Quo
Vadis Pengelolaan Transjakarta?
Wijaya
Kusuma Subroto ; Caleg Hanura, Ketua DPW Perindo DKI Jakarta
Pemerhati
Transportasi, Certified trainer keselamatan transportasi Member A-132 IASST
|
OKEZONENEWS,
24 Februari 2014
Bandingkan dengan artikel Wijaya Kusuma S di KORAN SINDO 15
Februari 2014
http://budisansblog.blogspot.com/2014/02/quo-vadis-pengelolaan-transjakarta.html
Untuk mengatasi kemacetan Jakarta, Jokowi membuat terobosan
cepat dengan menata transportasi darat di ibu kota. Percepatan proyek seperti MRT, Monorel yang sudah diresmikan groundbreaking-nya
beberapa waktu lalu seakan menjadi pertanda dimulainya peralihan transportasi
privat ke transportasi umum. Hal ini
perlu dilakukan agar Grid Lock alias kemacetan total yang menghantui
masyarakat tidak terjadi. Seperti diketahui, pertumbuhan jalan di Jakarta tak
sebanding dengan pertumbuhan kendaraan. Panjang jalan di Jakarta hanya 7.650
kilometer dan luas jalan 40,1 km atau 0,26 persen dari luas wilayah DKI. Sedangkan pertumbuhan panjang jalan hanya
0,01 persen per tahun. Hal ini dinilai tidak sebanding dengan tingginya angka
perjalanan yang mencapai 22 juta per hari.
Hal ini diperparah dengan menurunnya minat masyarakat menggunakan
kendaraan umum yang hanya 12.9 persen
saja dan berbanding terbalik dengan tahun 1980 an dimana pengguna
transportasi umum mencapai 50 persen.
Revitalisasi transportasi dan rekayasa penyelesaian kemacetan di
Jakarta adalah sangat mutlak diimplementasikan saat ini. Perlu pendekatan seperti mengurangi
penggunaan kendaraan bermotor pribadi dan peningkatan etika, disiplin lalu
lintas di jalan raya dan perbaikan layanan angkutan umum itu sendiri.
Memberikan layanan angkutan yang baik akan mendorong para pengguna kendaraan
pribadi berpindah ke angkutan umum. Salah satu caranya dengan menambah jumlah
armada busway TransJakarta (TJ). Saat
ini yang beredar hanya 650 unit ditambah dengan armada baru sebanyak
1.000 unit. Langkah penambahan armada
busway ini merupakan terobosan yang baik sebagai solusi awal pengurai
kemacetan di ibukota.
Namun dibalik semangat memberi solusi kemacetan di Jakarta,
proses pengadaan armada transjakarta ini terkesan serampangan. Alhasil bus
merek Ankai, Yutong/Korindo yang di
impor oleh salah satu vendornya PT.
San Abadi berkualitas sangat buruk. Sebanyak 30 unit bus tahap awal yang
diresmikan pengoperasiannya oleh Jokowi beberapa waktu lalu, hanya 18 saja
yang beroperasi sisanya mengalami masalah. Mulai dari turbo sensor berkarat,
indikator air cleaner berada di batas kuning-merah (tidak layak), pulley terbuka sehingga gemuk
bocor, tabung knalpot karatan, water coolant bocor, kompresor AC berjamur,
kabel otomatis spion terpasang tak rapi dan bahkan pecah, rangka kendaraan
berkarat, interior panel yang tidak
ada bautnya, pintu tidak bisa dibuka dan macet, serta sederet masalah
lainnya. Entah bagaimana proses pre delivery inspectionnya dan apakah juga
dilakukan factory visit untuk memeriksa sistem perakitan dan kesiapan
kendaraan dan uji coba sebelum di impor ke Indonesia. Jadi pertanyaan besar
bagaimana sistem Uji Laik Jalan alias Keur dan apakah produk tersebut
memenuhi standar Industri tertentu semisal SNI untuk beberapa komponen
kendaraannya, atau SAE dalam pembuatan rangka (Chassis) maupun badan
kendaraan (Body), ISO, DOT, ANZI dan standar lain sesuai dengan prasyarat
standardisasi komponen kendaraannya. Persyaratan standardisasi mengenai
kualitas kendaraan ini seharusnya menjadi syarat utama dalam pengadaan bis
ini. Karena disitulah letak uji kualitas kendaraan. Disamping pengutamaan
kualitas tentunya pembelian 1.000 unit ini juga harus dilakukan bertahap.
Harga TJ ini tidaklah murah, dari data yang diperoleh sebuah TJ harus ditebus
dengan harga Rp3,795 miliar. Sedangkan dalam proses pengadaan lalu INKA
(produsen Indonesia) mengajukan harga Rp3,980 dengan 41 persen komponen lokal
terstandardisasi. Kalau 1.000 Unit
berarti total Rp3,795 trilliun digelontorkan untuk pengadaan ini.
Pertanyaannya mengapa kita ngotot menggunakan produk China yang
kualitasnya diragukan. Mengapa Kadishub, sebagai ketua panitia tender
berpatokan pada biaya murah, namun tidak memperhatikan kualitas. Kalau dishub misalnya menggunakan produksi
dalam negeri tentunya akan sangat menyerap tenaga kerja yang cukup banyak.
Belum lagi layanan purna jual atau jaminan pemeliharaan dengan cukup mudah
dilakukan karena bis dirakit di Indonesia. Sungguh ironis, di saat
pengangguran banyak di Indonesia, kita masih saja melakukan impor dan
menguntungkan pihak tertentu. Padahal, di Indonesia sendiri saya yakin mampu
membuat bus sejenis, misalnya pengusaha karoseri bus seperti PT Karoseri
Nusantara Gemilang yang memproduksi bis tingkat “Miracle” dan diperkenalkan kepada masyarakat
beberapa waktu lalu, kemudian PT. Laksana yang mengekspor bus SR-1 ke Fiji
2012 lalu. Pertanyaannya kenapa kita musti impor kalau di dalam negeri ada potensi
membuat bus seperti ini. Bahkan negara
Fiji sendiri mengakui bahwa harga produksi Indonesia memang lebih mahal
sedikit karena mesin yang masih diimpor namun kualitas bisnya diakui lebih
baik dan lebih tahan lama dibandingkan bus produksi China. Oleh karena itu
tak heran dalam kurun 3 tahun belakangan ini sudah 14 bis Trans Jakarta yang
terbakar, tentunya ini tidak lepas dari kualitas buruk TJ dan buruknya sistem
pemeliharaan kendaraan. Belum lagi terhitung bus yang sering mogok, mulai
dari AC yang tidak berfungsi, panel
indikator rusak, turbo yang rusak dan pelbagai masalah lainnya. Kalau sudah
begini apakah kita perlu mempertimbangkan harga murah dibandingkan mahal
sedikit namun kualitas yang baik.
Tak heran, hal ini berdampak pada pergeseran jabatan kadishub
DKI Jakarta dari Udar Pristono yang digantikan oleh Muhammad Akbar. Entah
apakah ada yang bermain atau memang terjadi kelalaian dalam proses pengadaan
bis tersebut. Oleh karena itu proses
audit adalah langkah yang tepat.
Selanjutnya tentu, team pengadaan barang atau team tender perlu
mengkaji ulang pengadaan bis yang selanjutnya.
PR besar untuk Muhammad Akbar, merevitalisasi tata kelola
transportasi Jakarta dan berhati hati dalam pengadaan TJ ini, tentunya tidak perlu tergesa-gesa membeli
langsung dalam jumlah besar, namun pembelian bertahap dengan memperhatikan
kualitas, jaminan purna jual menjadi penting. Demikian juga pembelian harus
pula memperhatikan kesiapan infrastruktur termasuk kesiapan jalur bus way,
halte dan sarana penunjang termasuk Bis Kota Terintegrasi Busway (BKTB) dan
sistem informasi rute cerdas. Sistem
Informasi Rute Cerdas ini diperlukan agar masyarakat dengan mudah mendapatkan
informasi tentang layanan rute, estimasi tiba dan berangkat bis, biaya dan
outlet yang menyediakan tiket baik itu tiket sekali pakai, langganan dan terusan.
Sebagai perbandingan di Singapore, layanan bis sebanyak 4000 unit
dengan pelbagai layanan seperti misalnya layanan jarak jauh antar wilayah
(Townlink), kemudian ada pula yang melayani transportasi malam (Night Rider
dan Night Owl), layanan lingkungan (feeder) dan layanan premium. Rasanya kita
perlu berkaca dan belajar mengenai tata kelola transportasi Singapore ini
yang di kelola oleh Land Transportation Authority (Dishub) untuk Indonesia.
Tentunya disesuaikan dengan keadaan layanan transportasi Jakarta. Sinergi dengan MRT, Monorail, maupun KRL
jabodetabek juga perlu dilakukan, angkutan lingkungan semisal angkot,
metromni sehingga transportasi intermoda tidak lagi menjadi hambatan.
Terakhir, pemerintah pusat pun perlu memikirkan untuk membatasi
jumlah kendaraan yang beredar.
Seharusnya antara ruas jalan dan jumlah kendaraan yang beredar harus
berimbang, sehingga pemborosan energi akibat kemacetan tidak terjadi. Cara
yang dilakukan pemerintah Singapore dengan menerapkan Kuota Kendaraan
(Vehicle Quota Sistem) yang mengenakan pajak tinggi untuk setiap penambahan
kendaraan baru perlu dijadikan contoh. Disingapore, tidak mudah untuk membeli
mobil, perlu ikut tender untuk mendapatkan hak kepemilikan kendaraan (Certificate of Entitlement), makin
banyak mobil beredar maka makin malah pula pajaknya.
Rasanya Pemerintah harus membuat kebijakan makro transportasi
yang pro kepada masyarakat umum dan jangan sampai meledaknya pembeli
kendaraan baru (dengan dikeluarkannya kebijakan mobil murah LCGC) akan
menambah keruwetan dan kemacetan di Indonesia. Insya Allah dengan adanya
sinergi kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diharapkan
dapat mengatasi permasalahan kemacetan di Jakarta dan dijadikan model
penanganan transportasi yang baik di daerah lain di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar