Plagiat
Amarzan
Loebis ; Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
24 Februari 2014
Kamus Besar Bahasa Indonesia menerangkan "plagiat"
sebagai "pengambilan karangan
(pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat
dsb) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya
sendiri". Pemahaman apa yang bisa ditarik dari penjelasan ini?
Pertama, plagiat adalah perbuatan lancung. Karangan yang
merepresentasikan pendapat atawa buah pikiran melekat pada hak individual
sang pengarang yang, sesungguhnya, dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta.
Plagiator, dengan demikian, sudah menginjak-injak hak individual itu.
Kedua, plagiat menunjukkan kemiskinan intelektual. Di kolong
langit ini, kata Julius Caesar, "Tak
ada hal yang tidak menarik; yang ada ialah orang-orang yang tidak
tertarik." Tugas intelektual adalah mengangkat masalah-masalah yang
luput dari ketertarikan awam, dan menjadikannya bahan rujukan yang mencerahkan
dan menginspirasi-tanpa mencederai martabat intelektualitasnya.
Ketiga-dan ini yang paling berat-plagiat merupakan
"kejahatan terencana". Tidak ada tindakan spontan dalam proses
plagiarisme. Sang plagiator (penjiplak) pastilah membaca lebih dulu karangan
yang akan dijiplaknya, sebelum merasa tertarik mencaplok karangan itu dan
mengakuinya sebagai karangan sendiri. Dalam proses "ambil alih"
itu, sebetulnya plagiator masih berusaha menghapus jejak dengan mengubah
satu-dua kalimat, atau satu-dua alinea, atau mengubah susunan alinea. Tapi
biasanya mereka gagal karena-dan ini juga merupakan kejahatan-memandang
rendah khalayak sasarannya.
Pada tingkat apakah sebuah karangan bisa disebut plagiat? Ada
berbagai jenjang yang sekaligus bisa digunakan untuk "menentukan"
derajat plagiat. Jenjang pertama adalah yang biasa disebut "copy
paste", ketika lebih dari 70 persen karangan, alinea demi alinea dan
secara berurutan, sama dengan karya yang diplagiat.
Jenjang kedua meliputi "pilihan kata", yang diikuti penempatan
kata dalam pengkalimatan. Seorang pengarang yang sudah terbiasa
mempublikasikan karya tulisnya di media massa mudah dikenali kekayaan-atau
sebaliknya, kemiskinan- kosakatanya. Kesamaan kosakata, apalagi menyangkut
kata yang unik, khas, dan tidak biasa, layak dicurigai sebagai bentuk plagiat
yang berada setingkat di bawah "copy paste".
Jenjang ketiga meliputi "gaya", sesuatu yang
sesungguhnya sulit dipakai sebagai bahan pembuktian plagiat. Kecenderungan
kesamaan gaya lebih mudah dikategorikan sebagai
"keterpengaruhan"-sesuatu yang dianggap biasa-biasa saja dalam
dunia tulis-menulis.
Jenjang keempat meliputi kesamaan penggunaan metafora, termasuk
pepatah-petitih dan tamsil ibarat. Jika dalam dua karangan yang berbeda
terdapat lebih dari tiga metafora yang sama, sudah selayaknya kedua tulisan
itu disimak secara lebih saksama, seraya mencari persamaannya yang lain.
Terakhir adalah kesamaan gagasan, yang bisa dihisabkan kepada
bentuk plagiat yang paling ringan. Kesamaan gagasan merupakan sesuatu yang sangat
mungkin terjadi secara kebetulan, dan mencari gagasan yang sepenuhnya
"orisinal" nyaris mustahil dalam lalu lintas ide yang semakin
dinamis. Karena itu, menggunakan kategori ini untuk menentukan plagiarisme
merupakan pekerjaan yang tidak mudah dipertanggungjawabkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar