Selasa, 25 Februari 2014

Quo Vadis Pengelolaan Transjakarta?

Quo Vadis Pengelolaan Transjakarta?

Wijaya Kusuma Subroto  ;   Caleg Hanura, Ketua DPW Perindo DKI Jakarta
Pemerhati Transportasi, Certified trainer keselamatan transportasi Member A-132 IASST
OKEZONENEWS,  24 Februari 2014

Bandingkan dengan artikel Wijaya Kusuma S di KORAN SINDO 15 Februari 2014
http://budisansblog.blogspot.com/2014/02/quo-vadis-pengelolaan-transjakarta.html
                                                                                                                    
                                                                                         
                                                                                                                       
Untuk mengatasi kemacetan Jakarta, Jokowi membuat terobosan cepat dengan menata transportasi darat di ibu kota.  Percepatan proyek seperti MRT, Monorel  yang sudah diresmikan groundbreaking-nya beberapa waktu lalu seakan menjadi pertanda dimulainya peralihan transportasi privat ke transportasi umum.  Hal ini perlu dilakukan agar Grid Lock alias kemacetan total yang menghantui masyarakat tidak terjadi. Seperti diketahui, pertumbuhan jalan di Jakarta tak sebanding dengan pertumbuhan kendaraan. Panjang jalan di Jakarta hanya 7.650 kilometer dan luas jalan 40,1 km atau 0,26 persen dari luas wilayah DKI.  Sedangkan pertumbuhan panjang jalan hanya 0,01 persen per tahun. Hal ini dinilai tidak sebanding dengan tingginya angka perjalanan yang mencapai 22 juta per hari.  Hal ini diperparah dengan menurunnya minat masyarakat menggunakan kendaraan umum  yang hanya 12.9 persen saja dan berbanding terbalik dengan tahun 1980 an dimana pengguna transportasi umum mencapai 50 persen.

Revitalisasi transportasi dan rekayasa penyelesaian kemacetan di Jakarta adalah sangat mutlak diimplementasikan saat ini.  Perlu pendekatan seperti mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi dan peningkatan etika, disiplin lalu lintas di jalan raya dan perbaikan layanan angkutan umum itu sendiri. Memberikan layanan angkutan yang baik akan mendorong para pengguna kendaraan pribadi berpindah ke angkutan umum. Salah satu caranya dengan menambah jumlah armada busway TransJakarta (TJ). Saat  ini yang beredar hanya 650 unit ditambah dengan armada baru sebanyak 1.000 unit.   Langkah penambahan armada busway ini merupakan terobosan yang baik sebagai solusi awal pengurai kemacetan di ibukota.

Namun dibalik semangat memberi solusi kemacetan di Jakarta, proses pengadaan armada transjakarta ini terkesan serampangan. Alhasil bus merek Ankai, Yutong/Korindo  yang di impor oleh salah satu vendornya  PT. San Abadi berkualitas sangat buruk. Sebanyak 30 unit bus tahap awal yang diresmikan pengoperasiannya oleh Jokowi beberapa waktu lalu, hanya 18 saja yang beroperasi sisanya mengalami masalah. Mulai dari turbo sensor berkarat, indikator air cleaner berada di batas kuning-merah (tidak  layak), pulley terbuka sehingga gemuk bocor, tabung knalpot karatan, water coolant bocor, kompresor AC berjamur, kabel otomatis spion terpasang tak rapi dan bahkan pecah, rangka kendaraan berkarat,  interior panel yang tidak ada bautnya, pintu tidak bisa dibuka dan macet, serta sederet masalah lainnya. Entah bagaimana proses pre delivery inspectionnya dan apakah juga dilakukan factory visit untuk memeriksa sistem perakitan dan kesiapan kendaraan dan uji coba sebelum di impor ke Indonesia. Jadi pertanyaan besar bagaimana sistem Uji Laik Jalan alias Keur dan apakah produk tersebut memenuhi standar Industri tertentu semisal SNI untuk beberapa komponen kendaraannya, atau SAE dalam pembuatan rangka (Chassis) maupun badan kendaraan (Body), ISO, DOT, ANZI dan standar lain sesuai dengan prasyarat standardisasi komponen kendaraannya. Persyaratan standardisasi mengenai kualitas kendaraan ini seharusnya menjadi syarat utama dalam pengadaan bis ini. Karena disitulah letak uji kualitas kendaraan. Disamping pengutamaan kualitas tentunya pembelian 1.000 unit ini juga harus dilakukan bertahap. Harga TJ ini tidaklah murah, dari data yang diperoleh sebuah TJ harus ditebus dengan harga Rp3,795 miliar. Sedangkan dalam proses pengadaan lalu INKA (produsen Indonesia) mengajukan harga Rp3,980 dengan 41 persen komponen lokal terstandardisasi.  Kalau 1.000 Unit berarti total Rp3,795 trilliun digelontorkan untuk pengadaan ini. 

Pertanyaannya mengapa kita ngotot menggunakan produk China yang kualitasnya diragukan. Mengapa Kadishub, sebagai ketua panitia tender berpatokan pada biaya murah, namun tidak memperhatikan kualitas.  Kalau dishub misalnya menggunakan produksi dalam negeri tentunya akan sangat menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Belum lagi layanan purna jual atau jaminan pemeliharaan dengan cukup mudah dilakukan karena bis dirakit di Indonesia. Sungguh ironis, di saat pengangguran banyak di Indonesia, kita masih saja melakukan impor dan menguntungkan pihak tertentu. Padahal, di Indonesia sendiri saya yakin mampu membuat bus sejenis, misalnya pengusaha karoseri bus seperti PT Karoseri Nusantara Gemilang yang memproduksi bis tingkat “Miracle”  dan diperkenalkan kepada masyarakat beberapa waktu lalu, kemudian PT. Laksana yang mengekspor bus SR-1 ke Fiji 2012 lalu. Pertanyaannya kenapa kita musti impor kalau di dalam negeri ada potensi membuat bus seperti ini.  Bahkan negara Fiji sendiri mengakui bahwa harga produksi Indonesia memang lebih mahal sedikit karena mesin yang masih diimpor namun kualitas bisnya diakui lebih baik dan lebih tahan lama dibandingkan bus produksi China. Oleh karena itu tak heran dalam kurun 3 tahun belakangan ini sudah 14 bis Trans Jakarta yang terbakar, tentunya ini tidak lepas dari kualitas buruk TJ dan buruknya sistem pemeliharaan kendaraan. Belum lagi terhitung bus yang sering mogok, mulai dari AC yang tidak berfungsi,  panel indikator rusak, turbo yang rusak dan pelbagai masalah lainnya. Kalau sudah begini apakah kita perlu mempertimbangkan harga murah dibandingkan mahal sedikit namun kualitas yang baik.

Tak heran, hal ini berdampak pada pergeseran jabatan kadishub DKI Jakarta dari Udar Pristono yang digantikan oleh Muhammad Akbar. Entah apakah ada yang bermain atau memang terjadi kelalaian dalam proses pengadaan bis tersebut.  Oleh karena itu proses audit adalah langkah yang tepat.  Selanjutnya tentu, team pengadaan barang atau team tender perlu mengkaji ulang pengadaan bis yang selanjutnya.

PR besar untuk Muhammad Akbar, merevitalisasi tata kelola transportasi Jakarta dan berhati hati dalam pengadaan TJ ini,  tentunya tidak perlu tergesa-gesa membeli langsung dalam jumlah besar, namun pembelian bertahap dengan memperhatikan kualitas, jaminan purna jual menjadi penting. Demikian juga pembelian harus pula memperhatikan kesiapan infrastruktur termasuk kesiapan jalur bus way, halte dan sarana penunjang termasuk Bis Kota Terintegrasi Busway (BKTB) dan sistem informasi rute cerdas.  Sistem Informasi Rute Cerdas ini diperlukan agar masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi tentang layanan rute, estimasi tiba dan berangkat bis, biaya dan outlet yang menyediakan tiket baik itu tiket sekali pakai, langganan dan  terusan.  Sebagai perbandingan di Singapore, layanan bis sebanyak 4000 unit dengan pelbagai layanan seperti misalnya layanan jarak jauh antar wilayah (Townlink), kemudian ada pula yang melayani transportasi malam (Night Rider dan Night Owl), layanan lingkungan (feeder) dan layanan premium. Rasanya kita perlu berkaca dan belajar mengenai tata kelola transportasi Singapore ini yang di kelola oleh Land Transportation Authority (Dishub) untuk Indonesia. Tentunya disesuaikan dengan keadaan layanan transportasi Jakarta.  Sinergi dengan MRT, Monorail, maupun KRL jabodetabek juga perlu dilakukan, angkutan lingkungan semisal angkot, metromni sehingga transportasi intermoda tidak lagi menjadi hambatan.

Terakhir, pemerintah pusat pun perlu memikirkan untuk membatasi jumlah kendaraan yang beredar.  Seharusnya antara ruas jalan dan jumlah kendaraan yang beredar harus berimbang, sehingga pemborosan energi akibat kemacetan tidak terjadi. Cara yang dilakukan pemerintah Singapore dengan menerapkan Kuota Kendaraan (Vehicle Quota Sistem) yang mengenakan pajak tinggi untuk setiap penambahan kendaraan baru perlu dijadikan contoh. Disingapore, tidak mudah untuk membeli mobil, perlu ikut tender untuk mendapatkan hak kepemilikan kendaraan (Certificate of Entitlement), makin banyak mobil beredar maka makin malah pula pajaknya.

Rasanya Pemerintah harus membuat kebijakan makro transportasi yang pro kepada masyarakat umum dan jangan sampai meledaknya pembeli kendaraan baru (dengan dikeluarkannya kebijakan mobil murah LCGC) akan menambah keruwetan dan kemacetan di Indonesia. Insya Allah dengan adanya sinergi kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diharapkan dapat mengatasi permasalahan kemacetan di Jakarta dan dijadikan model penanganan transportasi yang baik di daerah lain di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar