MENJELANG
berakhirnya tahun 2012, akademisi, peneliti, dan politisi sudah
memprediksikan suhu politik tahun 2013 akan mulai memanas. Panggung politik
akan diwarnai aksi saling sandera antarpartai politik yang sama-sama
berupaya mempertahankan kekuasaan. Ramalan itu pun langsung terbukti begitu
memasuki awal tahun.
Perkara hukum, terutama korupsi
yang terbongkar, bisa menjadi salah satu alat untuk menyerang partai
politik atau politisi tertentu. Tujuannya tak lain adalah memenangi
pertarungan dalam pemilihan umum tahun 2014.
Pada 30 Januari ketika Presiden
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq ditangkap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap kuota impor daging sapi, Anis
Matta yang didaulat menggantikan Luthfi dalam pidatonya langsung menyerukan
bahwa tindakan tersebut sebagai bentuk konspirasi besar menghancurkan
partai.
Penangkapan Luthfi memang
memaksa PKS merestrukturisasi kepengurusan partai. Salah satunya dengan
mengangkat Sekretaris Jenderal M Anis Matta menjadi Presiden PKS. Sementara
posisi sekjen diserahkan kepada Taufik Ridho.
Tidak hanya itu, DPP PKS juga
menunjuk M Sohibul Iman menjadi Wakil Ketua DPR, menggantikan posisi Anis
yang mundur setelah ditetapkan sebagai Presiden PKS. Posisi para anggota
PKS di DPR juga dikocok ulang. Sebagai wakil ketua DPR bidang ekonomi,
keuangan, industri, dan teknologi, Sohibul pun diberi misi khusus, mengawal
penyelesaian skandal Bank Century berupa pemberian dana talangan sebesar Rp
6,7 triliun.
Satu bulan kemudian, Fraksi PKS
juga melakukan rotasi anggota dengan ”mengembalikan” Nasir Djamil dan Fahri
Hamzah ke Komisi III yang membidangi masalah hukum. Nasir sebelumnya Wakil
Ketua Komisi III yang dipindah ke Komisi VIII. Adapun Fahri awalnya anggota
Komisi III yang dirotasi ke Komisi VII.
Setelah PKS, giliran petinggi
Partai Golkar yang terus berurusan dengan KPK. Pada 19 Maret, ruangan Ketua
Fraksi Partai Golkar Setya Novanto dan anggotanya, Kahar Muzakir, di Lantai
12 Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, digeledah penyidik
KPK.
Penggeledahan dilakukan setelah
nama Setya dan Kahar disebut dalam sidang kasus dugaan korupsi penambahan
biaya pembangunan arena menembak Pekan Olahraga Nasional (PON) dengan
tersangka Gubernur Riau Rusli Zainal. Dalam sidang di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Pekanbaru, saksi Lukman Abbas (mantan Kepala Dinas Pemuda
dan Olahraga Riau) mengungkapkan telah menyerahkan uang 1,05 juta dollar AS
kepada Kahar.
Uang tersebut diberikan sebagai
kompensasi pengajuan proposal tambahan anggaran bantuan PON dari APBN
sebesar Rp 290 miliar. Proposal tersebut diserahkan Rusli kepada Setya di
ruangannya. Namun, tuduhan itu berkali-kali dibantah Setya yang juga
menjabat Bendahara Umum Partai Golkar.
Empat bulan kemudian, nama Setya
kembali disebut-sebut terkait dengan kasus dugaan korupsi proyek kartu
tanda penduduk (KTP) elektronik. Tuduhan keterlibatan itu diungkapkan
mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin yang menjadi terpidana
kasus suap proyek pembangunan wisma atlet SEA Games.
Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P) tak luput dari incaran. Pada pertengahan Juli, anggota
Fraksi PDI-P, Izederik Emir Moeis, ditangkap KPK. Penangkapan dilakukan
setelah hampir satu tahun ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap
proyek pembangunan PLTU Tarahan. Proses pembangunan PLTU itu pun terjadi
pada 2004.
Anggota Fraksi PDI-P yang juga
berurusan dengan KPK adalah Olly Dodokambey. Wakil Ketua Badan Anggaran DPR
itu disebut-sebut menerima suap proyek pembangunan Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat.
Rumah Olly di Minahasa Utara, Kecamatan Sulawesi Utara, pun sampai
digeledah KPK pada 25 September lalu.
Ketua Komisi IV Romahurmuziy
dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga tak luput dari tuduhan korupsi.
Sekretaris Jenderal PPP itu disebut menerima uang 130.000 dollar AS sebagai
pelicin proyek pengadaan benih jagung. Namun, tuduhan itu langsung dibantah
oleh Romy.
Serangan balik
Memasuki pekan kedua bulan
Oktober, parlemen disibukkan dengan isu Bunda Putri. Nama Bunda Putri
menjadi pembicaraan setelah Luthfi menyebut Bunda Putri dekat dengan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang kasus suap kuota impor
daging sapi dengan tersangka Fathanah. Pernyataan Luthfi langsung disambut
Yudhoyono dengan menggelar jumpa wartawan khusus untuk mengklarifikasi soal
Bunda Putri. Presiden mengatakan, 1.000 persen Luthfi bohong karena ia tak
kenal Bunda Putri.
Keterangan Ketua Umum Partai Demokrat
itu pun menjadi bahan para politikus parlemen untuk melakukan serangan
balik. Mereka mendesak istana membuka hasil investigasi tentang sosok Bunda
Putri.
Para politikus itu tidak percaya
Yudhoyono tak kenal Bunda Putri. Apalagi kemudian beredar foto-foto seorang
perempuan yang diduga Bunda Putri bersama para pejabat, seperti mantan
Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng yang juga berasal dari Partai
Demokrat.
Bukan hanya itu, parpol di
parlemen juga kembali menggenjot kerja Tim Pengawas (Timwas) pelaksanaan
rekomendasi hasil Pansus Angket tentang pemberian dana talangan untuk Bank
Century. Setelah KPK menetapkan dua tersangka, yakni Siti Chalimah
Fadjrijah (mantan Deputi Bidang IV Pengelolaan Moneter Devisa Bank
Indonesia) dan Budi Mulya (mantan Deputi V Bidang Pengawasan Bank
Indonesia), Timwas memutuskan untuk memanggil Wakil Presiden Boediono.
Keputusan itu diambil setelah
tujuh fraksi menyepakati pemanggilan Boediono. Ketujuh fraksi itu adalah
PDI-P, PKS, Partai Golkar, PPP, Partai Amanat Nasional, Partai Hanura, dan
Partai Gerindra. Boediono dianggap mengetahui proses pemberian dana
talangan Rp 6,7 triliun karena saat itu menjabat sebagai Gubernur Bank
Indonesia.
Keputusan untuk memanggil
Boediono ini membuat geram Fraksi Partai Demokrat. Fraksi terbesar di DPR
itu bersikeras menolak rencana pemanggilan Boediono. Ketua Fraksi Partai
Demokrat Nurhayati Ali Assegaf sempat menuding Timwas Century sudah
menyalahi fungsi dan tugasnya.
Setelah gagal menghambat
pemanggilan Boediono, Fraksi Partai Demokrat mengganti dua anggotanya di
Timwas Century, yakni Gede Pasek Suardika dan Ja’far Hafsah. Keduanya
digantikan oleh Ruhut Poltak Sitompul dan Benny Kabur Harman.
Sementara itu, kasus lain yang
juga membuat geram Fraksi Partai Demokrat adalah tuduhan bahwa kedua
anggotanya, yakni Tri Yulianto dan Sutan Bhatoegana, pernah meminta uang
tunjangan hari raya (THR) kepada mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini.
Keduanya disebut-sebut telah menerima THR sebesar 200.000 dollar AS.
Terbengkalai
Satu tahun terakhir, anggota DPR
memang terlihat begitu sibuk. Namun, bukan urusan rakyat yang membuat
mereka sibuk, melainkan kasus-kasus hukum yang menyeret nama sejumlah
anggota parlemen. Mereka lebih sibuk membantah isu-isu yang dianggap
menyudutkan atau memperburuk citra anggota DPR dan parpol di mata rakyat.
Kondisi itu diperparah dengan
banyaknya anggota DPR yang kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2014.
Sebagian besar dari mereka lebih memilih berada di daerah pemilihan untuk
bertemu konstituen guna menjaga dukungan suara.
Akibatnya, tugas dan fungsi
sebagai wakil rakyat semakin terbengkalai. DPR semakin jarang rapat.
Bahkan, beberapa rapat yang sudah dijadwalkan batal digelar karena tidak
kuorum. Salah satunya adalah Rapat Dengar Pendapat Komisi II dengan KPU dan
Badan Pengawas Pemilu, 11 Desember, karena anggota yang hadir tak memenuhi
kuorum.
Rapat paripurna pembukaan Masa
Persidangan II Tahun Sidang 2013-2014, 18 November, juga hanya dihadiri 236
anggota. Sebanyak 324 atau 57 persen anggota DPR tak masuk karena masih
berada di daerah pemilihan.
Pemilu juga membuat DPR
memutuskan untuk mempersingkat masa persidangan III yang dimulai
pertengahan Januari 2014. Ketua DPR Marzuki Alie mengungkapkan, masa
persidangan III ditetapkan hanya berlangsung selama 27 hari kerja. Padahal,
pada tahun-tahun sebelumnya, masa persidangan III merupakan masa sidang
paling panjang yang berlangsung selama 67 hari kerja.
Rendahnya tingkat kehadiran
anggota DPR juga mengakibatkan kinerja legislasi semakin buruk. Sampai saat
ini, DPR baru menyelesaikan 16 RUU menjadi UU. Itu pun hanya tujuh yang
merupakan RUU prioritas dan sembilan merupakan RUU kumulatif terbuka.
Padahal, DPR menargetkan menyelesaikan 76 RUU prioritas yang masuk daftar
Program Legislasi Nasional 2013.
Rupanya, dalil Machiavelli bahwa
kekuasaan bisa dipertahankan hanya dengan menghalalkan segala cara masih
banyak yang melakukannya. Buktinya, banyak politikus di parlemen yang lebih
sibuk saling serang memperburuk citra lawan politik, tetapi melupakan tugas
sebagai wakil rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar