Peduli
Bahasa Ibu
S Sahala Tua Saragih ; Dosen Prodi Jurnalistik, Fikom Unpad
|
REPUBLIKA,
22 Februari 2014
Dahulu kala para tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang menikmati
pen - di dikan tinggi di luar negeri, terutama Eropa Barat, menguasai
beberapa bahasa asing (internasional). Ketika kembali ke Tanah Air mereka tetap
menguasai bahasa ibu (bahasa daerah) masing-masing. Bahkan, banyak di antara
mereka yang sangat fasih berkomunikasi dalam beberapa bahasa daerah. Tentu
saja mereka bukanlah sarjana-sarjana bahasa atau sosiologi-antropologi.
Pada 1970-an hingga 1980-an penulis mengamati bahasa mahasiswa
di berba-gai kampus di Bandung. Umumnya mereka fasih berbicara dalam bahasa
ibu (daerah) masing-masing. Akan tetapi, kini keadaannya sudah berbalik
hampir 180 derajat. Di ruang kuliah saya sering bertanya kepada para
mahasiswa, siapa yang mampu berbahasa daerah? Dari 30-40 mahasiswa di satu
kelas, yang mampu berbahasa daerah dalam komunikasi lisan dan tulisan
rata-rata lima orang saja. Ironisnya, tak sedikit orang Sunda, misalnya, yang
lahir dan besar di Bandung dan sekitarnya, ternyata tak mampu berbahasa
Sunda.
Mereka mengungkapkan, bahasa keluarga mereka di rumah bahasa
Indonesia. Padahal, ayah-bunda mereka sehari-hari berbahasa Sunda di rumah.
Hal yang sama juga dialami banyak mahasiswa yang mengaku orang Jawa, Batak
(yang lahir dan besar di Sumatra Utara), Minangkabau, dan beberapa suku
bangsa lainnya. Hanya sedikit kosa kata bahasa ibu orang tua mereka yang
dipahami.
Gejala yang lebih menarik, bahkan ekstrem, sejak beberapa tahun
yang lalu di Jakarta dan sekitarnya banyak orang tua muda yang menganggap
diri modern, menyapa anak mereka sejak bayi dalam bahasa Inggris. Padahal,
dilihat dari status sosial-ekonomi, sesungguhnya mereka berasal dari keluarga
kelas bawah/tengah yang tinggal di pinggiran kota, di gang-gang sempit. Akan
tetapi, setelah mereka lulus dari perguruan tinggi negeri ternama, lalu
bekerja di perusahaan-perusahaan multinasional, dalam tempo relatif singkat
kelas sosial- ekonomi mereka melompat cukup tinggi.
Lalu mereka mengidentifikasi diri sendiri sebagai manusia
terpelajar dan modern, sehingga anak kandung harus disapa dalam bahasa
Inggris sejak bayi, bahkan sejak dalam kandungan. Mereka menyekolahkan
anak-anak mereka sejak Kelompok Bermain atau Taman Kanak-kanak yang menggunakan
bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Mereka sangat bangga mampu
menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah berlabel international.
Sejak bayi anak-anak mereka diberi mainan dan tontonan yang
semuanya berbahasa Inggris. Dengan kesadaran dan kebanggaan yang
sepenuh-penuh- nya, bahasa Inggris mereka jadikan sebagai bahasa ibu
anak-anak kandung mereka. Dengan harapan, kelak anak-anak mereka bisa kuliah
di universitas- universitas internasional ternama di luar negeri.
Fenomena yang lebih ekstrem lagi, anak-anak mereka diajar
menyapa kakek-nenek kandung, paman, bibi, dan sanak saudara dalam bahasa
Inggris pula.
Sejak bayi anak mereka diajar menyapa nenek grandma (grand mother),
kakek disapa grandfa (grand father), paman disapa uncle, bibi disapa anti (aunty), dan seterusnya. Para orang tua yang tergolong snobistis
atau angkuh itu benar-benar mengajar dan mendidik anak-anak mereka
seolah-olah tak berpijak di bumi Indonesia. Mereka menjadi manusia ahistoris
dan antitradisi serta kebudayaan asli daerah orang tua kandung mereka.
Padahal, para kakek-nenek yang dianggap tradisional itu sangat rindu disapa
oleh cucu-cucu mereka dalam bahasa daerah masing-masing, misalnya, aki-nini
(Sunda) atau eyang atau mbah (Jawa), atau ompung (baca: op pung) (Batak
Toba dan Batak Simalungun).
Yah, apa boleh buat, yang berkuasa dalam rumah tangga abad ke-21
tersebut adalah ayah-ibu yang menganggap diri sebagai manusia sangat
terpelajar dan modern. Gara-gara sapaan dalam bahasa Inggris kepada
kakek-nenek kandung, kerap sekali hubungan keluarga antara orang tua
(kakek-nenek) dengan anak dan menantu menjadi rusak parah. Para kakek-nenek
itu marah besar kepada anak dan menantu masing-masing karena sikap sok
"modern" dan angkuh mereka. Sayang nian, mereka tak mengetahui
sejarah para tokoh besar pejuang kemerdekaan republik ini. Mereka tak mau
berguru kepada nenek moyang yang prestasi dan kualitasnya jauh di atas mereka
sendiri.
Dapatlah kita bayangkan dan perkirakan bila jumlah orang tua
"modern"
dan snobistis seperti ini terus meningkat di negeri ini.
Jangankan berbahasa daerah, berbahasa Indonesia pun cucu-cucu, generasi muda
Indonesia abad ke- 21 itu, pasti terbata-bata. Mereka bagaikan orang asing di
negeri sendiri. Entah di bumi mana mereka berpijak. Bahasa ibu anak-cucu kita
adalah bahasa Inggris. Mereka sangat bangga tak mampu berbahasa daerah sama
sekali dan terbata-bata berbahasa Indonesia.
Oleh karena itu dapatlah dipastikan, semakin lama semakin
sedikit pengguna bahasa-bahasa daerah di Tanah Air. Niscaya pula semakin lama
semakin banyak bahasa daerah yang MPP (mati pelan-pelan) alias punah. Dahulu
kita memiliki 743 bahasa daerah, namun kini sebagian besar (60 persen) sudah
punah. Apakah anak-cucu kita itu peduli terhadap tragedi budaya ini? Tentu
saja tidak. Lalu siapa yang masih peduli terhadap bahasa-bahasa daerah di Tanah
Air?
Pemerintah pusat dan daerah, serta media massa seharusnya
menjadi pihak yang paling peduli dan bertanggung jawab dalam pelestarian
harta asli bangsa kita ini. Haruslah disadari, kepunahan bahasa-bahasa daerah
niscaya diikuti kepunahan budaya pula, dan pada akhirnya kepunahan
masyarakat. Bahasa daerah adalah refleksi dan jati diri yang paling kokoh
dari sebuah budaya. Oleh karenanya, upaya serius dalam menyelamatkan
bahasa-bahasa daerah perlu segera dilakukan sehingga Indonesia tetap menjadi
negara bhineka tunggal ika. Media massa nasional dan
lokal -- kalau mau dan peduli-- bisa berperan besar dalam penyelamatan
bahasa-bahasa ibu (daerah) di Tanah Air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar