Tabur
Bunga dan Sejarah yang Membesarkan
Moeldoko
; Panglima TNI
|
TEMPO.CO,
24 Februari 2014
Empat dekade silam, tepatnya pada 28 Mei 1973, pemimpin dan
Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew dengan hikmat melangkah memasuki Taman
Makam Pahlawan Kalibata, di Jakarta Selatan. Hari itu ia menabur bunga di
pusara dua prajurit KKO, Usman Haji Mohamed Ali dan Harun Said.
Lima tahun sebelumnya, pada 17 Oktober 1968, Usman dan Harun
menjalani hukuman gantung yang dijatuhkan pemerintah Singapura. Sejarah
mencatat bahwa keduanya tak menampik meledakkan bom di MacDonald House,
Orchard Road, pada 10 Maret 1965. Peledakan itu memang menjatuhkan korban
penduduk sipil yang tak disangka, dan salah satu permintaan Usman serta Harun
sebelum eksekusi adalah, mereka bisa dipertemukan dengan keluarga korban dan
memohon maaf.
Peristiwa Usman dan Harun memang harus dilihat dalam kerangka
konfrontasi. Konfrontasi di sini bukan hanya berupa perang dingin, yang
menularkan demam ke berbagai belahan dunia, tapi juga konfrontasi antara ide
besar tentang pelaksanaan tugas yang diemban oleh abdi negara dan kedaulatan
bangsa yang harus ditegakkan. Ide-ide besar seperti ini bisa memancing reaksi
yang sangat emosional dan berskala luas. Dan kebesaran seorang negarawan akan
ditentukan oleh bagaimana ia menghadapi reaksi emosional itu sambil tetap
menjunjung ide pelaksanaan tugas dan kedaulatan sebuah bangsa.
Jatuhnya korban sipil memang layak disesali. Pemerintah serta
rakyat Singapura berhak merasa terluka dan wajib menegaskan kedaulatannya.
Tapi, pada 28 Mei 1973 itu, Lee Kuan Yew bersedia mengatasi luka tersebut.
Dengan menabur bunga, ia ikut mengukuhkan tindakan pemerintah Indonesia yang
mengangkat martabat Usman dan Harun sebagai pahlawan nasional. Langkah
khidmat dan taburan bunga tersebut menunjukkan betapa Lee Kuan Yew bersedia
melepaskan diri dari sejarah masa silam yang sedih untuk menyiapkan masa
depan yang kian mengukuhkan kelangsungan hidup dan kesejahteraan bangsanya.
Jika kita mengenang taburan bunga Bapak Pendiri Singapura Modern
Lee Kuan Yew di Kalibata itu, kita memang bisa agak tersentak oleh reaksi
rekan-rekan di Singapura berkaitan dengan penyematan nama "Usman
Harun" di salah satu fregat Indonesia. Penyematan itu sungguh sejajar
dengan taburan bunga: penghormatan kepada mereka, termasuk prajurit kecil,
yang telah melaksanakan tugas negara sebaik-baiknya. Penyematan itu sama
sekali bukan tanda untuk menyerbu tetangga terdekat.
Kita sudah hidup di abad ke-21, dan abad ini berlimpah dengan
pelajaran sejarah yang menunjukkan bahwa niat menyerbu secara militer ke
negara tetangga bukanlah niat yang patut dan beradab. Saya sepakat bahwa perang fisik bukanlah kelanjutan dari
diplomasi yang buntu, melainkan buah pahit
dari kegagalan inteligensi (failure
of intelligence). Operasi militer hanya absah jika lawan sudah berhenti
menggunakan inteligensinya.
Kegagalan inteligensi selalu bermula dari kegagalan membebaskan
diri dari kungkungan sejarah, dan dari ketakmampuan menghargai harkat hidup
orang lain, bangsa lain. Indonesia tidak mungkin lagi menyerbu Singapura.
Indonesia bahkan berkepentingan agar Singapura, dan negara tetangga lain,
berada dalam keadaan damai dan stabil. Sebab, hanya dalam perdamaian yang
kukuh Indonesia bisa menegaskan kedaulatan negara dan kesejahteraan
rakyatnya.
Betapapun juga, Indonesia dan Singapura adalah dua dari lima
negara pendiri ASEAN. Perhimpunan kawasan yang semakin dihormati ini, kita
tahu, didirikan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan
pengembangan kebudayaan negara-negara anggotanya. Juga, tentu saja, untuk
memajukan perdamaian dan stabilitas di tingkat regional serta meningkatkan
kesempatan untuk membahas perbedaan di antara para anggotanya dengan damai.
Sejak didirikan, ASEAN secara formal telah menyediakan ruang
bagi para anggotanya untuk membicarakan perbedaan-perbedaan dan
membereskannya dengan damai. Ada yang mengatakan bahwa itulah cara Timur,
tepatnya Asia modern, untuk menyelesaikan konfliknya. Ruang seperti ini
mungkin tak memuaskan semua pihak, tapi ia terbukti dapat menopang upaya
mendorong pembangunan dan perdamaian di kawasan ASEAN.
Ruang seperti ini tak mungkin lahir jika para negarawan pendiri
ASEAN membiarkan diri mereka terkungkung dalam sejarah yang membuat kita
semua kehilangan kemampuan untuk merespons secara wajar kejadian-kejadian di
sekitar kita. Kita memang tak dapat
membiarkan masa silam memenjarakan masa depan kita. Di Kalibata, PM
Lee Kuan Yew, yang mengikuti syarat yang diajukan Presiden Soeharto, berhasil menunjukkan
bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang bisa memperlakukan sejarah secara
bijak untuk bisa membebaskan masa depan bangsanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar