Senin, 24 Februari 2014

Mestinya Malu

Mestinya Malu

Jean Couteau  ;   Penulis Kolom “Udar Rasa” di Kompas
KOMPAS,  23 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Selain kecelakaan, mobil bukan tempat di mana hal-hal yang penting terjadi, kan? Tetapi bagiku, mobil adalah tempat pikiranku suka melayang lepas-bebas. Maka ia tempat aku kerap menggagas kolom Udar Rasa ini: barulah ide tebersit di benakku, aku merogoh Blackberry untuk mencatatnya; kadang berhenti sebentar di pinggir jalan, kadang tidak. Boleh ataupun tidak boleh, aku tak peduli? Tetap aku lakukan. He...he....

Kini, aku sudah parkir di pinggir jalan, sedang mikirin Udar Rasa dan sekaligus apa yang baru saja terjadi dua menit yang lalu: Aku di kemudi, lalu lintas di depan cukup lancar; aku di belakang sebuah mobil lain. Ia tepat di depanku. Sialan!! Lampu hijau telah berkedip beralih ke kuning. Mestinya sopir mobil itu berhenti. Tidaaaak! Bukan mengerem, dia malahan tambah melaju. Gila bener! Melihat gelagatnya, aku mestinya ngerem dengan keras, kan? Tetapi, kerasukan setan apa, aku justru menekan pedal gas ….dan, ya! Kami dua-duanya lolos… menerobos lampu merah, pas di depan sepasang polisi yang menatap kami melintas–dengan mulut ternganga bengong. ”Waaah!!! Hampir-hampir kena!”

Lalu, apa reaksi kami setelah pengalaman ini? Malu? Sama sekali tidak! Sebaliknya kami terpingkal-pingkal, kecuali tamu bule Perancis kami, yang bermuka masam, lalu berkata padaku: ”tu exagères”–kamu berlebih-lebih!!

”Go to hell.” Elu Perancis, pikirku. Memang aku berlebih-lebih, tetapi bukankah itulah pertanda bahwa aku saat ini kian ”go Indonesia?” Aku tak kurang permisif dari sobat-sobat Indonesiaku! Tepat seperti Anda sekalian, teman-teman Indonesiaku pun bisa melanggar tanpa rasa bersalah.

Maka, seperti kalian pula, aku pun tertawa waktu membaca bahwa Gayus bisa hadir di Makau saat dipenjara. Seperti kalian dalam situasi serupa, aku tersenyum mendengar temanku mengisahkan cara dia naik pangkat menjadi pegawai golongan IVA: ”Sistemnya pas seperti di jalan tol,” katanya polos,” bayar sekali di portal, lalu bebas hambatan, he-he!” Bukankah perumpamaannya sangat pas? Apakah itu sebabnya aku, kini, mengucurkan duit pada istriku setiap dia perlu uang pelicin naik-pangkatnya, yang notabene tak kunjung naik itu? Jangan-jangan tidak naik karena duit pelicin itu baru cukup untuk pembelian pulsa bagi si Bapak X, pegawai ”kunci”? Bisa jadi! Susah nyusun anggaran suapan, kan? Jangan dikasih ”lebih”, tapi jangan ”kurang” juga! Bisa berabe!

Seperti Anda sekalian, teman-teman, selain permisif, aku juga ”loyal”, dan berbangga karenanya. Di antara kenalan baikku pernah terhitung seorang pintar yang menjadi joki unggulan bagi skripsi-skripsi orang-orang berkantong tebal. Aku tidak pernah membuka rahasia borok busuknya: orangnya baik sama aku. Harus setia kawan, dong! Maka bila aku bertemu dengan sarjana berembel MM dan DR palsu tapi sah hasil kerja sobat itu, aku bersembah-bungkuk seperlunya di hadapan mereka. Main aman!

Cuma, oleh karena loyal, tidak mungkin aku terlalu ”lurus” lha iyalah! Apakah kalian pernah membaca tulisanku? Kalau ”ngalor-ngidul”, sejarahnya terlalu mendalam, atau kelewat puitis, tandanya aku bohong. Tapi kalau tidak bohong, bagaimana? Tambah musuh! Maka aku pun terpaksa kompromi dalam kebohongan itu. Tak heran bila aku mempunyai banyak teman. Aku benar-benar ”go Indonesia”, kan?

Permisif, loyal, berbohong, banyak teman. Lengkap sudah! Atau hampir: coba bayangkan bagaimana jadinya aku bila berkuasa dan mengelola duit dalam jumlah besar? Mungkinkah aku luput dari ”korupsi”? Aku tidak yakin. Apalagi aku bukan tipe orang yang mudah ditakut-takuti bakal kecemplung di neraka!

Begitulah aku, begitulah kalian, begitulah kita, teman-teman, dan saudara-saudara se-Nusantara: tanpa kita sadari, perilaku permisif tak ayal bakal berujung pada suap-menyuap. Seperti pernah ditulis seorang karib di dalam salah satu SMS-nya: ”Kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK menunjukkan banyak sekali pihak-pihak yang terlibat tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan ”tindakan tercela yang melanggar hukum”. Kebanyakan terjerat jalinan pertemanan, persahabatan yang mudah tergelincir menjadi persekongkolan”.

Ya! Korupsi bukan sesuatu yang berada nun jauh di sana. Bukan realita abstrak yang sembunyi di belakang istilah asing yang suka diucapkan ahli hukum yang mahir. Korupsi besar sudah hadir secara potensial di dalam perilaku remeh, yaitu di dalam cara kita menerobos lampu merah, ”nyontek” di sekolah, mencari akal untuk naik pangkat dan bahkan tertawa untuk itu semua. Sadarkah kita? Cukup sadarkah aku? Jelas tidak. Buktinya: aku tidak sampai hati mengungkap nama orang-orang yang aku sebut ”boroknya” di atas. Astaga!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar