“Personal
Branding”
Samuel
Mulia ; Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom
“Parodi” di Kompas
|
KOMPAS,
23 Februari 2014
Saya duduk di sebelah seorang laki-laki dalam penerbangan dari
kota Singa kembali ke Ibu Kota tercinta ini. Seorang laki-laki dengan bau
badan yang menyengat, rambut berminyak tak disisir.
”You are what you eat”
Apa yang tampak di luar menggambarkan siapa sesungguhnya pria
ini. Saat santap malam disajikan, ia menjawab dengan kasar ketika seorang
pramugari menawarkan pilihan makanan dan minuman. Tidak ada ucapan terima
kasih atau kata please keluar dari mulutnya.
Saat acara makan berlangsung, ia seperti sedang makan di
rumahnya sendiri, gelas dan plastik pembungkus perlengkapan makanan dibuka
dan dibiarkan tergeletak berantakan. Lengan kanannya dinaikkan ke atas dan
melewati batas kursi tempat saya duduk sehingga saya cukup terganggu karena
tindakannya itu.
Setelah selesai menyantap hidangan hingga ludes, ia tampak tak
merasa perlu merapikan tempat makan itu. Alhasil, saya seperti melihat bak
sampah melayang di ketinggian tiga puluh enam ribu kaki.
Dan saat pramugari hendak mengambil kembali ”bak sampah” itu, ia
tak bergerak untuk membantu dan asyik menyaksikan tayangan film di layar
kecil. Padahal ia duduk di kursi tengah, yang tentunya agak menyulitkan bagi
mbak pramugari untuk mengambil langsung ”bak sampah” itu.
Beberapa saat sebelum kejadian itu, saat para penumpang memasuki
pesawat dan mencari tempat duduk yang sesuai, seorang pria yang berseberangan
dengan saya duduk sambil membaca buku. Tak lama kemudian datang dua penumpang
yang duduk di tengah dan dekat jendela pesawat.
Ketika salah satu dari kedua penumpang itu mengatakan permisi
karena mau lewat, si bapak tua ini tetap asyik membaca, ia tak merasa perlu
menghentikan kegiatan membacanya, bahkan untuk sejenak saja, dan berdiri
untuk memberi peluang bagi kedua penumpang itu untuk bisa mencapai tempat
duduknya.
Ia memilih hanya menggeser kakinya ke arah tepi kursi sehingga
kedua penumpang itu dengan susah payah melangkahi kakinya untuk meraih tempat
duduk.
Melihat kejadian itu, saya tak berkehendak memberi pembelajaran
soal etika di hari Minggu ini, saya malah teringat atas sebuah pernyataan
teman saya yang di suatu hari pernah berkata begini, ”Apa yang kamu lihat dari luar, yang dilakukan seseorang, baik cara
mereka berbicara, cara mereka berbisnis, cara mereka berpakaian, dan cara
mereka makan, itu semuanya mencerminkan sifat manusia itu sesungguhnya,
mencerminkan bagaimana mereka dibesarkan dan bagaimana mereka akan memahami
nilai kehidupan ini.”
Tiga jenis sajian
Selama perjalanan yang ditempuh selama sembilan puluh menit itu,
saya jadi berpikir soal membangun personal branding. Ketika saya masih kecil,
masih anak-anak, ketika saya tak tahu apa artinya santun dan sopan, saya
mendapatkan pelajaran dari kehidupan ini. Kehidupan yang berasal dari
keluarga, saat menjalani masa pendidikan dari taman kanak-kanak sampai
sarjana, dan tentunya dari kehidupan sosial.
Banyak dari teman saya yang berstatus ibu mengatakan, masa
paling penting dalam mengajarkan kesopanan, kesantunan, mengalah, menjaga
sesamanya, tidak egois, dan sejuta hal lainnya adalah di masa kecil itu.
Kemudian saya malah jadi teringat dengan keluarga saya sendiri.
Saya tak pernah merasa bahwa orangtua saya berhasil membuat kami anak-anaknya
seperti anak-anak teman dekat saya itu. Kami tak memiliki kerukunan seperti
yang diceritakan teman-teman saya itu. Bahkan buktinya semakin nyata, saat
kami sekarang tumbuh menjadi manusia yang nyaris sepuh.
Beberapa teman saya malah bete dengan orangtuanya karena merasa
dianaktirikan sehingga pada masa sekarang ini, mereka berusaha membuktikan
bahwa keputusan orangtua mereka melakukan itu adalah sebuah kesalahan.
Saya sungguh memaklumi dan tak bisa menyalahkan dengan
pengalaman masa kecil, khususnya saat orangtua mendidik anak-anaknya. Namun,
saya merasa bahwa adalah salah kalau setelah tumbuh menjadi manusia dewasa
dalam usia dan mental, saya tetap memilih cara hidup yang demikian, yang
menyakitkan orang lain, yang membuat orang lain merasa kesal.
Saya sungguh setuju kalau masa lalu tak bisa diubah dan itu akan
memengaruhi perjalanan kehidupan sampai sekarang ini, tetapi saya tak boleh
lupa bahwa Sang Kuasa juga memberi saya otak untuk berpikir, untuk mengetahui
yang baik dari yang benar, yang baik dari yang begitu kelirunya.
Personal branding itu adalah pengalaman masa kecil, apa pun pengalaman itu,
dipadukan dengan kejernihan cara berpikir pada masa dewasa. Kemudian kedua
campuran itu diberi bobot oleh yang menjalaninya.
Yang satu akan menghasilkan sajian yang membuat orang
menikmatinya dan kembali lagi, yang lainnya menyuguhkan sajian yang hanya
sekali saja untuk didatangi, dan yang terakhir yang membuat orang enggan
datang, bahkan hanya untuk mencicipinya saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar