Minggu, 22 Desember 2013

Satu Rumah, Satu Rak Buku

Satu Rumah, Satu Rak Buku
Agus M Irkham  ;   Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan
Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat
SUARA MERDEKA,  13 Desember 2013


  
KEMAMPUAN anak-anak Indonesia usia 15 tahun dalam bidang matematika, sains, dan membaca, masih rendang dibandingkan dengan anak-anak lain di dunia. Programme for International Student Assessment 2012 menyebutkan Indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam tes.

Penilaian itu dipublikasikan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), Rabu (4/12). Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Peru yang berada di ranking bawah. Rata-rata skor matematika anak- anak Indonesia 375, rata-rata skor membaca 396, dan rata-rata skor untuk sains 382. Padahal, rata-rata skor versi OECD secara berurutan adalah 494, 496, dan 501. (Kompas, 5/12/13).

Angka itu mengartikan kemampuan membaca dan memahami bacaan pada anakanak Indonesia masih sangat rendah. Akibatnya, kemampuan berkomunikasi (menggunakan bahasa) baik lisan maupun tulisan pun sama rendahnya.

Itu sebab, saat ini mendapati anak-anak yang mampu menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar, entah dalam bentuk lisan, terutama tulisan, bak mencari jarum di tumpukan jerami. Apa sebab kemampuan membaca dan memahami bacaan masih sangat rendah? Salah satunya adalah karena mereka sejak mula tidak akrab dengan bacaan, khususnya dalam bentuk buku.

Pengalaman pramembaca tidak diperkenalkan sejak usia dini. Perkenalan pertama mereka dengan buku adalah berupa buku pelajaran. Pengalaman yang justru membuat mereka ìtraumaî, lantaran jumlah halaman yang tebal dan isi yang melulu tulisan.

Kapan dan di mana anak-anak sebaiknya diperkenalkan dengan pengalaman pramembaca? Jawabannya, tentu saja sejak dini. Sejak anak berusia 0 tahun. Bahkan sebelum itu, yakni saat dalam kandungan. Caranya dengan membacakan isi bacaan. Lazim disebut metode read aloud (membaca lantang).

Setelah si bayi lahir, langkah memperkenalkan pengalaman pramembaca berikutnya adalah dengan mendekatkan buku pada anak dari sisi fisiknya. Buku diakrabkan kepada anak sebagai melulu benda, layaknya mainan. Tak soal kalau akhirnya buku menjadi rusak, banyak halamannya rusak, dan di tiap pojok halaman geripis, lantaran sering dicecap.

Harapannya saat sudah bisa mengenal huruf, kata, dan kalimat, anak-anak akan lebih mudah dipersuasif untuk mencintai buku. Keterampilan membaca, memahami dan menceritakan kembali isi bacaan menjadi sesuatu yang mudah buat mereka. Hampir-hampir bersifat taken for granted (alamiah) belaka.

Pengalaman pramembaca itu sudah barang tentu harus dilakukan mulai dari dalam rumah tiap-tiap keluarga. Maka kehadiran perpustakaan rumah/keluarga (home library) menjadi sesuatu yang tidak bisa diandaikan lagi.

Apa sebab, kehadiran home library penting untuk melancarkan program pengenalan pramembaca pada anak-anak? Kegiatan (memperkenalkan pengalaman pra) membaca harus dibuatkan rumah yang nyaman, sebagaimana dikatakan Yasraf Amir Piliang, dalam esai panjang ’’Dunia Menulis dan Menulis Dunia’’ (2011).

Properti dan Literasi

Studi Bank Dunia menyebutkan, kelas menengah Indonesia saat ini (sensus 2010) 56,5% dari 237 juta penduduk. Kalau pada 2003 berjumlah 81 juta jiwa, kini menjadi 134 juta jiwa atau secara agregat, selama 7 tahun tumbuh 65%. Masih berdasarkan studi Bank Dunia, kaum menengah baru di Indonesia menyumbang sekitar 70% pertumbuhan ekonomi nasional.

Pertumbuhan itu didorong oleh konsumsi yang tergolong besar. Untuk belanja pakaian dan alas kaki saja sudah Rp 113,4 triliun, rumah tangga dan jasa, termasuk beli rumah, Rp 194,4 triliun, dan belanja luar negeri, terutama di Singapura Rp 59 triliun.

Kaitannya dengan penciptaan rumah untuk membaca, besaran statistik itu merupakan potensi (pasar dan keuntungan) tersendiri buat pebisnis, terutama pengembang perumahan.

Kesempatan dan peluang buat pengembang untuk membangun hunian yang tidak saja ramah lingkungan tapi juga peka terhadap perkembangan kebutuhan penghuni. Salah satu bentuk kebutuhan tersebut adalah keinginan supaya rumah yang dihuni dapat menjadi tempat pertama memperkenalkan pengalaman pramembaca pada anak-anak. Untuk itu, pengembang bisa membangun rumah yang dilengkapi fasilitas ruang untuk perpustakaan keluarga.

Paling kurang satu rumah, satu rak buku, lengkap dengan buku-buku kepengasuhan (parenting) dan buku bacaan anak yang bisa dijadikan modal koleksi awal. Fasilitas perpustakaan keluarga ini sangat dibutuhkan, lebih khusus oleh golongan menengah yang masuk ketegori The Aspirator.

Berdasarkan hasil riset Center for Middle Class Consumer (Majalah SWA edisi 08/XXVIII/12-25 April 2012), The Aspirator dideskripsikan sebagai kelas menengah yang idealis, memiliki tujuan, serta menjadi influencer terhadap komunitasnya. Kalangan ini umumnya hadir dari profesional mapan yang sangat melek terhadap informasi, serta peduli terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik.

Jika banyak orang pandai mengatakan bahwa perubahan sosial digerakkan oleh kelas menengah maka kelas menengah kategori The Aspirator inilah yang memiliki pontensi besar menjadi agen sekaligus pelaku perubahan tersebut.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar