Rezim
Media di Pemilu 2014
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political
Literacy Institute;
Dosen
Komunikasi Politik UIN Jakarta
|
KORAN
JAKARTA, 05 Februari 2014
Pemilu
2014 segera terlaksana. Ruang publik terutama media massa kian gegap gempita
dengan perang opini, terpaan citra, adu prestise, bahkan relasi antagonistik
antar-kekuatan yang bertarung. Publisitas dan kampanye politik terasa semakin
menyesakkan isi media kita. Siaran televisi merupakan satu di antara media
yang harus mendapatkan perhatian serius berbagai pihak, agar hegemoni
pengusaha-politisi yang menjadi pemilik media tak semakin merugikan
kepentingan publik.
Penonton televisi kita diprediksi akan terus meningkat seiring kian bergairahnya industri penyiaran di Indonesia. Aneka ragam program siaran tersaji dan menerpa khalayak hampir sepanjang hari. Eksistensi industri televisi pun kian kompetitif seiring terintegrasinya stasiun-stasiun televisi ke jaringan usaha para konglomerat yang tak hanya berhitung bisnis melainkan juga politis. Jika di Pemilu 2004 para pengusaha media lebih banyak berposisi sebagai pendukung atau tim pemenangan, di Pemilu 2014 justru mereka banyak yang menjadi petarung di gelanggang utama. Tak disangkal, kita memang mengalami lompatan sosial (social jumping) dari budaya agraris ke masyarakat informasi yang belum matang. Maksudnya, masyarakat yang masih rendah tingkat literasi medianya, langsung diterpa pola penontonan serba-wah yang meninabobokan kesadaran khalayak. Jadilah bangsa kita sebagai bangsa penonton berat (heavy viewers) yang kerap kali mudah terdominasi sekaligus tunakuasa untuk melakukan kritisisme atas beragam pengetahuan dan mungkin juga “sampah” informasi yang setiap hari dihantarkan televisi hingga ke ruang-ruang keluarga. Inilah salah satu konteks paling krusial yang harus dibaca para akademisi, lembaga regulator independen semacam Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, para pekerja media sekaligus para politisi dan penyelenggara negara. Benar, sejarah akademik memang telah menempatkan posisi efek terbatas (limited effect) dari media seperti tergambar dalam riset Paul Lazarsfeld yang dikenal dengan “Erie County Study” pada tahun 1940. Dari 600-an responden hanya 54 orang saja yang mengalami perubahan perilaku pemilihan (voting behavior). Tapi, akan samakah jika hal tersebut terjadi di Indonesia meski bangsa ini sudah lama merdeka dan merengkuh kebebasan pers? Konteks Politik Titik perbedaan kita dengan di Amerika adalah cara penonton kita mengonsumsi media yang mengalami lompatan. Literasi media yang rendah tentu juga akan berpengaruh pada minimnya literasi politik. Dampaknya, media terutama televisi begitu leluasa melakukan penetrasi pada persepsi masif khalayak dan memosisikan penonton sebagai objek yang diterpa terus-menerus tanpa kesadaran bertanya yang memadai. Bisa jadi, kelas menengah terdidik jengah dengan dominasi rezim media semacam itu, tetapi mereka yang awam dan marginal akan sulit keluar dari jeratan media. Meskipun, belum tentu aktor yang berada di balik terpaan media tersebut, sukses mengonversikan beragam program televisi menjadi sejumlah suara nyata dalam pemilu. Secara politik, bilik suara menjadi wilayah pertempuran baru, misalnya, antara kelompok yang punya “gizi” dan yang kurang “gizi” atau antara mereka yang memiliki instrumen pengendalian sistem pemilu dengan mereka yang tidak. Di situlah letak penuh paradoks pemilu kita yang hingga kini masih belum terurai dengan baik. Idealnya memang perubahan perilaku memilih warga itu berbasis indikator-indikator rasional. Misalnya, tawaran program partai, caleg maupun capres. Hanya saja subordinasi rezim media kerap mereduksi media yang semestinya menjadi salah satu referensi penting perang gagasan dan program menjadi alat propaganda dan manipulasi politik. KPI Bekerjalah!
Masuknya
Hary Tanoesoedibjo pemilik grup besar Media Nusantara Citra (MNC) yang antara
lain menguasai RCTI, MNCTV, GlobalTV, SINDO radio, dan sejumlah media cetak
maupun online ke Partai Hanura menjadi fenomena kontemporer kian lekatnya
politik dengan domain perebutan kekuasaan politik. Aburizal Bakrie, pemilik
tvOne dan ANTV, menjadi capres Partai Golkar serta Surya Paloh pemilik
Metrotv menjadi Ketua Umum Partai Nasdem.
Tiga contoh sosok pengusaha-politisi ini sudah cukup representatif untuk mengungkapkan kekhawatiran kita terhadap terjadinya hegemoni ruang publik kita terutama terkait frekuensi yang memang sejatinya sumber daya terbatas. Kekhawatiran kita kian terkonfirmasi saat stasiun-stasiun yang mereka miliki mulai bertaburan spot iklan perkenalan partai, unjuk citra lewat program yang “memaksa” frekuensi sekaligus perhatian publik untuk berpaling pada sejumlah blocking time temu kader, liputan khusus rapat pimpinan nasional (rapimnas), siaran live rapat koordinasi nasional, kongres dan sejumlah pernik-pernik acara kepartaian lainnya yang tidak begitu penting untuk publik. Dalam pertimbangan UU No 32 Tahun 2002 jelas dibunyikan bahwa spektrum frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara serta dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi, kekeliruan besar jika frekuensi yang terbatas tersebut, semena-mena dimanfaatkan oleh segelintir pengusaha-politisi untuk kepentingan pertarungan pemilu semata. Dengan demikian, ada sejumlah agenda yang harus dilakukan agar demokratisasi siaran tidak beralih ke hegemoni rezim media. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bekerjalah! Jangan berpangku tangan. Kerusakan akan bertambah parah, jika KPI berkolaborasi dengan kepentingan politik pengusaha-politisi media untuk melegalkan siaran yang menerabas etika dan regulasi siaran. Untuk Pemilu 2014, kampanye melalui media cetak dan elektronika ditetapkan 21 hari sebelum masa tenang. Sebenarnya dalam UU No 08 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif ada beberapa hal yang sudah mulai diatur meski pun masih melahirkan banyak problematika. Misalnya, di dalam Pasal 96 diatur soal larangan menjual blocking segment dan/atau blocking time, dilarang menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan sebagai iklan kampanye pemilu, serta dilarang menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh salah satu peserta pemilu kepada peserta Pemilu lainnya. Sementara di Pasal 97 batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu di tv secara kumulatif sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik setiap stasiun televisi setiap harinya pada masa kampanye, sementara radio 10 spot berdurasi paling lama 60 detik. Pun demikian, dengan Peraturan KPU No15 Tahun 2013 yang merevisi PKPU No1 Tahun 2013 sebenarnya regulasi kampanye sudah lebih memadai dibanding 2009, hanya saja memang problematika saat kampanye baru dikategorikan pelanggaran jika bersifat kumulatif. Harus adanya visi misi, program dan ajakan sekaligus membuat para pelanggar dengan mudah mengakali aturan main yang ada saat ini. Harusnya, KPI turut punya andil terutama untuk menertibkan media penyiaran yang nakal. Pedoman Perilaku Penyiaran Bab XXIX tahun 2012 yang dikeluarkan KPI menyangkut siaran pemilu dan pilkada salah satu bunyinya adalah lembaga penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional. Jelas, KPI harus mengeluarkan panduan yang lebih detail dan teknis terkait dengan siaran pemilu sehingga aturan main tidak normatif dan multitafsir. Jangan inferior meskipun aturan KPI ditentang banyak media penyiaran. KPI wajib melunasi janji kelembagaannya sebagai kontrol publik untuk memperkuat demokratisasi siaran. Faktanya, hingga sekarang esksistensi KPI nyaris tak terdengar saat ruang publik kita diperdaya oleh para pemilik kuasa media yang bertarung di Pemilu 2014. Frekuensi televisi harus diatur. Selain sumber daya terbatas, media, menurut Antonio Gramsci, bisa menjadi “tangan-tangan” kelompok berkuasa yang punya watak hegemonik. Tentu, publik tak rela jika media sempurna menjadi instrumen distorsi informasi para politisi pengusaha. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar