Senin, 24 Februari 2014

Plagiarisme di era Mbah Google

Plagiarisme di era Mbah Google

Reza Akbar Felayati  ;   Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional
(HI) FISIP Universitas Airlangga Surabya
JAWA POS,  24 Februari 2014

                                                                                         
                                                                                                                       
Jagat akademis Indonesia kembali dikagetkan oleh dugaan tindakan plagiarisme karya tulis. Kali ini sosok yang dituding melakukan plagiarisme bukan sosok yang main-main. Dia adalah dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Anggito Abimanyu PhD. Setelah kasusnya ramai diberitakan, dia pun memilih mengundurkan diri sebagai dosen di Kampus Biru (UGM) Senin (17/2/14).

Anggito menyatakan terjadi kesalahan penulisan referensi dalam sebuah folder di komputer pribadinya. Tulisan opininya yang berjudul Gagasan Asuransi Bencana, yang dimuat di Kompas (10 Februari 2014) diduga banyak yang sama dengan artikel opini Hotbonar Sinaga dan Munawar Kasan di koran yang sama pada 2007.

Apa Itu Plagiarisme

Apa yang dimaksud dengan plagiarisme? Neville (2010) dalam buku The Complete Guide To Referencing And Avoiding Plagiarism, mendefinisikan plagiarisme sebagai tindakan mengambil ide atau tulisan orang lain tanpa menyertakan referensi dan digambarkan seolah-olah hasil karya sendiri. (KBBI) plagiarisme adalah penjiplakan karya orang lain yang melanggar hak cipta.

Meski plagiarisme sudah dikenal lama, dengan semakin maraknya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, terutama di dalam dunia tulis-menulis, jurnalistik, dan karya ilmiah, isu plagiarisme menjadi semakin sensitif.

Misalnya, hanya dengan satu klik melalui Google dan berbagai search engine lain di jagat dunia maya, kita dapat mengakses dan mengambil berbagai informasi dan karya tulis milik hak cipta orang lain.

Sejatinya mengambil, mengutip, atau mengakses lalu menggunakan karya tulis hak cipta milik orang lain bukan merupakan tindakan yang "haram".

Bahkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar dugaan pelaku plagiarisme di Indonesia adalah kalangan terdidik, seperti pelajar, mahasiswa, bahkan kalangan akademisi yang seharusnya turut di garis depan sebagai wasit atau penjaga moral dan etika kutip-mengutip karya milik hak cipta orang lain.

Kalau kenyataan justru mereka yang diduga melakukan banyak plagiarisme, betapa buruk moral akademis. Begitu amat rendah etika keterpelajarannya. Oleh sebab itu, ke depan sangat perlu untuk terus-menerus mengampanye­kan penegakan moral kutip-mengutip itu karena perilaku tersebut sangat mudah. Bahkan, di era Mbah Google sekarang kutip-mengutip tersebut sangat dimanjakan.

Kebanyakan masyarakat awam, terutama mereka yang kurang mengerti hak cipta karya tulis, menganggap bahwa apa pun yang disediakan di dunia maya, khususnya dalam website Google, baik itu lagu, tulisan maupun foto dan gambar, seolah merupakan bahan publik yang dapat diakses atau diunduh tanpa aturan main etika dan moral akademis.

Patutkah Dihargai

Menanggapi tuduhan plagiarisme, Anggito memilih mundur sebagai dosen di UGM. Dia saat itu juga meminta maaf kepada rektor, dosen, dan seluruh civitas academica di UGM. Menurut dia, pengunduran itu dilakukan agar tak mencoreng nama besar UGM. Tindakannya ini merupakan sesuatu yang patut dihargai, terlepas dari tindakannya kelak disimpulkan bersalah atau tidak.

Andaikata orang yang diduga melakukan plagiarisme tersebut bukan sekelas Anggito Abimanyu, misalnya, hanya sekelas pelajar atau bahkan mahasiswa, sangat mungkin kasus itu tidak diberitakan dengan heboh. Bahkan, mungkin tidak akan ada yang sadar bahwa itu hasil plagiarisme.

Karena itu, kasus dugaan plagiarisme harus menjadi warning alarm bagi civitas academica dan institusi pendidikan di Indonesia. Dalam hal ini perlu sebuah tindakan tegas bagi para pelaku plagiarisme, tidak peduli itu siswa, mahasiswa, atau bahkan intelek yang terkenal sekalipun.

Tidak hanya sosialisasi bahwa plagiarisme merupakan pelanggaran etika moral akademis yang paling buruk. Lebih dari itu, perlu warning yang keras bahwa tindakan jiplak-menjiplak, kutip-mengutip karya orang lain merupakan pelanggaran sangat berat terhadap UU Hak Cipta Tahun 2002.

Selain itu, kasus dugaan tindakan plagiarisme Anggito dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat, khususnya kalangan siswa dan mahasiswa, bahwa kutip-mengutip, unduh-mengunduh, dan akses-mengakses informasi sangat instan dilakukan tetap harus dikampanyekan sebagai tindakan kejahatan teknologi yang buruk. Kinilah saatnya memunculkan kembali kesadaran serta apresiasi masyarakat akan pentingnya orisinalitas sebuah karya. Sekecil apa pun karya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar