Rabu, 05 November 2014

DPR-ku, Dewasalah!

DPR-ku, Dewasalah!

Denis Arifandi Pakih Sati  ;  Dosen Mahad Ali bin Abi Thalib
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
HALUAN, 03 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Sebagai rakyat Indo­nesia yang ikut me­milih dalam pe­mili­han legisliatif, malu rasanya melihat perilaku para anggota dewan yang tidak kunjung dewasa. Sebulan sudah mereka berada di sana, namun sepertinya belum ada yang dihasilkan. Mereka sibuk dengan kepentingan kelompok­nya, dan kepentingan pribadi masing-masing. Gaji bulan ini mungkin sudah diterima, namun derita rakyat malah semakin bertambah.

Sejak awal duduk di kursi anggota dewan pascapelantikan, tanda ketidakberesan itu sudah kelihatan. Sidang yang penuh dengan kericuhan. Ada yang maju ke depan, kemudian menggoda pimpinan sidang untuk meloloskan hasrat partainya. Padahal, tindakan yang dilakukannya itu sungguh memalukan karena juga disaksikan khalayak ramai, karena disiarkan secara lang­sung di televisi.

Dan beberapa hari ini, media kembali dihebohkan oleh perilaku para anggota dewan, terutama dari Fraksi PPP yang membanting meja dan “nga­muk” kepada pimpinan sidang. Dan lebih parah lagi, sekarang Koalisi Indonesia Hebat (KIH) membuat komisi tandingan, setelah seluruh ketua komisi disapu habis oleh Koalisi Merah Putih  (KMP). Dan yang saya khawatirkan, jikalau muncul pula presiden tandingan. Bisa kacau negeri ini.

Apa yang dipertontonkan oleh anggota dewan ini bukan hanya membuat rakyat se­makin bosan, namun mereka juga akan semakin kehilangan kepercayaan dari rakyat. Sehingga, Pemilu yang diada­kan sekali lima tahun, kelak hanya akan menjadi formalitas bekala. Dan ujung-ujungnya, malah menghabiskan uang Negara saja.

Jikalau dilihat track record para anggota dewan sebelum­nya, rakyat masih jauh dari puas. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Cirus Surveyor Group dari bentang tanggal 20-30 November 2013, yang dimuat salah satu media nasional tentang kepercayaan masyarakat terhadap DPR.  Hasilnya, DPR tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik, serta tidak mampu mengawasi pemerintah sebagai­mana harusnya.

Rinciannya, 53,6 persennya menyatakan bahwa anggota DPR periode tahun 2009-2014 tidak memperjuangkan ang­garan kepentingan rakyat. Kemudian 51,9 persen menilai bahwa anggota DPR tidak mampu mengawasi pemerintah dengan baik. 47,9 persen menilai anggota DPR tidak membuat Undang-Undang (UU) yang bisa memberikan manfaat kepada rakyat.  Dan yang lebih mencengangkan lagi, 60,1 persen menilai bahwa anggora DPR sama sekali tidak mem­perjuang­kan aspirasi rakyat, dan 50,1 persen menilai bahwa anggota DPRD juga sama sekali tidak memperjuangkan aspirasi rakyat yang sudah mendukungnya. Dan tragisnya, 59,7 persen menilai bahwa anggota DPD sama sekali tidak me­nunjuk­kan taji perjuangannya untuk rakyat. Dengan kata lain, tanda keberadaan mereka disana, sama sekali tidak terasa.

Jabatan itu Kerja

Setiap kali melihat tingkah para anggota dewan, maka ingatan akan kembali pada ucapan Gusdur yang pernah menyatakan bahwa mereka itu mirip dengan bocah-bocah yang berada di taman kanak-kanak. Heboh, dan tidak dewasa sama sekali. Sibuk bermain. Lupa dengan perjuangan yang seharusnya didendangkan.

Jabatan itu kerja. Ketika seseorang diangkat menjadi anggota dewan, yang digaji dari uang rakyat, maka saat itu juga ia bertugas dan mengerah­kan seluruh potensi dirinya untuk berkhidmah mem­perjuang­kan kepentingan rakyatnya. Mereka itu bisa duduk di kursi “empuk” itu karena kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat.

Mereka adalah wakil rak­yat, bukan wakil partai. Kalau pun mereka diusung oleh partai politik tertentu, itu hanyalah kenderaan saja. Setelah mereka terpilih, seharusnya mereka berjuang demi kepentingan rakyat yang sudah mengusung dan mem­beri­kan suaranya kepada mereka.

Slogan “atas nama rakyat” jangan hanya dijadikan tameng belaka. Demi mendapatkan keuntungan politik. Demi memuluskan jabatan tertentu. Dan demi lobi-lobi politik. Tidak usah jauh, sebelum diusung menjadi anggota DPR/DPRD, tepatnya ketika masa kam­panye, sudah berapa banyak janji-janji yang diumbar kepada rakyat. “Jikalau saya terpilih, rakyat akan sejahtera.” “Jikalau saya terpilih, maka kesehatan akan terjamin.” “Jikalau saya terpilih, maka kemiskinan akan diberantas sampai ke akar-akarnya.” “Itu semua demi rakyat.”

Cukup sudah, rakyat itu sudah capek. Mereka hanya membutuhkan bukti, bukan janji. Sekarang adalah masanya untuk membuktikan janji-janji yang selama ini dinanti-nanti. Jikalau berhasil diwujudkan, maka itulah kesuksesan yang sebenarnya. Di pemilihan selanjutnya, walaupun tidak pakai kampanye, angota DPR seperti ini akan kembali terpilih dan mendapatkan kepercayaan rakyat.

Amanah itu sungguh berat. Sebagai orang yang dipercaya oleh rakyat untuk men­yampai­kan aspirasi mereka, janganlah mempermainkannya demi kepentingan pribadi dan golong­an. Ibarat kata syair arab, “Setiap orang mengaku men­cintai Laila, tetapi ia tidak merasakannya.” Artinya, setiap orang mengaku demi rakyat, namun rakyat tidak merasakan hasilnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar