Indonesia
dan “Normalisasi” Perekonomian Global
Firmanzah
; Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan
Pembangunan
|
KORAN
SINDO, 23 Februari 2014
Pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral
negara-negara anggota G-20 berlangsung di Sydney, 22-23 Februari 2014.
Tema besar pertemuan adalah upaya kolektif untuk mempercepat
proses pemulihan ekonomi global (restoring
global economy). Pertemuan kali ini memiliki arti penting lantaran saat
ini sejumlah negara berkembang dan emerging mengalami guncangan pasar
keuangan akibat realisasi pengurangan kebijakan quantitative-easing (QE) III oleh Amerika Serikat. Sejumlah
negara seperti India, Brasil, Afrika Selatan, dan Turki bahkan terpaksa
menaikkan suku bunga acuan secara signifikan untuk mencegah keluar modal (capital-outflow) dan depresiasi nilai
tukar mata uangnya.
Jelang pertemuan G-20 kali ini sempat muncul perseteruan antara
India dan Amerika Serikat terkait kebijakan realisasi pengurangan QE menjadi
USD65 miliar dari USD85 miliar. Di sejumlah kesempatan Raghuran Rajan,
gubernur Bank Sentral India, menyayangkan keputusan The Fed yang mengurangi
stimulus moneter dan mengakibatkanguncanganserta destabilitas di pasar
keuangan banyak negara berkembang.
Pernyataan ini juga diperkuat oleh Alexandre Tombini, gubernur
Bank Sentral Brasil, yang menyatakan di World
Economic Forum 2014 Davos bahwa strategi keluar dari kebijakan ”easy-money” tidak tersinkronisasi
secara baik. Akibat itu, banyak pasar uang dan pasar modal di negara
berkembang mengalami kontraksi sehingga memaksa bank sentral menaikkan suku
bunga acuan yang berpotensi menggerus pertumbuhan ekonomi.
Kritik sejumlah negara berkembang dan emerging tidak membuat
mundur The Fed untuk melakukan pengurangan stimulus moneter. The Fed bahkan
telah memberikan sinyal menaikkan suku bunga acuan di Amerika Serikat untuk
menyerap kelebihan likuiditas di pasar keuangan. Ini membuat langkah-langkah
penyesuaian (adjustment) sebagai
upaya normalisasi pasar keuangan dunia menjadi fokus perhatian pengambil
kebijakan di banyak negara.
Setelah sejumlah
guncangan seperti krisis utang Eropa dan dampak pengurangan QE, dunia mencari
keseimbangan baru dalam tatanan perekonomian global. Bagi negara-negara
berkembang dan emerging, kebijakan
”normalisasi” ditempuh melalui serangkaian kebijakan baik dari sisi moneter
maupun fiskal. Kebijakan menaikkan suku bunga acuan, pemberian kredit secara
selektif, penguatan cadangan devisa, pengendalian inflasi dan penguatan daya
beli masyarakat dilakukan dalam proporsi yang beragam berdasarkan kondisi
masing-masing negara.
Barubaru ini India, Afrika Selatan, Turki, dan Brasil menaikkan
suku bunga acuan untuk meredam tekanan capital-outflow
dan depresiasi nilai tukar mata uang. Sejumlah paket stimulus
jugaditambahkanagarsektorriil terus bergerak seperti yang dilakukan Rusia
dengan memberikan paket stimulus kepada sektor usaha kecil dan menengah
(UKM). Bagi Indonesia, upaya normalisasi perekonomian dilakukan melalui
serangkaian kebijakan yang kita sebut sebagai stabilisasi perekonomian
nasional.
Di tengah gejolak pasar keuangan dunia sejak awal semester II
2013 sampai saat ini, Indonesia mengalami tekanan defisit pada neraca perdagangan
dan neraca pembayaran. Pertumbuhan ekonomi kita yang tinggi masih belum
terimbangi dengan produksi dalam negeri. Akibat itu, impor menjadi tinggi
saat pasar ekspor dunia melambat. Selain itu, stabilisasi akibat kenaikan
harga jual harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terhadap inflasi juga
menjadi tantangan ekonomi nasional sepanjang semester II 2013.
Kebijakan normalisasi atau stabilisasi ditujukan untuk sekaligus
memitigasi gejolak pasar keuangan dunia serta semakin memperkuat fundamental
ekonomi nasional. Sejumlah bauran kebijakan dilakukan sebagai langkah
normalisasi dan stabilisasi ekonomi nasional. Koordinasi dan konsultasi
kebijakan dalam FKSSK dilakukan secara intens. Baikpemerintah, BankIndonesia,
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maupun Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) secara
kolektif bekerja bersama untuk memperkuat fundamental ekonomi nasional
sebagai upaya normalisasi akibat guncangan pasar keuangan dunia.
Pemerintah mengeluarkan serangkaian paket kebijakan mendorong
sektor riil, mengurangi impor, mengelola inflasi, dan memperbaiki iklim
berinvestasi. Sementara BI melakukan serangkaian kebijakan moneter dari
penyesuaian BI Rate, aturan loan to value (LTV), sampai kerja sama bilateral swap arrangement (BSA). OJK
juga melakukan upaya dengan penyesuaian persyaratan buy-back saham di pasar modal untuk menahan laju penurunan harga
saham.
Pada akhir 2013 sejumlah kebijakan normalisasi dan stabilisasi
perekonomian nasional menunjukkan hasil positif. Neraca perdagangan Oktober,
November, dan Desember 2013 kembali positif setelah defisit pada bulan-bulan
sebelumnya. Neraca pembayaran pada kuartal IV 2013 bahkan mencatatkan surplus
USD4,41 miliar setelah tiga kuartal sebelumnya defisit. Data BI menunjukkan
kenaikan cadangan devisa yang menembus USD100, 7 miliar per Januari 2014.
Inflasi sepanjang 2013 jauh lebih kecil dari perkiraan awal dan hanya mencapai
8,34%.
Ekonomi nasional masih mampu berekspansi sebesar 5,78% dengan
pendapatan per kapita yang terus meningkat. Dari sisi penanaman modal,
realisasi investasi di sektor riil juga menembus Rp398 triliun dan menjadikan
Indonesia sebagai salah satu negara tujuan investasi dunia. Indikasi
penguatan fundamental ekonomi juga tercermin pada terapresiasi nilai tukar
rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) akhir-akhir ini.
Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada
Jumat (21/2) tercatat menguat 103 pada posisi Rp11.730, sementara IHSG
menguat ke level 4.631. Kurs referensi non
deliverable-forward (NDF) bahkan akan dihapuskan untuk transaksi USD/IDR
dan digantikan oleh kurs referensi Bank Indonesia (JISDOR) mulai 27 Maret
2014. Kurs acuan yang dikeluarkan BI telah mendapatkan kepercayaan dan
kredibilitas lebih baik dibandingkan dengan NDF yang seringkali menjadi ajang
spekulasi.
Upaya normalisasi dan stabilisasi ekonomi nasional masih akan
terus dilakukan sepanjang 2014. Kebijakan macroprudential
dan mendorong industrialisasi serta hilirisasi akan terus dilakukan oleh
pengambil kebijakan nasional. Ini penting mengingat perekonomian dunia masih
diselimuti ketidakpastian.
Selain itu juga membaiknya perekonomian di negara maju
memunculkan potensi pembalikan modal dari negara berkembang dan emerging
masuk ke negara maju. Ini perlu kita antisipasi bersama dengan terus
memperkuat fundamental ekonomi nasional melalui penjagaan daya beli
masyarakat, pembangunan infrastruktur, serta industrialisasi yang secara
konsisten kita lakukan saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar