Jalanan
Purnawan Andra ; Staf Direktorat Sejarah & Nilai Budaya
Kemdikbud
|
KORAN
TEMPO, 21 November 2014
Jalanan
adalah penanda penting peradaban, wahana segala mobilitas yang berlangsung di
atasnya. Tidak hanya berfungsi sebagai sarana lalu lintas barang dan manusia,
jalan juga merepresentasikan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Pemaknaan atas jalan berkembang dari konstruksi fisik, politik pemerintahan,
hingga simbolisme nilai yang berada pada dan di wilayah sekitar jalanan.
Jalan
pernah menjadi isu penting pada awal abad ke-19 ketika sebuah proyek raksasa
dikerjakan Gubernur Jenderal Daendels untuk membangun Jalan Raya Pos
sepanjang kurang-lebih 1.000 kilometer. Jalan ini menghubungkan ujung barat
dan timur Pulau Jawa untuk kemudahan mobilisasi ekonomi dan sosial-budaya.
Semuanya itu dilakukan dalam konteks politik kekuasaan kaum penjajah.
Sebelumnya
dulu, jika seorang bangsawan lewat, seluruh rakyat harus menyisihkan jalan
dan menundukkan kepala sebagai tanda hormat. Kuntowijoyo (dalam Mawardi,
2009) mengisahkan iring-iringan rombongan kerajaan pada masa Pakubuwono X,
ketika hendak berwisata ke pesranggahan kerajaan di luar kota, bahkan perlu
diberitakan di koran lokal sesuai dengan perintah raja. Jalan raya menjadi
saksi perubahan makna atas identitas simbolik, yang kemudian kerap kali
berhitungan dengan status sosial, ekonomi, bahkan politis dan kultural.
Hingga
saat ini, orang harus minggir memberi jalan jika seseorang yang mempunyai
"kekuasaan" melintas. Kasus termutakhir adalah seorang pengendara
sepeda motor berpelat nomor L-4900-Y mengalami luka di bagian tangan dan
badan saat terjatuh setelah ditendang polisi Patwal yang sedang mengawal
iring-iringan sepeda motor Harley Davidson di Jalan Raya Demak, Demak, Jawa
Tengah, pada 7 November. Padahal, pengendara sedang melaju di jalur yang
bukan dilewati oleh konvoi tersebut. Meskipun mengetahui korban jatuh, polisi
tersebut tidak menghentikan kendaraannya dan terus mengawal rombongan
tersebut (www.merdeka.com).
Berdasarkan
Pasal 65 PP Nomor 43/1993, barangkali tidak ada yang salah dengan penggunaan
voorijder. Sayangnya, aturan tersebut digunakan semena-mena. Asalkan mampu
menyewa, semua kendaraan lain bisa dipinggirkan dan lampu lalu lintas pun
bisa diterobos.
Dalam
kasus ini, jalan menjadi bagian dari logika sepihak yang menegaskan stigma
tertentu atas dasar latar belakang sosial dan kultural seseorang/ kelompok.
Akibatnya, di jalanan, interaksi sosial secara simbolis tercipta dalam konsep
opisisi biner: kekalahan dan kemenangan. Hal ini menggambarkan rusaknya basis
sosial masyarakat yang seharusnya mengandaikan adanya kesadaran warganya
untuk menghargai hak kepemilikan dan pemanfaatan instalasi publik.
Seturut
dengan logika Yudi Latif (2014), jika kita gagal dalam menempatkan jalan
(ruang publik) sebagai satu-satunya institusi definitif dalam demokrasi
modern, hal itu akan berakibat fatal, yaitu kematian civil society, hancurnya kerekatan sosial (social bond) dalam masyarakat. Bila hal ini terjadi, akan tumbuh
social distrust (iklim tidak saling mempercayai) di antara kelompok-kelompok
sosial.
Jalanan (ruang publik) perlu dipandang sebagai sistem yang dapat
mengakomodasi komunikasi bebas dominasi dalam rangka pembentukan konsensus
rasional komunal, yaitu sopan santun bagi sesama pengguna jalan raya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar