Pembelajaran
Teks, Sejumlah Catatan
Sudaryanto
; Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
|
HALUAN,
24 Februari 2014
Salah satu hal yang dianggap baru dan mendasar dalam Kurikulum
2013 ialah pembelajaran teks dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kepala
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, Mahsun (2013),
menegaskan hal itu.
“Dari SD sampai SMA, kurikulum Bahasa Indonesia diajarkan dengan
berbasis teks,” ujarnya. Pertanyaannya, hal-hal apa sajakah yang perlu
dipersiapkan dalam pembelajaran teks di sekolah / madrasah kita?
Dalam sebuah teori pembelajaran disebutkan, ada tujuh komponen
yang berperan di dalam pembelajaran di kelas. Ketujuh komponen itu meliputi
guru, siswa, strategi mengajar, kurikulum, materi / bahan ajar, media ajar,
dan evaluasi pembelajaran.
Tulisan ini ingin memfokuskan diri pada empat hal saja, yaitu
guru, siswa, strategi mengajar, dan materi/bahan ajar. Adapun soal kurikulum,
media ajar, dan evaluasi pembelajaran, kelak dibahas di lain kesempatan.
Pertama, faktor guru. Sebaik dan sebagus apapun kurikulum yang
dirancang oleh pemerintah, termasuk Kurikulum 2013, saya yakin, guru tetap
menjadi faktor kunci dalam proses pembelajaran di kelas. Dalam konteks
pelajaran Bahasa Indonesia, guru Bahasa Indonesia memegang peran penting
dalam pelaksanaan pembelajaran teks.
Penguasaan guru terhadap teks berbahasa Indonesia dapat
dilakukan melalui dua kegiatan, yaitu membaca dan menulis.
Lemah Membaca dan Menulis
Saya sependapat dengan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, yang juga Guru Besar Linguistik Universitas Mataram, Mahsun (2013).
Dia berpendapat, “Selama ini,
pembelajaran Bahasa Indonesia tidak dipakai untuk membentuk cara berpikir.
Tak heran, jika kita lemah dalam membaca maupun menulis.”
Ungkapan bahwa kita “lemah dalam membaca maupun menulis” layak
digaris bawahi oleh semua pihak, termasuk guru Bahasa Indonesia. Dalam rangka
menyambut pelaksanaan Kurikulum 2013, terutama pembelajaran berbasis teks
di kelas, para guru Bahasa Indonesia dituntut untuk gemar membaca dan
menulis.
Mereka harus memiliki pengetahuan mengenai ragam-ragam teks,
mulai dari teks deskriptif, cerita ulang (recount),
hingga karya sastra. Selain itu, para guru Bahasa Indonesia harus pula
memiliki kesenangan dalam menulis, baik teks fiksi maupun nonfiksi.
Melalui teks puisi, misalnya, para guru Bahasa Indonesia dapat
mengajarkan siswanya di kelas untuk menjadi sosok apresiator yang baik,
selain juga menjadi sosok kreator yang baik pula.
Bahkan, melalui teks puisi pula, para guru Bahasa Indonesia
dapat membentuk sikap positif dan nilai-nilai luhur pada diri siswanya.
Misalnya, melalui puisi “Kupu-kupu dalam Buku” (1996) karya Taufiq Ismail,
siswa diharapkan memiliki kegemaran membaca di tempat mana pun.
Kedua, faktor siswa. Selain guru yang dituntut untuk gemar
membaca dan menulis, siswa juga dituntut hal serupa. Kegemaran membaca dan
menulis siswa akan tumbuh tatkala di sekolah dan rumahnya tersedia bahan
bacaan yang lengkap. Tanpa itu, kegemaran membaca dan menulis siswa tidak
akan bisa terwujud.
Di sini, saya tiba-tiba teringat pengalaman dari rekan penulis
Dr. Shofwan Al Banna Choiruzadd, atau biasa disapa Mas Shofwan.
Sedari kecil, Shofwan tumbuh di lingkungan keluarga yang gemar
membaca. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di lingkungan Kampung
Jogokariyan, Yogyakarta. Ketika kawan sebayanya lebih banyak bermain,
Shofwan justru memilih di rumah dan asyik membaca buku-buku koleksi ayahnya,
KH Muhammad Jazir Asp. Atas kegemaran membacanya itu, ia pun bisa menulis
beberapa buku yang best seller,
seperti Ramadhan Is Dead?
Pendek kata, baik guru Bahasa Indonesia maupun siswa, dituntut
untuk sama-sama memiliki kegemaran membaca dan menulis. Untuk mewujudkan hal
itu, alangkah bijaknya kalau pihak sekolah dan orang tua menyediakan
bahan-bahan bacaan yang disukai oleh siswa-siswa/anak-anaknya.
Tak ada salahnya, misalnya, jika guru di kelas dan orang tua di
rumah sesekali membelikan hadiah ulang tahun kepada siswa/anaknya berupa buku
atau ensiklopedia.
Inovasi Pembelajaran
Ketiga, faktor strategi mengajar. Seorang kawan pernah bercerita
bahwa dirinya lebih menyenangi pelajaran Kimia di SMA karena cara penyampaian
materi oleh gurunya yang inovatif dan kreatif.
Kebetulan, gurunya itu merupakan guru praktikan (PPL). Selain
juga masih muda, ia juga senang memberikan apresiasi positif kepada semua
siswa, termasuk kawan saya tadi. Beberapa tahun kemudian, kawan saya tadi
menjadi dosen di kampus yang sama dengan penulis.
Dari cerita di atas, ada dua hal yang perlu dicatat di sini.
Pertama, materi ajar boleh sama di tangan para guru, namun strategi pembelajaran
di kelas harus inovatif sehingga siswa menjadi senang dan mudah memahaminya.
Kedua, alangkah baiknya jika seorang guru pandai memberikan
apresiasi positif kepada siswanya. Misalnya, dengan mengucapkan kata-kata
seperti “Bagus!”, “Sip!”, “Cerdas!”, ataupun cukup menunjukkan ibu jari atau
jempol saja.
Keempat, faktor materi/bahan ajar. Seperti disinggung di atas,
teks atau genre mudah didapatkan dari beragam sumber, seperti buku, majalah,
atau internet. Melalui internet, misalnya, guru Bahasa Indonesia dapat
mencari, memilih, dan memilah teks-teks deskripsi untuk membelajarkan
kemampuan deskriptif para siswanya. Atau, melalui internet pula,
siswa-siswa mencari teks-teks cerita rakyat yang mengandung nilai-nilai luhur
dan karakter positif.
Bagi guru Bahasa Indonesia, siaran berita dari stasiun radio,
baik pusat maupun daerah, dapat dimanfaatkan sebagai materi ajar kompetensi
menyimak berita. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan materi ajar tersebut
dimanfaatkan ke arah penelitian tindakan kelas, seperti dilakukan oleh
Sutrisno, guru Bahasa Indonesia SMP N 1 Tepus, Gunungkidul, Yogyakarta. Teks
atau genre tak harus berwujud tulis, tetapi juga bisa berwujud lisan.
Akhir kata, keberhasilan (atau malah sebaliknya) pembelajaran
teks atau genre dalam pelajaran Bahasa Indonesia amat ditentukan oleh beragam
faktor. Guru, siswa, strategi mengajar, dan materi/bahan ajar layak
diperhatikan oleh pihak sekolah dan orang tua. Bagaimana pun, Kurikulum 2013
hanyalah sebuah dokumen yang, mau tidak mau, masih memerlukan daya
kreativitas, inovasi, dan kemauan semua pihak untuk mewujudkannya secara
sinergis. Anda setuju? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar