Senin, 16 Desember 2013

Wakil Rakyat Semakin 'Sibuk'

Wakil Rakyat Semakin “Sibuk”
Anita Yossihara  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  16 Desember 2013

  

MENJELANG berakhirnya tahun 2012, akademisi, peneliti, dan politisi sudah memprediksikan suhu politik tahun 2013 akan mulai memanas. Panggung politik akan diwarnai aksi saling sandera antarpartai politik yang sama-sama berupaya mempertahankan kekuasaan. Ramalan itu pun langsung terbukti begitu memasuki awal tahun.

Perkara hukum, terutama korupsi yang terbongkar, bisa menjadi salah satu alat untuk menyerang partai politik atau politisi tertentu. Tujuannya tak lain adalah memenangi pertarungan dalam pemilihan umum tahun 2014.

Pada 30 Januari ketika Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap kuota impor daging sapi, Anis Matta yang didaulat menggantikan Luthfi dalam pidatonya langsung menyerukan bahwa tindakan tersebut sebagai bentuk konspirasi besar menghancurkan partai.

Penangkapan Luthfi memang memaksa PKS merestrukturisasi kepengurusan partai. Salah satunya dengan mengangkat Sekretaris Jenderal M Anis Matta menjadi Presiden PKS. Sementara posisi sekjen diserahkan kepada Taufik Ridho.

Tidak hanya itu, DPP PKS juga menunjuk M Sohibul Iman menjadi Wakil Ketua DPR, menggantikan posisi Anis yang mundur setelah ditetapkan sebagai Presiden PKS. Posisi para anggota PKS di DPR juga dikocok ulang. Sebagai wakil ketua DPR bidang ekonomi, keuangan, industri, dan teknologi, Sohibul pun diberi misi khusus, mengawal penyelesaian skandal Bank Century berupa pemberian dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun.

Satu bulan kemudian, Fraksi PKS juga melakukan rotasi anggota dengan ”mengembalikan” Nasir Djamil dan Fahri Hamzah ke Komisi III yang membidangi masalah hukum. Nasir sebelumnya Wakil Ketua Komisi III yang dipindah ke Komisi VIII. Adapun Fahri awalnya anggota Komisi III yang dirotasi ke Komisi VII.

Setelah PKS, giliran petinggi Partai Golkar yang terus berurusan dengan KPK. Pada 19 Maret, ruangan Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto dan anggotanya, Kahar Muzakir, di Lantai 12 Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, digeledah penyidik KPK.

Penggeledahan dilakukan setelah nama Setya dan Kahar disebut dalam sidang kasus dugaan korupsi penambahan biaya pembangunan arena menembak Pekan Olahraga Nasional (PON) dengan tersangka Gubernur Riau Rusli Zainal. Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru, saksi Lukman Abbas (mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau) mengungkapkan telah menyerahkan uang 1,05 juta dollar AS kepada Kahar.

Uang tersebut diberikan sebagai kompensasi pengajuan proposal tambahan anggaran bantuan PON dari APBN sebesar Rp 290 miliar. Proposal tersebut diserahkan Rusli kepada Setya di ruangannya. Namun, tuduhan itu berkali-kali dibantah Setya yang juga menjabat Bendahara Umum Partai Golkar.

Empat bulan kemudian, nama Setya kembali disebut-sebut terkait dengan kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk (KTP) elektronik. Tuduhan keterlibatan itu diungkapkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin yang menjadi terpidana kasus suap proyek pembangunan wisma atlet SEA Games.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tak luput dari incaran. Pada pertengahan Juli, anggota Fraksi PDI-P, Izederik Emir Moeis, ditangkap KPK. Penangkapan dilakukan setelah hampir satu tahun ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Tarahan. Proses pembangunan PLTU itu pun terjadi pada 2004.

Anggota Fraksi PDI-P yang juga berurusan dengan KPK adalah Olly Dodokambey. Wakil Ketua Badan Anggaran DPR itu disebut-sebut menerima suap proyek pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Rumah Olly di Minahasa Utara, Kecamatan Sulawesi Utara, pun sampai digeledah KPK pada 25 September lalu.

Ketua Komisi IV Romahurmuziy dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga tak luput dari tuduhan korupsi. Sekretaris Jenderal PPP itu disebut menerima uang 130.000 dollar AS sebagai pelicin proyek pengadaan benih jagung. Namun, tuduhan itu langsung dibantah oleh Romy.

Serangan balik

Memasuki pekan kedua bulan Oktober, parlemen disibukkan dengan isu Bunda Putri. Nama Bunda Putri menjadi pembicaraan setelah Luthfi menyebut Bunda Putri dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang kasus suap kuota impor daging sapi dengan tersangka Fathanah. Pernyataan Luthfi langsung disambut Yudhoyono dengan menggelar jumpa wartawan khusus untuk mengklarifikasi soal Bunda Putri. Presiden mengatakan, 1.000 persen Luthfi bohong karena ia tak kenal Bunda Putri.

Keterangan Ketua Umum Partai Demokrat itu pun menjadi bahan para politikus parlemen untuk melakukan serangan balik. Mereka mendesak istana membuka hasil investigasi tentang sosok Bunda Putri.

Para politikus itu tidak percaya Yudhoyono tak kenal Bunda Putri. Apalagi kemudian beredar foto-foto seorang perempuan yang diduga Bunda Putri bersama para pejabat, seperti mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng yang juga berasal dari Partai Demokrat.

Bukan hanya itu, parpol di parlemen juga kembali menggenjot kerja Tim Pengawas (Timwas) pelaksanaan rekomendasi hasil Pansus Angket tentang pemberian dana talangan untuk Bank Century. Setelah KPK menetapkan dua tersangka, yakni Siti Chalimah Fadjrijah (mantan Deputi Bidang IV Pengelolaan Moneter Devisa Bank Indonesia) dan Budi Mulya (mantan Deputi V Bidang Pengawasan Bank Indonesia), Timwas memutuskan untuk memanggil Wakil Presiden Boediono.

Keputusan itu diambil setelah tujuh fraksi menyepakati pemanggilan Boediono. Ketujuh fraksi itu adalah PDI-P, PKS, Partai Golkar, PPP, Partai Amanat Nasional, Partai Hanura, dan Partai Gerindra. Boediono dianggap mengetahui proses pemberian dana talangan Rp 6,7 triliun karena saat itu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia.

Keputusan untuk memanggil Boediono ini membuat geram Fraksi Partai Demokrat. Fraksi terbesar di DPR itu bersikeras menolak rencana pemanggilan Boediono. Ketua Fraksi Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf sempat menuding Timwas Century sudah menyalahi fungsi dan tugasnya.

Setelah gagal menghambat pemanggilan Boediono, Fraksi Partai Demokrat mengganti dua anggotanya di Timwas Century, yakni Gede Pasek Suardika dan Ja’far Hafsah. Keduanya digantikan oleh Ruhut Poltak Sitompul dan Benny Kabur Harman.

Sementara itu, kasus lain yang juga membuat geram Fraksi Partai Demokrat adalah tuduhan bahwa kedua anggotanya, yakni Tri Yulianto dan Sutan Bhatoegana, pernah meminta uang tunjangan hari raya (THR) kepada mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini. Keduanya disebut-sebut telah menerima THR sebesar 200.000 dollar AS.

Terbengkalai

Satu tahun terakhir, anggota DPR memang terlihat begitu sibuk. Namun, bukan urusan rakyat yang membuat mereka sibuk, melainkan kasus-kasus hukum yang menyeret nama sejumlah anggota parlemen. Mereka lebih sibuk membantah isu-isu yang dianggap menyudutkan atau memperburuk citra anggota DPR dan parpol di mata rakyat.

Kondisi itu diperparah dengan banyaknya anggota DPR yang kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2014. Sebagian besar dari mereka lebih memilih berada di daerah pemilihan untuk bertemu konstituen guna menjaga dukungan suara.

Akibatnya, tugas dan fungsi sebagai wakil rakyat semakin terbengkalai. DPR semakin jarang rapat. Bahkan, beberapa rapat yang sudah dijadwalkan batal digelar karena tidak kuorum. Salah satunya adalah Rapat Dengar Pendapat Komisi II dengan KPU dan Badan Pengawas Pemilu, 11 Desember, karena anggota yang hadir tak memenuhi kuorum.

Rapat paripurna pembukaan Masa Persidangan II Tahun Sidang 2013-2014, 18 November, juga hanya dihadiri 236 anggota. Sebanyak 324 atau 57 persen anggota DPR tak masuk karena masih berada di daerah pemilihan.
Pemilu juga membuat DPR memutuskan untuk mempersingkat masa persidangan III yang dimulai pertengahan Januari 2014. Ketua DPR Marzuki Alie mengungkapkan, masa persidangan III ditetapkan hanya berlangsung selama 27 hari kerja. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, masa persidangan III merupakan masa sidang paling panjang yang berlangsung selama 67 hari kerja.

Rendahnya tingkat kehadiran anggota DPR juga mengakibatkan kinerja legislasi semakin buruk. Sampai saat ini, DPR baru menyelesaikan 16 RUU menjadi UU. Itu pun hanya tujuh yang merupakan RUU prioritas dan sembilan merupakan RUU kumulatif terbuka. Padahal, DPR menargetkan menyelesaikan 76 RUU prioritas yang masuk daftar Program Legislasi Nasional 2013.

Rupanya, dalil Machiavelli bahwa kekuasaan bisa dipertahankan hanya dengan menghalalkan segala cara masih banyak yang melakukannya. Buktinya, banyak politikus di parlemen yang lebih sibuk saling serang memperburuk citra lawan politik, tetapi melupakan tugas sebagai wakil rakyat.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar