Senin, 24 Februari 2014

“Personal Branding”

“Personal Branding”

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS,  23 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Saya duduk di sebelah seorang laki-laki dalam penerbangan dari kota Singa kembali ke Ibu Kota tercinta ini. Seorang laki-laki dengan bau badan yang menyengat, rambut berminyak tak disisir.

”You are what you eat”

Apa yang tampak di luar menggambarkan siapa sesungguhnya pria ini. Saat santap malam disajikan, ia menjawab dengan kasar ketika seorang pramugari menawarkan pilihan makanan dan minuman. Tidak ada ucapan terima kasih atau kata please keluar dari mulutnya.

Saat acara makan berlangsung, ia seperti sedang makan di rumahnya sendiri, gelas dan plastik pembungkus perlengkapan makanan dibuka dan dibiarkan tergeletak berantakan. Lengan kanannya dinaikkan ke atas dan melewati batas kursi tempat saya duduk sehingga saya cukup terganggu karena tindakannya itu.

Setelah selesai menyantap hidangan hingga ludes, ia tampak tak merasa perlu merapikan tempat makan itu. Alhasil, saya seperti melihat bak sampah melayang di ketinggian tiga puluh enam ribu kaki.

Dan saat pramugari hendak mengambil kembali ”bak sampah” itu, ia tak bergerak untuk membantu dan asyik menyaksikan tayangan film di layar kecil. Padahal ia duduk di kursi tengah, yang tentunya agak menyulitkan bagi mbak pramugari untuk mengambil langsung ”bak sampah” itu.

Beberapa saat sebelum kejadian itu, saat para penumpang memasuki pesawat dan mencari tempat duduk yang sesuai, seorang pria yang berseberangan dengan saya duduk sambil membaca buku. Tak lama kemudian datang dua penumpang yang duduk di tengah dan dekat jendela pesawat.

Ketika salah satu dari kedua penumpang itu mengatakan permisi karena mau lewat, si bapak tua ini tetap asyik membaca, ia tak merasa perlu menghentikan kegiatan membacanya, bahkan untuk sejenak saja, dan berdiri untuk memberi peluang bagi kedua penumpang itu untuk bisa mencapai tempat duduknya.

Ia memilih hanya menggeser kakinya ke arah tepi kursi sehingga kedua penumpang itu dengan susah payah melangkahi kakinya untuk meraih tempat duduk.

Melihat kejadian itu, saya tak berkehendak memberi pembelajaran soal etika di hari Minggu ini, saya malah teringat atas sebuah pernyataan teman saya yang di suatu hari pernah berkata begini, ”Apa yang kamu lihat dari luar, yang dilakukan seseorang, baik cara mereka berbicara, cara mereka berbisnis, cara mereka berpakaian, dan cara mereka makan, itu semuanya mencerminkan sifat manusia itu sesungguhnya, mencerminkan bagaimana mereka dibesarkan dan bagaimana mereka akan memahami nilai kehidupan ini.”

Tiga jenis sajian

Selama perjalanan yang ditempuh selama sembilan puluh menit itu, saya jadi berpikir soal membangun personal branding. Ketika saya masih kecil, masih anak-anak, ketika saya tak tahu apa artinya santun dan sopan, saya mendapatkan pelajaran dari kehidupan ini. Kehidupan yang berasal dari keluarga, saat menjalani masa pendidikan dari taman kanak-kanak sampai sarjana, dan tentunya dari kehidupan sosial.

Banyak dari teman saya yang berstatus ibu mengatakan, masa paling penting dalam mengajarkan kesopanan, kesantunan, mengalah, menjaga sesamanya, tidak egois, dan sejuta hal lainnya adalah di masa kecil itu.

Kemudian saya malah jadi teringat dengan keluarga saya sendiri. Saya tak pernah merasa bahwa orangtua saya berhasil membuat kami anak-anaknya seperti anak-anak teman dekat saya itu. Kami tak memiliki kerukunan seperti yang diceritakan teman-teman saya itu. Bahkan buktinya semakin nyata, saat kami sekarang tumbuh menjadi manusia yang nyaris sepuh.

Beberapa teman saya malah bete dengan orangtuanya karena merasa dianaktirikan sehingga pada masa sekarang ini, mereka berusaha membuktikan bahwa keputusan orangtua mereka melakukan itu adalah sebuah kesalahan.

Saya sungguh memaklumi dan tak bisa menyalahkan dengan pengalaman masa kecil, khususnya saat orangtua mendidik anak-anaknya. Namun, saya merasa bahwa adalah salah kalau setelah tumbuh menjadi manusia dewasa dalam usia dan mental, saya tetap memilih cara hidup yang demikian, yang menyakitkan orang lain, yang membuat orang lain merasa kesal.

Saya sungguh setuju kalau masa lalu tak bisa diubah dan itu akan memengaruhi perjalanan kehidupan sampai sekarang ini, tetapi saya tak boleh lupa bahwa Sang Kuasa juga memberi saya otak untuk berpikir, untuk mengetahui yang baik dari yang benar, yang baik dari yang begitu kelirunya.

Personal branding itu adalah pengalaman masa kecil, apa pun pengalaman itu, dipadukan dengan kejernihan cara berpikir pada masa dewasa. Kemudian kedua campuran itu diberi bobot oleh yang menjalaninya.

Yang satu akan menghasilkan sajian yang membuat orang menikmatinya dan kembali lagi, yang lainnya menyuguhkan sajian yang hanya sekali saja untuk didatangi, dan yang terakhir yang membuat orang enggan datang, bahkan hanya untuk mencicipinya saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar