yang telah dibangun sebelumnya dapat tetap dipertahankan
dalam bingkai baru diplomasi Indonesia tersebut? Terdapat paling tidak tiga
sektor kerja sama yang akan melanjutkan, ketimbang mengubah, pola hubungan
kooperatif kedua negara ke depan.
Sektor pertama adalah kerja sama maritim. Visi Presiden Jokowi
menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia sebangun dengan rencana
pemimpin Tiongkok, Xi Jinping, membangun Jalan Sutra Maritim Baru (New
Maritime Silk Road). Pejabat dan para pengamat Tiongkok dalam beragam
kesempatan memaparkan bahwa rencana itu bertujuan memperkuat konektivitas
maritim dan meningkatkan kapasitas negara-negara di Asia Tenggara untuk
memaksimalkan keamanan dan pengelolaan sumber daya maritim.
Ide tersebut jelas berpotensi besar untuk disinergikan dengan
usaha Indonesia mencapai suatu kedaulatan maritim. Dengan kata lain, kerja
sama maritim jelas dapat menjadi inisiatif yang membuat hubungan RI-RRT terus
bergerak maju dan saling menguntungkan. Dalam konteks kepentingan Indonesia
memperbaiki infrastruktur pendukung dalam usaha meningkatkan keterhubungan
yang kemudian akan berkontribusi positif pada pengembangan ekonomi maritim,
kerja sama kedua negara akan berperan amat penting.
Sektor kedua adalah kerja sama mengelola stabilitas kawasan. Isu
ini amat terkait dengan kondisi terakhir sengketa teritorial di Laut Tiongkok
Selatan yang masih belum memiliki capaian signifikan setelah penandatanganan
Deklarasi Tata Perilaku (Declaration of
Conduct of Parties) pada 2002. Dalam masa kampanye lalu, Jokowi sempat
menggarisbawahi posisi Indonesia sebagai negara bukan pengklaim (non-claimant state), yang kemudian
dikonfirmasi mantan Menlu Marty Natalegawa.
Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri bahwa dalam proses yang
telah berlangsung dalam usaha mengelola sengketa tersebut, Indonesia turut
berperan aktif, bahkan telah mengambil berbagai inisiatif dengan maksud
berkontribusi positif pada pengelolaan konflik. Hal ini tampaknya menunjukkan
bahwa dinamika penyelesaian damai sengketa di Laut Tiongkok Selatan tidak
dapat tidak melibatkan Indonesia. Dalam hal inilah, peran dan sikap
kooperatif Indonesia akan sangat bermakna bagi Tiongkok, yang dengan secara
terbuka telah menyatakan komitmen untuk menyelesaikan sengketa tersebut
melalui dialog damai.
Sektor ketiga adalah kerja sama peningkatan hubungan antarwarga.
Kini, hubungan internasional telah memasuki era yang di dalamnya interaksi
antarbangsa tidak melulu didominasi interaksi pejabat resmi yang cenderung
elitis.
Hal ini yang mungkin ditangkap Presiden Jokowi, yang kemudian
terefleksi dalam konsep diplomasi yang membumi. Sekalipun kebijakan luar
negeri utamanya tetap menjadi domain para birokrat, publik termasuk pemegang
saham utama yang dapat memengaruhi secara signifikan, baik pembuatan maupun
pelaksanaan kebijakan luar negeri.
Hal ini mengisyaratkan bahwa hubungan antarwarga kedua negara
akan sangat menentukan dinamika hubungan Indonesia-Tiongkok. Interaksi
antarwarga yang dimaksud bukanlah dalam arti sempit, arus masuk-keluar
wisatawan setiap negara, melainkan seluas-luasnya hingga mencakup beragam
kalangan, termasuk akademisi, seniman, budayawan, dan kelompok-kelompok
agama.
Amat penting mendorong warga kedua negara untuk dapat saling
memahami. Lebih dari tiga puluh tahun, pada masa pembekuan hubungan
diplomatik, warga kedua negara belajar untuk saling mencurigai dan melihat
satu sama lain sebagai ancaman. Akibatnya, kedua belah pihak perlu
meningkatkan interaksi dan pertukaran antarwarga demi keberlangsungan
hubungan kooperatif Indonesia-Tiongkok yang saling menguntungkan satu sama
lain.
Merangkul Tiongkok
Di tengah aneka tantangan yang pasti ada dalam hubungan
Indonesia-Tiongkok kini dan pada masa depan, tiga kesempatan kerja sama di
atas tampaknya mengisyaratkan bahwa hubungan keduanya yang kooperatif perlu
dilanjutkan. Dengan kapasitas yang dimiliki sekarang, Tiongkok menawarkan
beragam kesempatan dalam platform baru diplomasi Presiden Jokowi yang telah
menetapkan bahwa pelaksanaan kebijakan luar negeri tidak boleh berjarak
dengan kepentingan rakyat.
Di lain pihak, Indonesia pun dengan peran dan kapasitasnya di
kawasan, berpotensi besar untuk berkontribusi positif bagi diplomasi Tiongkok
terhadap negara-negara tetangganya. Hubungan yang saling menguntungkan pun,
dengan demikian, dapat terus diwujudkan dengan dasar saling percaya dan
memahami.
Hal ini menunjukkan semakin terbatas alasan Indonesia untuk
tidak merangkul Tiongkok ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar