Senin, 24 Februari 2014

Plagiarisme dan Moral Keilmuan

Plagiarisme dan Moral Keilmuan

Biyanto  ;   Dosen UIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
KORAN SINDO,  23 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Kasus plagiarisme yang melibatkan akademisi perguruan tinggi kembali terjadi. Kali ini lakonnya adalah Anggito Abimanyu (Anggito), akademisi dan pejabat negara yang dikenal memiliki rekam jejak hebat dan sangat berintegritas.

Meski menjadi pejabat negara dan harus menghabiskan waktu di Ibu Kota, Anggito masih tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UGM. Anggito pun selalu menyempatkan hadir untuk mengajar di UGM, kampus yang membesarkan namanya. Selain sebagai akademisi, Anggito juga menjabat Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama (Dirjen PHU Kemenag). Sebelumnya Anggito menjadi Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF Kementerian Keuangan). Di bidang olahraga, Anggito juga dipercaya sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Basket Seluruh Indonesia (PP Perbasi).

Beberapa jabatan yang diraih Anggito menunjukkan bahwa beliau sosok yang multitalenta. Dengan talenta yang hebat itulah, terasa tak percaya tatkala menyimak berita bahwa Anggito tersandung kasus plagiat sehingga harus mundur dari UGM (KORAN SINDO, 18/2). Pemberitaan di media online ternyata juga tidak kalah ramai. Kasus plagiarisme yang melibatkan Anggito mendapat respons yang luar biasa dari pembaca. Banyak di antara mereka yang mencoba untuk berempati pada Anggito.

Sementara yang lain menganggap kesalahan Anggito termasuk yang tidak dapat ditoleransi di dunia akademik dan karena itu pelakunya harus dihukum. Kasus plagiarisme Anggito bermula dari seorang penulis di Kompasiana yang menulis kolom dengan judul Anggito Abimanyu Menjiplak Karya Orang? Penulis dengan akun ”Penulis UGM” itu mengungkapkan bahwa ada kesamaan redaksi dalam beberapa paragraf dan substansi tulisan Anggito dengan tulisan yang terlebih dulu dimuat di Kompas.

Kesimpulan itu diperoleh setelah membandingkan artikel opini Anggito berjudul ”Gagasan Asuransi Bencana” (Kompas, 10 Februari 2014) dan tulisan Hatbonar Sinaga dan Munawar Kasan berjudul ”Menggagas Asuransi Bencana” (Kompas, 21 Juli 2006). Setelah kasusnya ramai diberitakan di media, Anggito pun menggelar konferensi pers. Intinya, Anggito mengakui telah berbuat khilaf karena mengutip tulisan orang tanpa menunjukkan referensi yang jelas. Sebagai bentuk tanggung jawab keilmuan, Anggito pun memutuskan untuk mundur dari profesi sebagai dosen di UGM.

Keputusan ini memang terasa berat, tetapi harus diambil demi menjaga integritas seluruh sivitas dan institusi UGM. Sangat disayangkan, Anggito harus mengakhiri karier sebagai akademisi karena kasus plagiarisme. Padahal jika melihat rekam jejaknya, kesalahan itu tidak seharusnya dilakukan orang sekaliber Anggito. Sebelum terkena kasus plagiarisme, Anggito termasuk akademisi andal. Anggito begitu dicintai mahasiswanya. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak kolega yang kaget dengan kasus yang dialami Anggito. Tak terkecuali Rektor UGM Profesor Pratikno.

Beliau mengatakan bahwa Anggito adalah aset UGM yang sungguh luar biasa. Tetapi, Pak Rektor lantas memungkasi pernyataan dengan mengatakan bahwa kejujuran akademik juga menjadi aset yang luar biasa bagi UGM (detik.com, 18/2/2014). Pernyataan ini terasa sangat tepat karena kejujuran akademik (academic honesty) bagi perguruan tinggi adalah segala-galanya. Bayangkan, jika ada perguruan tinggi divonis stakeholders- nya sebagai tidak berintegritas, runtuhlah kewibawaan dan kehormatan (marwah) kampus tersebut.

Memang sempat muncul dugaan bahwa yang menulis artikel opini itu bukan Anggito, melainkan anak buahnya. Dugaan ini berdasarkan kebiasaan pejabat publik yang selalu menggunakan jasa penulis (ghost writer). Melalui jasa penulis inilah pejabat publik selalu menulis di media untuk mencitrakan dirinya intelek dan berpendidikan (well educated). Tetapi, dugaan itu ditepis Anggito.

Kasus yang dialami Anggito seharusnya menjadi pelajaran bagi siapa pun. Jangan karena terdorong untuk mencitrakan diri sebagai penulis produktif, lalu mengindahkan nilai-nilai moral kejujuran. Apalagi jika sampai melakukan praktik plagiarisme. Dalam kaitan ini plagiarisme atau plagiat dapat diartikan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan atau pendapat sendiri.

Dengan demikian, plagiarisme dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain. Karena itulah, plagiarisme harus menjadi perhatian seluruh sivitas akademika, terutama di perguruan tinggi. Kasus plagiarisme tidak boleh terusmenerus terjadi. Rasanya sudah waktunya setiap perguruan tinggi menggunakan software untuk mencegah plagiarisme. Tetapi, jika memang belum ada software yang memadai, cara efektif untuk mencegah plagiarisme adalah mendorong sivitas akademika untuk memublikasikan hasil karyanya.

Publikasi buku, hasil penelitian, artikel jurnal, opini koran, apalagi jika dilakukan secara online, pasti efektif untuk mencegah plagiarisme. Jika ada seseorang yang tidak jujur misalnya mengambil artikel melalui bantuan ”Mbah Google” dan menganggap itu tulisannya, dengan mudah akan diketahui karena banyak orang yang mengakses. Satu lagi yang juga sangat mendasar adalah mengandalkan moral keilmuan dari setiap akademisi. Doktrin utama yang harus ditanamkan pada akademisi adalah sebagai pribadi yang memiliki keterbatasan boleh saja ia melakukan kesalahan.

Yang tidak boleh adalah melakukan kebohongan. Itu berarti, bisa saja seorang akademisi melakukan kesalahan dalam menganalisis dan menyimpulkan. Yang penting semua data dan fakta dikemukakan secara jujur dan apa adanya. Dengan demikian, seluruh sivitas akademika, terutama dosen dan mahasiswa, harus menyadari bahwa kejujuran itu jauh lebih penting dari segalanya. Bahkan gelar kesarjanaan (S-1, S-2, dan S-3) dan gelar tertinggi akademik (profesor) tidak akan bermanfaat jika ditempuh dengan cara yang tidak jujur.

Karena itu, mari mencegah praktik plagiarisme dengan mengandalkan moral kejujuran. Tidak usah menunggu orang lain untuk berbuat jujur. Marilah mulai dari diri sendiri dengan menjadi akademisi yang berintegritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar