Demi
Melindungi Umat Beragama
Husni Mubarok ; Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi
(PUSAD) Yayasan Paramadina
|
KORAN
TEMPO, 21 November 2014
Menteri
agama Lukman Hakim Saifuddin tengah menyusun draf Rancangan Undang-Undang
Perlindungan Umat Beragama. Rancangan ini, menurut dia, merupakan hasil
konsultasi dengan berbagai elemen masyarakat. Ia berharap regulasi baru ini
menjadi landasan pemerintah dalam melindungi warga, baik mayoritas maupun
minoritas, saat menjalankan ajaran agama dan keyakinannya.
Niat di
balik pembuat UU baru ini baik. Namun jika tidak berhati-hati, UU baru ini
bisa berdampak buruk, malah cenderung sia-sia. Paling tidak, ada tiga alasan
untuk pendapat ini.
Pertama,
melindungi umat beragama bisa berarti dua pengertian. Pengertian pertama,
melindungi umat beragama dari serangan fisik satu pihak kepada pihak lain.
Perlindungan dalam pengertian ini adalah harapan kita bersama, sebagaimana
termaktub dalam konstitusi. Misalnya, pemerintah melindungi warga penganut
Ahmadiyah untuk mengekpresikan tafsir keagamaannya di muka publik dari
ancaman warga lain.
Namun
perlindungan juga bisa bermakna lain: melindungi umat beragama dari ancaman
nonfisik. Perlindungan dalam makna ini rentan disalahgunakan menjadi
pengebirian kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. Atas nama perlindungan
umat beragama, UU ini berpotensi mengkriminalisasi penganut Syiah yang
dianggap menyerang keyakinan Sunni secara nonfisik. Perbedaan dianggap
serangan.
Kedua,
UU baru tersebut bisa jadi hanya mengulang substansi UU yang sudah ada.
Bukankah negara telah memberi jaminan kepada umat beragama, yang termaktub
dalam Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945? Bukankah kita juga mempunyai UU
mengenai hak asasi manusia, sebagai turunan ratifikasi kovenan internasional
mengenai hak sipil politik? Dua regulasi ini pada dasarnya memadai sebagai
penopang pemerintah dalam melindungi umat beragama.
Ketiga,
akar masalah diskriminasi dan kekerasan atas nama agama di Indonesia bukan
pada regulasi, melainkan implementasi. Penelitian Pusat Studi Agama dan
Demokrasi (Pusad) Yayasan Paramadina (2013) menunjukkan bahwa penanganan
konflik keagamaan di Indonesia bervariasi. Pemerintah gagal menangani insiden
kekerasan keagamaan di satu tempat, namun berhasil menangkal kekerasan di
tempat lain. Kegagalan dan keberhasilan tersebut amat ditentukan oleh
seberapa sigap aparat pemerintah merespons potensi konflik keagamaan di
masyarakat.
Insiden
kekerasan di Sampang pada akhir 2011, menurut penelitian ini, terjadi karena
pemerintah kurang sigap menghadapi ketegangan yang sudah muncul sejak 2006.
Bahkan, insiden kekerasan yang lebih besar terjadi kembali delapan bulan
setelahnya. Sementara itu, pemerintah berhasil mencegah eskalasi dalam kasus
serupa di Bangil, Pasuruan. Setiap kali muncul ketegangan, pemerintah
merespons dengan cepat dan sigap. Kekerasan berujung maut dalam insiden ini
terhindarkan.
Penelitian
tersebut juga memperlihatkan bahwa koordinasi antar-lembaga negara juga
menyumbang gagal-berhasilnya penanganan konflik keagamaan. Polisi berwenang
mengambil langkah di hilir, tidak di hulu. Sebaliknya, lembaga seperti
Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan pemerintah daerah berwenang
di hulu, tidak di hilir. Karena itu, membangun sinergi antar-lembaga negara
di hulu sekaligus hilir merupakan tantangan paling mendesak saat ini.
Selain
itu, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, dapat berfokus pada
penguatan lembaga semacam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Lembaga ini
strategis karena wakil masyarakat sipil dan pemerintah bisa duduk bersama
untuk mendiskusikan penanganan ketegangan di masyarakat bernuansa keagamaan
secara nir-kekerasan.
Pasal 1,
Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006 menyatakan bahwa FKUB bertugas
mewujudkan "...keadaan hubungan
sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja
sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara…" . Berkaca
pada tujuan tersebut, anggota FKUB diharapkan menjadi apa yang oleh Mahatma
Gandhi disebut sebagai shanti sena, atau pasukan perdamaian.
Untuk
itu, pemerintah perlu membekali anggota FKUB keterampilan mediasi konflik.
Selain sengketa pendirian tempat ibadah, FKUB dihadapkan pada ketegangan
berbasis keagamaan. Kemahiran dalam mediasi konflik sebelum mobilisasi massa
sangat membantu FKUB berperan lebih banyak untuk mengantisipasi kekerasan.
Pemerintah
saja tidak cukup. Pemerintah butuh dukungan masyarakat sipil. Potensi
dukungan tersebut terbuka lebar. Lingkaran Survey Indonesia melaporkan (2012)
bahwa 80 persen penduduk Indonesia tidak membenarkan kekerasan atas nama
agama. Bersama masyarakat sipil, pemerintah bisa menggalang dukungan
mayoritas penduduk Indonesia, untuk penanganan kekerasan keagamaan tanpa
kekerasan.
Koordinasi antar-lembaga negara, peningkatan keterampilan sumber daya
manusia, dan dukungan masyarakat lebih mendesak ketimbang pembuatan rancangan
UU yang berpotensi melanggengkan diskriminasi dan kekerasan keagamaan. Tidak
ada salahnya bila Menteri Agama merenungkan kembali rencana itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar