Rabu, 05 Februari 2014

Perlindungan Sipil di LN

Perlindungan Sipil di LN

Ismatillah A Nu’ad   ;  Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan,
Universitas Paramadina, Jakarta
JAWA POS,  05 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
KISAH Shandra Woworuntu adalah sepenggal di antara sekian cerita mengenaskan yang dialami warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Shandra dijebak sindikat perdagangan manusia (human trafficking) dengan iming-iming kerja di luar negeri yang menggiurkan, padahal dipekerjakan sebagai pekerja seks. Shandra jatuh pada satu mucikari ke mucikari lain hingga dia berhasil menyelamatkan diri dan ditolong oleh sebuah LSM di Amerika Serikat. 

Sewaktu lolos, Shandra pernah mengadu ke KJRI di New York atas musibah malang yang menimpa dirinya, namun usahanya pada 2001 itu sia-sia. Shandra sempat menyayangkan karena dia dianggap sebagai "penyelundup" yang ingin meraup keuntungan di negeri Paman Sam ketika dia mengadu paspornya hilang di KJRI. Kesigapan KJRI di luar negeri atas berbagai kasus yang tidak terduga di luar negeri perlu untuk mendapat perhatian serius, terutama dari pemerintah pusat atau dalam hal ini Kementerian Luar Negeri. 

Sebelum kasus Shandra, telah banyak WNI di luar negeri yang mengalami kasus-kasus yang tidak diinginkan. Publik mungkin masih ingat kasus Manohara Odelia Pinot, WNI yang juga model 16 tahun, dikawini secara bawah tangan oleh Muhammad Fakhry, putra kerajaan Kelantan Malaysia. Manohara diduga mendapat perlakuan kurang senonoh. Menurut media nasional, Manohara bahkan disayat dengan silet, hal yang sangat mengerikan dan tidak manusiawi. 

Sebelumnya lagi ada kasus David Hartanto Widjaja alias David, mahasiswa Indonesia di Nanyang Technology University (NTU) Singapura. Dia dikabarkan tewas mengenaskan karena bunuh diri. Menurut sejumlah media Singapura, David bunuh diri setelah menusuk dosen pembimbingnya. Namun, kabar terakhir dari salah satu situs lokal Singapura (oneunitedearth.com), sebuah situs yang tampaknya dibuat oleh sekumpulan mahasiswa Indonesia yang berada di Singapura, menyatakan bahwa hasil visum terhadap David mengarah pada pembunuhan dan bukan kasus bunuh diri.

Kemudian, pada April 2007, tragedi penembakan membabi buta di Virginia Tech University, AS, yang menewaskan 33 mahasiswa. Termasuk Halomoan Lumbantoruan, seorang mahasiswa program doktoral dari Indonesia. Kasus pengusutannya bagai ditelan bumi. Kita tidak mengetahui apakah kasusnya ketika itu tuntas atau sebaliknya, dan apakah pemerintah membantu mengusut kasus itu? 

Melihat sejumlah kasus yang sebagian korbannya WNI, lalu kita bertanya, seberapa ketat pemerintah melindungi warga negaranya di luar negeri? Selama ini, pemerintah terkesan abai terhadap persoalan-persoalan yang menimpa WNI yang hidup di negeri orang. Katakanlah misalnya, seperti yang dialami para TKI yang bekerja di Malaysia, Hongkong, Arab Saudi, dan negara-negara lain. 

Manusia Indonesia terkesan begitu murah, bisa diperlakukan untuk melampiaskan rasa kemarahan. Anehnya, begitu banyak kasus pelanggaran HAM, tetapi hampir tidak ada satu kebijakan konkret dari pemerintah untuk melindungi warga negaranya. Bahkan, pemerintah terkesan membiarkan kondisinya terus berlangsung. 

Semestinya, ada kebijakan tertentu dari pemerintah yang benar-benar menjamin keberadaan WNI di luar negeri, apalagi untuk waktu yang lama seperti bermukim karena tengah melanjutkan studi atau untuk bekerja seperti TKI. Paling tidak, ada tiga alasan yang mengharuskan pemerintah memberikan jaminan sebagai langkah preventif untuk melindungi WNI di luar negeri.

Pertama, pemerintah harus benar-benar berkoordinasi dengan perwakilannya di luar negeri (Kedubes RI), yang bertugas mendata, mengayomi, atau memantau WNI di masing-masing negara tujuan. Kedua, pemerintah wajib memberikan bantuan hukum jika ada WNI yang memiliki persoalan hukum di negara tujuan. Ketiga, pemerintah harus mengusut tuntas jika ada kasus-kasus pelanggaran HAM atau kekerasan terhadap WNI yang ada di luar negeri. 

Secara lebih jauh, pemerintah harus memiliki keberanian jika ada kasus kekerasan atau pelanggaran HAM yang menimpa WNI di negeri orang. Pemerintah jangan terkesan lembek dan tidak berani menghadapi negara-negara tempat WNI tertimpa kasus kekerasan maupun pelanggaran HAM. 

Justru ketika tidak ada tekanan dari pemerintah, di situ pemerintah akan dianggap lemah dan di sinilah bahayanya. Nanti banyak negara luar yang mengira jika ada WNI yang bermukim di negara tersebut, lalu meskipun terjadi apa-apa terhadap WNI, negara tersebut tidak merasa takut. Toh negeri ini akan membiarkan kasusnya berlalu. WNI di luar negeri pun akan berpikir dua kali. Mungkin dia akan mengurungkan niatnya untuk bermukim lebih lama di negeri orang. 

Sudah saatnya negara ini memperbaiki diri selangkah demi selangkah dan banyak belajar dari kasus-kasus yang terjadi. Sebab, sebuah perubahan kadang terjadi karena ingin berupaya memperbaiki dari kasus-kasus yang pernah terjadi. Tetapi, sebaliknya, sebuah negara dikatakan teramat bodoh jika membiarkan, menganggap angin lalu, dan tidak mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang telah menimpanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar