Jumat, 07 November 2014

Gotong-Royong dalam Zakenkabinet

Gotong-Royong dalam Zakenkabinet

Muhidin M Dahlan  ;  Kerani @warungarsip
KORAN TEMPO, 03 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Jangan membayangkan kerja atau zaken dalam nama kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah kerja sebagaimana dipahami sehari-hari: datang bekerja seharian, pulang jika waktunya tiba, begitu setepat-tepatnya. Lalu, terima upah/gaji.

Kabinet Kerja memiliki jejak historis yang jauh, dan bukan sesuatu yang datang ujug-ujug. Sebagaimana frasa "nawacita" dan "trisakti", pemakaian istilah "Kabinet Kerja" menjadikan kita dengan mudah berkesimpulan bahwa Jokowi bersemangat mereaktualisasi kembali jejak Sukarnoisme dalam manajemen kenegaraan.

Dan kita tahu, kabinet kerja adalah nama kabinet Sukarno setelah ia "membereskan" Dewan Kostituante via Dekrit 5 Juli 1959. Dewan Konstituante, yang ditugasi merumuskan dasar negara, dianggap Sukarno terlalu cerewet, banyak omong, dan menghasilkan omong kosong yang tak berkesudahan.

Menjawab omong kosong parlemen yang berlarut-larut itulah, Sukarno membuat antitesis dalam manajemen pemerintahannya di era Demokrasi Terpimpin. Boleh dibilang zakenkabinet yang dibayangkan Sukarno berlawanan dengan parlemen tukang cerewet dan menghabiskan energi berwacana. Walaupun kita tahu, Sukarno tak lebih banyak omong ketimbang Dewan Konstituante yang dikritiknya.

Makanya, Djuanda menjadi tokoh kunci jalannya zakenkabinet. Posisi Djuanda ini mirip Hatta. Sementara Sukarno menggeber-geber podium di mana-mana, Djuanda ini dengan tekun menenun detail-detail yang mustahil dikerjakan generalis macam Sukarno. Dan terbukti, saat Djuanda wafat di tengah-tengah tugasnya, zakenkabinet ini berjalan limbung.

Jokowi ingin memungut semangat zakenkabinet Sukarno yang berlangsung dari 1959 hingga 1964 itu dengan sejumlah reaktualisasi. Sukarno membuat Front Nasional yang terdiri atas partai dan ormas sebagai kekuatan bayangan kabinetnya, sementara Jokowi menjadikan Koalisi Indonesia Hebat + relawan sebagai sayap kekuatan kabinetnya. Namun, baik zakenkabinet Sukarno maupun Jokowi sama-sama menjadikan gotong-royong sebagai asas utama.

Saya menangkap gotong-royong yang dibayangkan Jokowi adalah praktek sosio-ekonomi yang lebih menitikberatkan pada ekonomi partisipatif. Suatu praktek ekonomi yang melibatkan orang-banyak ketimbang segelintir individu. Pasar tradisional yang menjadi jantung blusukan Jokowi selama ini menjadi simbol pengait utama yang paling bisa dikenali. Kesejahteraan dan indeks kebahagiaan orang banyak itulah yang menjadi titik-tuju zakenkabinet Jokowi. Jokowi betul-betul mesti belajar dari sejarah amburadulnya kabinet kerja saat ditinggal Djuanda. Berpikir makro boleh saja, tapi tetap cakap menyelesaikan detail. Jokowi tak diragukan lagi sebagai pemimpin terkini yang peka terhadap detail.

Diharapkan, getaran kepekaan pada detail yang sama juga dimiliki pembantu-pembantunya, sebagaimana dress code yang mereka kenakan: kemeja putih lengan panjang tergulung dan celana kain hitam. Mereka melayani dan kerja detail mereka memberi dampak kesejahteraan yang bisa diukur dengan parameter-parameter yang sudah disepakati.

Dengan begitu, gotong-royong dalam zakenkabinet Jokowi bukan hanya ikhtiar mereaktualisasi ideologi temuan leluhur politik dalam pengertian dan prakteknya yang baru, tapi juga memberi kepastian bahwa negara dirasakan kehadirannya dalam kehidupan sehari-hari orang banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar