Minggu, 23 November 2014

Jalanan

                                                                   Jalanan

Purnawan Andra  ;   Staf Direktorat Sejarah & Nilai Budaya Kemdikbud
KORAN TEMPO,  21 November 2014

                                                                                                                       


Jalanan adalah penanda penting peradaban, wahana segala mobilitas yang berlangsung di atasnya. Tidak hanya berfungsi sebagai sarana lalu lintas barang dan manusia, jalan juga merepresentasikan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Pemaknaan atas jalan berkembang dari konstruksi fisik, politik pemerintahan, hingga simbolisme nilai yang berada pada dan di wilayah sekitar jalanan.

Jalan pernah menjadi isu penting pada awal abad ke-19 ketika sebuah proyek raksasa dikerjakan Gubernur Jenderal Daendels untuk membangun Jalan Raya Pos sepanjang kurang-lebih 1.000 kilometer. Jalan ini menghubungkan ujung barat dan timur Pulau Jawa untuk kemudahan mobilisasi ekonomi dan sosial-budaya. Semuanya itu dilakukan dalam konteks politik kekuasaan kaum penjajah.

Sebelumnya dulu, jika seorang bangsawan lewat, seluruh rakyat harus menyisihkan jalan dan menundukkan kepala sebagai tanda hormat. Kuntowijoyo (dalam Mawardi, 2009) mengisahkan iring-iringan rombongan kerajaan pada masa Pakubuwono X, ketika hendak berwisata ke pesranggahan kerajaan di luar kota, bahkan perlu diberitakan di koran lokal sesuai dengan perintah raja. Jalan raya menjadi saksi perubahan makna atas identitas simbolik, yang kemudian kerap kali berhitungan dengan status sosial, ekonomi, bahkan politis dan kultural.

Hingga saat ini, orang harus minggir memberi jalan jika seseorang yang mempunyai "kekuasaan" melintas. Kasus termutakhir adalah seorang pengendara sepeda motor berpelat nomor L-4900-Y mengalami luka di bagian tangan dan badan saat terjatuh setelah ditendang polisi Patwal yang sedang mengawal iring-iringan sepeda motor Harley Davidson di Jalan Raya Demak, Demak, Jawa Tengah, pada 7 November. Padahal, pengendara sedang melaju di jalur yang bukan dilewati oleh konvoi tersebut. Meskipun mengetahui korban jatuh, polisi tersebut tidak menghentikan kendaraannya dan terus mengawal rombongan tersebut (www.merdeka.com).

Berdasarkan Pasal 65 PP Nomor 43/1993, barangkali tidak ada yang salah dengan penggunaan voorijder. Sayangnya, aturan tersebut digunakan semena-mena. Asalkan mampu menyewa, semua kendaraan lain bisa dipinggirkan dan lampu lalu lintas pun bisa diterobos.

Dalam kasus ini, jalan menjadi bagian dari logika sepihak yang menegaskan stigma tertentu atas dasar latar belakang sosial dan kultural seseorang/ kelompok. Akibatnya, di jalanan, interaksi sosial secara simbolis tercipta dalam konsep opisisi biner: kekalahan dan kemenangan. Hal ini menggambarkan rusaknya basis sosial masyarakat yang seharusnya mengandaikan adanya kesadaran warganya untuk menghargai hak kepemilikan dan pemanfaatan instalasi publik.

Seturut dengan logika Yudi Latif (2014), jika kita gagal dalam menempatkan jalan (ruang publik) sebagai satu-satunya institusi definitif dalam demokrasi modern, hal itu akan berakibat fatal, yaitu kematian civil society, hancurnya kerekatan sosial (social bond) dalam masyarakat. Bila hal ini terjadi, akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling mempercayai) di antara kelompok-kelompok sosial.

Jalanan (ruang publik) perlu dipandang sebagai sistem yang dapat mengakomodasi komunikasi bebas dominasi dalam rangka pembentukan konsensus rasional komunal, yaitu sopan santun bagi sesama pengguna jalan raya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar