Awas
Janji Politik Oplosan
Shaleh Al Ghifari ; Waka LAM & PK FH Unand
|
HALUAN,
05 Februari 2014
Siaran televisi tengah
dihebohkan dengan goyang oplosan.
Politikus pun sedang berlomba-lomba merebut suara rakyat. Berbagai sapaan
dan kepedulian manipulatif dilancarkan demi memperdaya kehendak politik
konstituen. Tanpa keringat kerja politik mereka menyusun strategi
mendulang suara. Lagi-lagi mereka mengumbar janji oplosan.
Setiap mata penuh sesak pemandangan
perlombaan “jual-beli” komoditas politik. Iklan-iklan politik muncul hampir
di setiap jeda acara televisi yang kita tonton. Situs internet yang kita
selancari juga sudah terpampang foto-foto mereka. Pohon-pohon yang tumbuh di
pinggir jalan raya menderita tancapan paku spanduk politik. Layanan baliho di
setiap persimpangan dan sudut kota pun telah mereka taklukan.
Tak tanggung-tanggung, jumlahnya
mengalahkan iklan rokok yang selama ini menjadi pelanggan setia. Angkutan umum
yang biasanya dipenuhi stiker anekdot lelucon, secara serentak telah mereka
gantikan. Pintu rumah kita, jendela kita, sampai kalender di ruang tamu kita
telah terpampang senyuman mereka. Semuanya dipenuhi kalimat yang mengingatkan
kita jangan lupa memilih mereka.
Di alam demokrasi yang tengah kita tempuh
saat ini, tidak dapat dipungkiri, popularitas adalah kunci agar politikus
dipilih -paling tidak ketahui- oleh rakyat. Senada dengan yang diungkapkan
Donny Gahral Adian (Demokrasi Substansial, 2007),
dua cara mendapatkan suara dari pemilih adalah sama-sama melalui
popularitas.
Pertama,
dengan kerja keringat politik, yaitu dengan mengabdi terlebih dahulu kepada
rakyat sehingga rakyat paham apa yang kita lakukan ketika berpolitik. Kedua,
melalui cara instan dengan menggunakan layanan-layanan iklan politik,
sebagaimana yang dipakai banyak politikus saat ini. Bahkan, jamak kita temui
partai-partai yang merekrut sejumlah artis untuk mendongkrak popularitas.
Cara yang pertama cenderung tidak diminati
karena memerlukan pengorbanan yang tidak instan, semisal mewujudkan
perubahan sosial dimasyarakat. Modal sosial yang dimiliki tentu
saja tidak akan memerlukan strategi kampanye menggenjot popularitas
dengan kapital uang yang besar. Sehingga ketika terpilih, mereka menjalankan
visi dan program tanpa balas dendam terhadap sejumlah modal (baca:uang) yang
telah dikeluarkan untuk menduduki kursi politik. Sosok seperti Jokowi adalah
salah satu yang populer dengan jalan ini.
Berbeda dengan politikus yang mendongkrak
popularitas dengan cara kedua, politikus seperti ini nantinya cenderung akan
berbalik arah dari mandat konstituen, lantaran uang yang dikeluarkan begitu
besar sebagai implikasi dari pembiayaan politik “cepat saji”. Alih-alih
mengabdi kepada konstituen, rugi dahulu yang dikaji.
Data Kemendagri
sepanjang tahun 2005 hingga 2013, sudah 277 gubernur, bupati, dan
walikota yang terjerat kasus hukum dan mencapai angka 3.000 untuk DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten dan Kota) (Suara Pembaharuan,
09-12-13).
Sebagaimana dilansir beberapa media, di
Sumatera Barat sendiri sekarang sedang berlangsung perseteruan sengit
atara legislatif dan eksekutif tentang pos anggaran yang akan diambil
alih, berupa bansos dan hibah ataupun dana aspirasi. Betapa para politisi
membuka topeng mereka sendiri. Mereka menghabiskan energi berseteru
membajak uang rakyat demi golongan. Alhasil, pelayanan publik dan hajat
masyarakat dikesampingkan.
Mencurigai Politisi
Melihat kondisi semacam ini para pemilih
semestinya sadar dalam menggunakan hak pilih yang dimiliki. Jangan
sampai kita memilih mereka yang akan memperbanyak data kemendagri di atas.
Lebih dari itu seharusnya kita mengenali betul para politisi yang akan mengisi
negeri ini, yang akan memperjuangkan hak kita.
Paling tidak ada tiga hal utama yang mesti
kita “curigai” dari semua politisi sebelum menggunakan hak pilih kita. Pertama,
rekam jejak para politisi tersebut.Kedua,
program yang diusungnya. Ketiga partai yang dikendarai dan visi misinya.
Mengetahui rekam jejak para politisi sangat
diperlukan agar kita dapat menilai secara objektif seperti apa perjalanan
hidup politisi itu. Dari itu kita dapat menilai seberapa pantas si doi menduduki jabatan
di pemerintahan. Apa saja pengalaman kerja keringat politik yang
sudah pernah dilakukannya, hingga bagaimana dia melakukan pengabdiannya.
Bahkan kita juga perlu mengetahui seberapa “berbahaya” tabiat si calon
untuk dipilih.
Kemudian kita perlu mengetahui bagaimana
partai dan visi misi si calon. Setiap partai memiliki ideologi tersendiri
yang akan diturunkan dalam visi misi hingga sikap politik para anggotanya,
bahkan sampai kepada tabiat mereka. Ini sangat berpengaruh kepada calon yang
kita pilih, apakah si
doi sendiri
setia terhadap partainya, atau senang loncat sana loncat sini alias
gonta-ganti partai. Dari sini kita juga dapat menilai seberapa konsekuen si doi sebagai seorang
politisi.
Selanjutnya kita juga mesti menelaah betul
program apa yang di usung si
doi, karena
tidak mungkin kita menyerahkan mandat kepada orang yang kita sendiri tidak
tahu mau “dibawa kemana” mandat kita. Jangan-jangan apa yang kita butuhkan
tidak sesuai dengan progam kerja yang diusungnya.
Pilihan politik (baca:hak suara) adalah satu-satunya
kekuatan yang dimiliki pemilih terhadap para politisi. Kontrol langsung dapat
diberikan dengan menghukum dengan tidak memberikan pilihan (lagi) kepada
mereka. Jangan mau terperdaya janji Oplosan para politikus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar