Indramayu
Bre
Redana ; Penulis Kolom “Catatan Minggu” di Kompas
|
KOMPAS,
23 Februari 2014
Seperti mutiara, para petani di Indramayu adalah mutiara yang
terendam lumpur. Disaput lumpur dan lendir ketidakpahaman banyak orang
mengenai seluk-beluk pertanian ditambah ketidakpedulian para pemimpin
terhadap nasib petani, mutiara-mutiara ini matang menjadi petani-petani
berkualitas. Sikap dan cara berpikir mereka berkilau, sebagai cakrawala lebih
tinggi daripada cakrawala para pemimpin.
Kami memulainya kira-kira semenjak Revolusi Hijau, ucap salah
satu di antara mereka. Beberapa kata yang saya pakai di tulisan ini otentik
kalimat dan kosakata para petani dari desa-desa di Kecamatan Widasari dan
Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Bagi yang kurang paham atau lupa, istilah Revolusi Hijau muncul
sekitar tahun 1980-an. Waktu itu Orde Baru Soeharto menggenjot produksi
pertanian dengan penggunaan berbagai bahan kimia. Pemusnahan hama atau
pemupukan disemprotkan dari helikopter. Pokoknya lahan segera hijau dan
rakyat cepat kenyang.
Di balai penelitian pertanian di Lembang, saya dikasih lihat
bulir padi hasil penyemprotan, tutur petani tua menceritakan pengalaman
ketika ikut pelatihan pada tahun 1980-an. Dari yang sedikit saja menerima
semprotan, saya melihat ada sesuatu memerah. Saya tanya ahli di situ, Bu,
yang ada warnanya itu apa? Itu residu, jawab sang ahli. Residu itu apa, saya
tak tahu kata itu, kenangnya. Residu adalah racun yang mengendap dari proses
penyemprotan.
Saya menangis, cerita petani tua tadi. Saya ikut berjuang untuk
kemerdekaan negeri ini, sekarang bangsa makan racun.
Dia kini menjadi salah satu dari ratusan petani yang tergabung
dalam kelompok-kelompok tani yang mencoba bertani dengan cara berbeda.
Pergulatan mengolah tanah disertai pengamatan atas gejala alam, setiap saat
membawa mereka pada level kehidupan berbeda. Mereka tidak lagi sekadar
bereaksi terhadap penggunaan bahan-bahan kimia, tetapi mengembangkan
kemandirian.
Kalau pemimpin kita bicara soal kemandirian pangan (itu pun
retorik, karena nyatanya apa-apa impor untuk menciptakan peluang korupsi),
para petani ini mengembangkan kemandirian hidup.
Mengembangkan pertanian organik, bagi mereka, intinya adalah
kemandirian, ketidaktergantungan. Meluaskan pertanian organik bukan berarti
menciptakan pabrik untuk memproduksi pupuk berbahan organik yang lalu dijual,
kata salah satu petani. Semua harus dibikin sendiri. Jangan beli! Beberapa
aktivis kelompok tani menolak ketika orang berniat membeli produk pupuk atau
alat-alat pengembangan pertanian bikinan mereka. Kami membagi ilmu, bukan
jualan, kata seorang petani muda.
Sebagian mereka sekarang sedang terlibat proyek percontohan
bernama Save and Grow yang difasilitasi
lembaga pangan internasional (catat: bukan pemerintah). Prinsip program ini
menyelamatkan dan mengolah bumi. Tak ada sikap basmi-membasmi, terhadap hama
sekalipun. Hama cuma dikendalikan karena hama punya siklus masing-masing,
termasuk memiliki musuh-musuh alami.
Setiap kali memasuki musim tanam, petani Indramayu
menyelenggarakan ritual dengan pertunjukan wayang berjudul Bumiloka. Cerita
berisi asal-usul padi, termasuk berbagai jenis serangga. Sesaji yang
menyertai adalah simbolik mengembalikan sesuatu yang organik pada bumi.
Semuanya sudah ada pada kita, termasuk pemikirannya, kata seorang petani yang
juga dalang.
Hama itu, kan, kalau kita mempersepsikan mereka sebagai musuh,
begitu ucapan otentik seorang petani. Kalau kita tidak merasa terganggu, kita
menyebut mereka serangga, tambahnya sembari tertawa.
Mengolah bumi telah sampai pada tingkat mengolah pikir. Daya
abstraksi mereka serupa apa yang di ranah postmodernism disebut
pendefinisian. Contoh sederhananya cara berpikir negara seperti Amerika.
Kalau sebuah perlawanan menguntungkan mereka, pelakunya disebut mujahidin.
Kalau merugikan, disebut teroris. Benar-benar
kampret....
Bersama para petani ini makan nasi jamblang di kaki lima
pertigaan Jatibarang serasa sedang melakukan perlawanan terhadap kapitalisme
global. Mari Bung.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar