Mengapa
Kejahatan Luar Biasa?
Koreksi terhadap RUU KUHP/KUHAP
Romli
Atmasasmita ; Profesor Emeritus Universitas Padjadjaran
(Unpad)
|
KORAN
SINDO, 23 Februari 2014
Dua pekan terakhir masyarakat dipertontonkan pro dan kontra
terhadap RUU KUHAP dan KUHP. Inti perdebatan adalah sekitar pertanyaan,
apakah korupsi benar merupakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) sehingga memerlukan sarana hukum dan
lembaga yang luar biasa?
Penulis, yang melontarkan konsep extra-ordinary crimes of corruption saat pergantian UU RI Nomor
31 Tahun 1999 dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001, berpijak pada dua hal.
Pertama, TAP MPR RI Nomor XI Tahun 1998 ; yang menegaskan pemberantasan
tuntas terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah terjadi pada
kroni-kroni Soeharto. Kedua, kenyataan korupsi telah terjadi secara sistemik
dan meluas dan terpusat pada satu sentral kekuasaan yang bersifat otoritarian
yang berdampak telah merampas hak-hak ekonomi dan sosial 250 juta rakyat
Indonesia.
Bagian pernyataan ini dicantumkan di dalam bagian Menimbang UU
RI Nomor 20 Tahun 2001. Kelanjutan perubahan strategis dalam UU RI Nomor 20
Tahun 2001 adalah dimasukkan ketentuan gratifikasi (Pasal 12B hingga Pasal 12
C); bukti elektronik sebagai alat bukti petunjuk (Pasal 26A); pembuktian
terbalik terbatas (limited reversal of
burden of proof) dalam Pasal 37 A hingga Pasal 38 C. Tiga ketentuan
tersebut hanya berlaku untuk tindak pidana korupsi dan ketika itu belum
berlaku untuk tindak pidana narkotik dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Penetapan korupsi merupakan kejahatan luar biasa telah
memperoleh justifikasi baik secara politik maupun secara hukum di awal era
reformasi ketika itu sehingga diperlukan sarana hukum acara yang bersifat
khusus yang diperbolehkan penyimpangan terhadap KUHAP 1981 dan dibentuk
pengadilan khusus tipikor. Tak lupa diperlukan lembaga independen untuk
menangani korupsi mulai pencegahan sampai penindakan serta membangun sistem
pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.
Lembaga ini (Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) kemudian dibentuk
dengan UU RI Nomor 30 Tahun 2002 sebagai amanat UU RI Nomor 31 Tahun 1999
(Pasal 43). Dasar perimbangannya adalah ketika itu kepolisian dan kejaksaan
dipandang belum efektif untuk melaksanakan tugas baru dimaksud. Pemerintah
SBY konsisten dengan korupsi sebagai kejahatan luar biasa telah mengeluarkan
kebijakan khusus pemberian remisi yang diperketat terhadap narapidana korupsi
selain narapidana terorisme dan narkoba.
Namun, dalam RUU KUHP (2012) dan RUU KUHAP (2012) pemerintah
berbeda dan cenderung tidak konsisten di mana delik khusus di luar KUHP,
termasuk korupsi, narkoba, dan terorisme ditempatkan ke dalam RUU KUHP
sebagai delik biasa. Kebijakan legislasi tersebut menunjukkan bahwa telah
terjadi perubahan paradigma dalam sistem hukum pidana Indonesia, kembali
kepada asas kodifikasi total (total
codification) dari asas kodifikasi parsial (Sudarto) yang telah dimulai
dengan berlaku UU Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Ekonomi sampai saat ini.
Perubahan tersebut justru tidak sejalan dan bahkan tidak relevan
dan tidak strategis dihubungkan dengan kesigapan pemerintah meratifikasi
konvensi internasional tentang korupsi, terorisme, dan narkoba. Padahal
diperlukan kerja sama internasional terpadu dengan standar internasional
pencegahan dan pemberantasan yang mengutamakan keseimbangan penanganan baik
dari aspek kepentingan bangsa-bangsa maupun aspek perlindungan HAM.
ICCPR sejatinya instrumen internasional yang bersifat payung dan
pedoman umum dalam perlindungan HAM di setiap negara. Tetapi, setiap negara
(berdaulat) tentu akan memperjuangkan perlindungan HAM dimaksud dalam konteks
kultur, geografis, dan kepentingan negara (bangsa)-nya.
Naif sekali jika bangsa Indonesia di tengah masa transisi menuju
negara modern yang demokratis yang belum selesai tuntas beranggapan bahwa
kesadaran hukum, stabilitas sosial dan ekonomi, serta kondisi geografis sama
dengan bangsa di negara maju. Langkah yang mirip dengan hakim pemeriksa
pendahuluan (hakim komisaris) telah dicoba dan gagal karena dalam praktik
adalah 99% perkara praperadilan dikalahkan dan perlindungan hak asasi
tersangka/terdakwa tidak tercapai.
Inti persoalan perlindungan HAM dalam praktik penegakan hukum di
Indonesia sejatinya terletak pada mindset
aparatur hukum, bukan perundang-undangannya. Perubahan kebijakan pemerintah
SBY kembali kepada asas kodifikasi total merupakan bukti bahwa politik hukum
pidana nasional masa yang akan datang tidak lagi mengakui sifat luar biasa
korupsi, terorisme, narkoba, dan pencucian uang. Tafsir normatif dan logis
atas perubahan paradigma tersebut adalah tidak dianut lagi asas ”lex specialis” dan secara mutatis mutandis ditiadakan adagium, ”lex specialis derogate lege generali”.
Semua tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat betapa pun
serius dan luas dampak kerugian yang diakibatkannya adalah tindak pidana
biasa (lege generali) semata dan
oleh karenanya tidak diperbolehkan lagi ada penyimpangan-penyimpangan hukum
acara selain yang telah ditetapkan di dalam rancangan KUHAP (2012) yang
tengah dibahas pemerintah dan DPR RI saat ini. Kesamaan nalar kedua tim
penyusun (RUU KUHP dan KUHAP) sebagai contoh tampak pada pelarangan perbuatan
penyadapan (Pasal 300 hingga 303 RUU KUHP) dan ketentuan hukum acara mengenai
penyadapan (Pasal 83 hingga 84 RUU KUHAP).
Sekalipun ketentuan hukum acara penyadapan terdapat kekecualian
untuk tindak pidana serius termasuk korupsi, terorisme, psikotropika dan
narkotika, serta pencucian uang, tetapi ketentuan tersebut tidak mencerminkan
asas lex specialissama sekali karena asas kekhususan (specialis) berbeda signifikan dengan kekecualian. Dalam referensi hukum
pidana yang diakui universal tidak dikenal nomenklatur ”kejahatan kekecualian”;
selain ”kejahatan khusus” (specialized
crimes).
Kekecualian di dalam Pasal 83 jo Pasal 84 RUU KUHAP (2012) tidak
akan menghapuskan kekhawatiran pandangan bahwa penegakan hukum terhadap
korupsi, terorisme, narkoba, serta pencucian uang akan terpasung. Kekecualian
tersebut masih akan diperparah dengan tenggat waktu yang sangat singkat dalam
penangkapan (satu hari) dan penahanan (2x5x24 jam) dan pada tingkat
pemeriksaan pengadilan untuk 2x30 hari dan seterusnya.
Dikhawatirkan ketentuan RUU KUHAP 2012 dengan hakim pemeriksa
pendahuluan tidak akan berhasil sama halnya dengan praktik praperadilan yang
digagas dan telah dimuat dalam KUHAP 1981 sebagai karya agung. Konsekuensi
hukum lebih jauh dari perubahan paradigma sebagaimana diuraikan di atas adalah
lembaga penegak hukum yang diakui dalam sistem peradilan pidana berdasarkan
RUU KUHAP hanya kepolisian dan kejaksaan; tidak lagi diperlukan lembaga
khusus yang menangani kasus korupsi (KPK), terorisme (BNPT), narkoba (BNN),
dan pencucian uang (PPATK).
Inti dari perdebatan dan pro dan kontra atas RUU KUHP dan RUU
KUHAP terletak pada pandangan dan pengakuan pemerintah dan wakil rakyat
terhadap perbuatan yang disebut korupsi, narkoba, terorisme, dan pencucian
uang sebagai suatu perbuatan yang diancam pidana
karena sangat merugikan dan membahayakan ketahanan nasional bangsa Indonesia
untuk dua puluh lima tahun yang akan datang.
KUHP memiliki posisi strategis dalam menjaga kedaulatan hukum
NKRI karena mencerminkan pandangan hidup bangsa terhadap kejahatan-kejahatan
yang dianggap serius dan merupakan ancaman terhadap bangsa dan negaranya.
KUHAP hanya dijadikan ”vehicle”
yang mutatis mutandis harus sejalan
dengan pandangan hidup bangsa dimaksud. Penulis menyarankan agar pembahasan
RUU KUHP didahulukan daripada RUU KUHAP.
Keberhasilan atau kegagalan bangsa ini dalam melindungi
kedaulatan hukum dan ketahanan bangsa ini di masa depan sangat bergantung
pada produk KUHP yang merupakan prime
guarantor negara untuk melindungi rakyatnya dari ancaman kejahatan transnasional,
bukan bergantung pada seberapa kuat komitmen dan perlindungan HAM oleh negara
terhadap para pelaku kejahatan transnasional terorganisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar