Senin, 24 Februari 2014

Peduli Bahasa Ibu

Peduli Bahasa Ibu

 S Sahala Tua Saragih  ;   Dosen Prodi Jurnalistik, Fikom Unpad
REPUBLIKA,  22 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Dahulu kala para tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang menikmati pen - di dikan tinggi di luar negeri, terutama Eropa Barat, menguasai beberapa bahasa asing (internasional). Ketika kembali ke Tanah Air mereka tetap menguasai bahasa ibu (bahasa daerah) masing-masing. Bahkan, banyak di antara mereka yang sangat fasih berkomunikasi dalam beberapa bahasa daerah. Tentu saja mereka bukanlah sarjana-sarjana bahasa atau sosiologi-antropologi.

Pada 1970-an hingga 1980-an penulis mengamati bahasa mahasiswa di berba-gai kampus di Bandung. Umumnya mereka fasih berbicara dalam bahasa ibu (daerah) masing-masing. Akan tetapi, kini keadaannya sudah berbalik hampir 180 derajat. Di ruang kuliah saya sering bertanya kepada para mahasiswa, siapa yang mampu berbahasa daerah? Dari 30-40 mahasiswa di satu kelas, yang mampu berbahasa daerah dalam komunikasi lisan dan tulisan rata-rata lima orang saja. Ironisnya, tak sedikit orang Sunda, misalnya, yang lahir dan besar di Bandung dan sekitarnya, ternyata tak mampu berbahasa Sunda.

Mereka mengungkapkan, bahasa keluarga mereka di rumah bahasa Indonesia. Padahal, ayah-bunda mereka sehari-hari berbahasa Sunda di rumah. Hal yang sama juga dialami banyak mahasiswa yang mengaku orang Jawa, Batak (yang lahir dan besar di Sumatra Utara), Minangkabau, dan beberapa suku bangsa lainnya. Hanya sedikit kosa kata bahasa ibu orang tua mereka yang dipahami.

Gejala yang lebih menarik, bahkan ekstrem, sejak beberapa tahun yang lalu di Jakarta dan sekitarnya banyak orang tua muda yang menganggap diri modern, menyapa anak mereka sejak bayi dalam bahasa Inggris. Padahal, dilihat dari status sosial-ekonomi, sesungguhnya mereka berasal dari keluarga kelas bawah/tengah yang tinggal di pinggiran kota, di gang-gang sempit. Akan tetapi, setelah mereka lulus dari perguruan tinggi negeri ternama, lalu bekerja di perusahaan-perusahaan multinasional, dalam tempo relatif singkat kelas sosial- ekonomi mereka melompat cukup tinggi.

Lalu mereka mengidentifikasi diri sendiri sebagai manusia terpelajar dan modern, sehingga anak kandung harus disapa dalam bahasa Inggris sejak bayi, bahkan sejak dalam kandungan. Mereka menyekolahkan anak-anak mereka sejak Kelompok Bermain atau Taman Kanak-kanak yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Mereka sangat bangga mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah berlabel international.

Sejak bayi anak-anak mereka diberi mainan dan tontonan yang semuanya berbahasa Inggris. Dengan kesadaran dan kebanggaan yang sepenuh-penuh- nya, bahasa Inggris mereka jadikan sebagai bahasa ibu anak-anak kandung mereka. Dengan harapan, kelak anak-anak mereka bisa kuliah di universitas- universitas internasional ternama di luar negeri.

Fenomena yang lebih ekstrem lagi, anak-anak mereka diajar menyapa kakek-nenek kandung, paman, bibi, dan sanak saudara dalam bahasa Inggris pula.
Sejak bayi anak mereka diajar menyapa nenek grandma (grand mother), kakek disapa grandfa (grand father), paman disapa uncle, bibi disapa anti (aunty), dan seterusnya. Para orang tua yang tergolong snobistis atau angkuh itu benar-benar mengajar dan mendidik anak-anak mereka seolah-olah tak berpijak di bumi Indonesia. Mereka menjadi manusia ahistoris dan antitradisi serta kebudayaan asli daerah orang tua kandung mereka. Padahal, para kakek-nenek yang dianggap tradisional itu sangat rindu disapa oleh cucu-cucu mereka dalam bahasa daerah masing-masing, misalnya, aki-nini (Sunda) atau eyang atau mbah (Jawa), atau ompung (baca: op pung) (Batak Toba dan Batak Simalungun).

Yah, apa boleh buat, yang berkuasa dalam rumah tangga abad ke-21 tersebut adalah ayah-ibu yang menganggap diri sebagai manusia sangat terpelajar dan modern. Gara-gara sapaan dalam bahasa Inggris kepada kakek-nenek kandung, kerap sekali hubungan keluarga antara orang tua (kakek-nenek) dengan anak dan menantu menjadi rusak parah. Para kakek-nenek itu marah besar kepada anak dan menantu masing-masing karena sikap sok "modern" dan angkuh mereka. Sayang nian, mereka tak mengetahui sejarah para tokoh besar pejuang kemerdekaan republik ini. Mereka tak mau berguru kepada nenek moyang yang prestasi dan kualitasnya jauh di atas mereka sendiri.

Dapatlah kita bayangkan dan perkirakan bila jumlah orang tua "modern"
dan snobistis seperti ini terus meningkat di negeri ini. Jangankan berbahasa daerah, berbahasa Indonesia pun cucu-cucu, generasi muda Indonesia abad ke- 21 itu, pasti terbata-bata. Mereka bagaikan orang asing di negeri sendiri. Entah di bumi mana mereka berpijak. Bahasa ibu anak-cucu kita adalah bahasa Inggris. Mereka sangat bangga tak mampu berbahasa daerah sama sekali dan terbata-bata berbahasa Indonesia.

Oleh karena itu dapatlah dipastikan, semakin lama semakin sedikit pengguna bahasa-bahasa daerah di Tanah Air. Niscaya pula semakin lama semakin banyak bahasa daerah yang MPP (mati pelan-pelan) alias punah. Dahulu kita memiliki 743 bahasa daerah, namun kini sebagian besar (60 persen) sudah punah. Apakah anak-cucu kita itu peduli terhadap tragedi budaya ini? Tentu saja tidak. Lalu siapa yang masih peduli terhadap bahasa-bahasa daerah di Tanah Air?

Pemerintah pusat dan daerah, serta media massa seharusnya menjadi pihak yang paling peduli dan bertanggung jawab dalam pelestarian harta asli bangsa kita ini. Haruslah disadari, kepunahan bahasa-bahasa daerah niscaya diikuti kepunahan budaya pula, dan pada akhirnya kepunahan masyarakat. Bahasa daerah adalah refleksi dan jati diri yang paling kokoh dari sebuah budaya. Oleh karenanya, upaya serius dalam menyelamatkan bahasa-bahasa daerah perlu segera dilakukan sehingga Indonesia tetap menjadi negara bhineka tunggal ika. Media massa nasional dan lokal -- kalau mau dan peduli-- bisa berperan besar dalam penyelamatan bahasa-bahasa ibu (daerah) di Tanah Air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar