Tragedi
Dunia Janus
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS,
24 Februari 2014
“Ada ancaman terhadap perekonomian
global akibat ketimpangan yang tinggi... (sehingga) membuat masa depan jadi
tidak pasti.”
Christine Lagarde, Direktur Pelaksana
IMF
DUNIA
tampaknya tengah menghadapi masa yang krusial bahkan menentukan akibat dari
paradoks yang dihasilkan oleh peradaban mutakhirnya.
Selain
oleh teknologi persenjataan yang kian menggiriskan, peradaban dunia juga
berubah akibat kemajuan menakjubkan di bidang kesehatan, komputasi, hingga
implementasinya dalam bidang informasi dan komunikasi. Di saat bersamaan,
teknologi dalam ilmu-ilmu kemasyarakatan pun tumbuh dengan tajam, termasuk
dalam urusan pemerintahan/kenegaraan, pengaturan ekonomi, praksis hukum, atau
kreasi-kreasi artistik.
Secara
ideal, dalam pengertian gagasan/ ide yang melandasinya, semua kemajuan itu
bergerak, melebar, dan membuncah dalam sebuah tatanan global yang dipimpin
dua komandan kembar: demokrasi (sebagai sistem ketatanegaraan) dan
kapitalisme (sebagai sistem perekonomian).
Apa
yang kemudian lalai, lengah, bahkan boleh jadi tak terpikir selintas pun,
kenyataan di balik semua kemajuan luar biasa dalam satu abad terakhir itu
bukan hanya seakan melibas pencapaian sekian ribu tahun peradaban-peradaban
dunia sebelumnya, tapi juga—dan ini yang terpenting—membuat kita alpa bila
(setiap) peradaban itu juga memproduksi karya-karya negatif yang justru
mendestruksi pencapaian-pencapaian ”positif” di atas.
Inilah
sesungguhnya nature atau fitrah dari semua produk yang dihasilkan oleh
spesies mamalia yang bernama Homo sapiens ini: kebudayaan senantiasa
berkembang atau tumbuh dengan karya-karyanya yang paradoksal. Seperti dewa
Janus dalam mitologi Romawi, kebudayaan dari peradaban dunia—sepanjang
usianya—selalu serentak menghasilkan produk berwajah dua: yang positif
(luhur) dan negatif (merusak). Alhasil, sebuah peradaban sebenarnya adalah
hasil dari pertempuran atau konflik, bisa juga negosiasi, dari dua wajah
”Janus” kebudayaan itu.
Hal
itu terjadi lantaran, disyukuri atau tidak, kebudayaan hanya dilahirkan oleh
satu golongan makhluk bernama manusia; makhluk yang notabene memiliki fitrah
lengkap dengan kapasitasnya untuk ”memilih”, mewarisi atau dianugerahi
sedikit sifat ilahiah yang jaiz
(boleh), yang secara diskriminatif tidak dimiliki makhluk lainnya di semesta
ini. Kapasitas dan sifat inilah yang mungkin secara biologis dimungkinkan
karena adanya pertumbuhan volume otak manusia, dari mula 700-an hingga 1.300
cc, jauh meninggalkan kera, manusia tegak (Phitecanthropus erectus) yang menjadi pendahulunya menurut logika
evolusi Wallace atau Darwinian.
”Kebolehan
memilih” dengan menggunakan volume otak itu memungkinkan manusia
mengeksplorasi bahkan mengeksploitasi kecenderungan (yang juga) paradoksal
dan alamiah dalam dirinya: menjadi suci atau bejat, secara sosial, kultural,
maupun spiritual. Hal itu terjadi tidak hanya di tingkat kolektif, juga
individual. Bahkan kerap keduanya berkembang paralel dalam organ yang sama.
Manusia bisa jadi pada dasarnya paradoksal jika tidak dibilang skizofrenik di
tingkat awal.
Fakta yang menggiriskan
Maka,
apabila kita bicara demokrasi dan kapitalisme yang menjadi norma bahkan etika
(tuntunan moral) dunia, sebaiknya kita tetap ingat, mafhum, bersikap dan bertindak
berdasarkan ”kejanusan” yang inheren di dalamnya. Demokrasi dan kapitalisme
yang secara ideal sesungguhnya memiliki maksud yang luhur untuk memuliakan
atau menciptakan kebahagiaan bagi manusia, ternyata juga menciptakan
manusia-manusia yang—dilegitimasi oleh sistem-sistem itu—justru pelan-pelan
meluluhlantakkan maksud luhur itu.
Pernyataan
Direktur Pelaksana IMF terkutip di atas dan disampaikan pada Forum Davos
beberapa waktu lalu bukan hanya menjadi indikasi, melainkan juga—karena
tingkat otoritasnya yang tinggi—menjadi bukti dari tragedi dunia Janus itu. ”Kekayaan di dunia hanya dimiliki oleh
segelintir warganya,” kata Lagarde lebih lanjut, ”...segelintir warga kaya
telah menguasai sistem dan semua akses... hal itu berlaku luas di banyak
negara. Sistem pemerintahan dan perekonomian telah dikooptasi oleh sedikit
orang kaya” (Kompas, 21 Januari
2014).
Pernyataan
keras lembaga seberpengaruh IMF itu diberi aksen yang konkret oleh Winnie
Byanyima, Direktur Eksekutif Oxfam, di bagian lain di acara yang sama, di
mana ia memaparkan data tentang total kekayaan 85 orang (0,00000002 persen
dari penduduk dunia), memiliki kekayaan yang lebih banyak dari separuh
penduduk dunia (3,5 miliar manusia). Total kekayaan secumit orang itu tak
kurang dari 1,7 triliun dollar AS atau setara sepersepuluh lebih PDB Amerika
Serikat, setimbang dengan PDB Brasil atau hampir tiga lipat dari PDB
Indonesia.
Fakta
itu bukan hanya memberi 85 orang di kahyangan itu kemampuan untuk menghidupi
rakyat negeri ini (untuk tidur dan menganggur) selama tiga tahun, juga mampu
menentukan siapa dan bagaimana sebuah negara harus berlangsung atau diatur,
sebagaimana pernyataan Lagarde di atas. Mereka adalah Janus yang lain, yang
di satu wajah menampilkan malaikat atau filantrof penuh kebajikan, di wajah
lain iblis dengan keserakahan tiada habis mengisap rezeki penduduk di sisa
dunia.
Kabar
kedatangan Bill Gates ke Indonesia, yang konon akan menggelontorkan tak
kurang dari Rp 140 miliar untuk yayasan sosialnya tahun ini, juga memberi
impresi ironis yang sama. Karena pada catatan majalah Forbes, pertambahan
kekayaan triliuner Microsoft itu pada 2013 tidak kurang dari 11,5 miliar
dollar AS atau sekitar Rp 140 triliun. Bagaimana Anda membayangkan wajah
dengan rambut palsu itu dalam dua angka tersebut?
Itu
pun Bill Gates bukan yang terhebat. Warren Buffett, triliuner lainnya,
membukukan pendapatan penghasilan terbesar sejagat pada 2013, senilai 12,7
miliar dollar AS atau Rp 155 triliun/tahun. Tapi dari total kekayaan, Gates
dan Buffett masih di belakang Carlos Slim, sang juara dunia, dengan estimasi
kekayaan pribadinya 73 miliar dollar AS atau sekitar Rp 876 triliun, setengah
dari APBN kita pada 2013.
Anda
tentu bisa membuat sedikit analisis, bila ”janus-janus” kapitalis global itu,
yang filantrofis di muka tapi monster di belakangnya, akan menciut menjadi
sekitar 20-25 orang saja dalam kurun 10-15 tahun ke depan, di mana total
kekayaan mereka akan mampu bukan hanya menggerakkan, bahkan mengendalikan
perubahan-perubahan di tingkat global. Tragedi macam apa yang akan terjadi
dalam dunia Janus seperti itu? Dalam mimpi pun Anda sulit menciptakan
bayangannya.
Ke mana kunci Janus
Semua
hal di atas tentu saja bukan semacam mitos tradisional macam leak atau
jalangkung yang sekadar menciptakan rasa takut artifisial. Semua itu fakta
berbasis data valid yang mestinya menjadi perhitungan kita, bukan saja ketika
harus bekerja dalam sebuah perusahaan, mengatur organisasi bahkan
pemerintahan, atau juga dalam usaha kita berkreasi di tingkat personal.
Dunia
tengah menghadapi situasi yang sebenarnya kritis saat menghadapi masa
depannya. Masa di mana masyarakat dunia tidak lagi ditaklukkan oleh kekejaman
perang, penyakit atau bisul-bisul kebudayaannya, tetapi oleh sebuah fallacy
yang melahirkan gergasi kapital demikian hebatnya.
Fakta
ini semestinya membuat kita merenung dengan sangat dalam, saat misalnya kita
menghasilkan profit yang bertambah persentasenya setiap tahun, atau
menyaksikan orang miskin dan korban bencana yang untuk makan dengan standar
umum saja begitu sulitnya. Apakah ”sistem pemerintahan dan perekonomian yang
telah terkooptasi” seperti konstatasi Christine Lagarde di atas memberi kita
garansi akan masa depan yang lebih baik, atau justru memberi ruang dan
peluang bagi ketertindasan baru dan bentuk kolonialisme dan imperialisme baru
yang lebih mencekam dan menggiriskan.
Di
tingkat lokal, data resmi juga memberi fakta serupa. Di mana 20 persen
penduduk kita mendapatkan 49 persen dari pendapatan nasional (PN), berbalik
dengan 40 persen penduduk miskin hanya mendapatkan 16 persen dari PN. Di
antara 20 persen itu, 405 orang terkaya Indonesia memiliki harta tak kurang
dari 120 miliar dollar AS (Rp 1.440 triliun) atau setara dengan APBN 2012.
Dan, dari jumlah itu, hanya 0,2 persen penduduk kita saja sudah menguasai 56
persen dari aset nasional.
Dalam
kompetisi kapitalistik yang sesungguhnya tidak ekual, data itu dipastikan
akan berkembang semakin menyudutkan rakyat secara keseluruhan. Koefisien gini
yang tumbuh pesat sepuluh tahun terakhir (dari 0,3 di 2002 menjadi 0,4 di
2013) menjadi indikasi akan tak terhentikannya pertumbuhan kapitalistik yang
mengalami kebuncitan obesitas di lapisan atas dan yang kebuncitan HO (honger
oedema) di lapisan bawahnya.
Bagaimana
kemudian kita bisa beramai-ramai berpesta, bahkan sudah begitu riuh dalam
persiapannya, hanya untuk sebuah kata ”demokrasi” yang tidak hanya
menghabiskan uang rakyat ratusan triliun, tetapi juga hanya untuk membiayai
cocktail kekuasaan kaum elite dan menyisakan infrastruktur hancur kaum alit.
Bangsa
ini membutuhkan cermin atau penggebuk besar untuk menyentak diri melakukan
refleksi dan kontemplasi. Tragik dunia Janus tidaklah cukup pantas untuk
diselebrasi. Niat harus diluhurkan untuk menciptakan pikiran dan tindakan
cerdas menanggapi realitas di atas, lokal maupun global, yang senantiasa
terkait. Kesadaran para pemimpin—daerah dan pusat—harus diperluas
cakrawalanya, sehingga ketidaktahuan dan ketidakmengertian tidak menjadi
ketidakpedulian pandir yang membuat negeri ini justru kian terperosok dalam tragedi-tragedi
kemanusian yang sistemik di masa depan.
Kita
tampaknya harus sungguh-sungguh berpikir ulang, apakah sistem-sistem yang
kita rayakan secara berkala ini dapat dipertahankan dalam realitas yang
membuat miris di atas? Apakah kunci yang dipegang tangan kanan Janus akan
digunakan untuk membuka kuilnya di Laurentium dan perang pun terjadi sebagai
akibatnya? Atau justru ia membuka pintu Eden di mana harapan dan kegemilangan
manusia ada di dalamnya? Hanya yang eling dan waspada bisa luput dari neraka
paradoks Janusian yang mengintip tajam di balik hati kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar