KETUA Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad telah melepaskan "tembakan
peringatan" bagi para koruptor kakap di Jatim dengan mengatakan:
Koruptor Kakap Ada di Jatim. (Jawa Pos, 13/12/2013). Tak seperti aparat
penegak hukum pada umumnya yang tak mau mengumbar informasi penyelidikan dan penyidikannya, Abraham
Samad berani tampil beda.
Aparat penegak hukum selama ini merahasiakan
proses pengusutannya. Alasan klasiknya adalah khawatir para koruptor yang
dibidik akan menghilangkan barang buktinya atau melarikan diri. Alasan itu
sekarang dilindungi oleh Undang-Undang No 14/2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik sebagai Informasi Publik yang dikecualikan. Cara diam-diam
bisa efektif, seperti banyak terjadi dalam kasus tangkap tangan, termasuk
tangkap tangan KPK terhadap jaksa dan wanita pengusaha di NTB kemarin.
Samad tak menabukan jalan berbeda. Ekspose
dulu ke pulik agar publik "melek" dan membantu KPK untuk
memperkuat penyelidikan dan penyidikannya lebih lanjut. Samad, rupanya,
menyakini bahwa publik muak terhadap praktik korupsi para pejabat publik di
negeri kita. Bahkan meyakini, publik akan membantu dengan senang hati guna
"membongkar benteng pertahanan" para koruptor kakap di Provinsi
Jatim.
Masyarakat sudah dibebani aneka pajak.
Mereka membayar berbagai jenis pajak daerah mulai dari pajak kendaraan
bermotor (PKB), bea balik nama
kendaraan bermotor (BBNKB), pajak penerangan jalan (PPJ), pajak
parkir, dan lain-lain. Itu semua tak bisa
kembali ke publik dalam bentuk berbagai layanan yang baik karena dicopet
oleh koruptor. Layanan publik pun tidak prima.
Karena itu, Abraham Samad melepaskan
tembakan ke udara (salvo) atau "tembakan peringatan" terhadap
para koruptor kakap di Jatim. Samad, rupanya, tak peduli, apakah para
koruptor kakap itu akan melarikan diri atau tiarap. Tapi, rupanya, dia berharap
agar ada pihak yang bersedia bekerja sama dengan "menafkahkan"
dirinya menjadi pelapor korupsi (whistle-blower) atau menjadi saksi pelaku
yang bekerja sama (justice collaborator) di dalam korupsi di Jatim,
mengingat praktik korupsinya dikatakan sangat canggih dan rapi.
Provinsi Jatim selama ini ibarat permukaan
meja yang tampak bersih, padahal di mata KPK berdebu. Untuk menguji
penampakan bersihnya itu, KPK menggebrak permukaan mejanya. Hanya dengan
cara menggebrak meja seperti itu,
publik sadar bahwa ada kotoran debu beterbangan yang selama ini bercokol di
permukaan meja. Mungkin dengan analog cara pemberantasan korupsi seperti
itu, KPK akan lebih mudah membersihkan para koruptor kakap di Jatim. Kita
tinggal menunggu episode pemberantasan korupsinya di Jatim.
Anti
atau Antri Korupsi
Membongkar korupsi uang APBD di
provinsi/kota/kabupaten lebih sulit daripada mengungkap korupsi uang APBN.
Sebab, praktik korupsi kakap di daerah itu pada umumnya dibangun atas dasar
budaya "kerja sama" antara eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
para pelaku usaha. Apalagi budaya "kerja sama" itu dibangun sejak
awal untuk saling mendukung menghilangkan jejak korupsinya.
Kesulitan lain adalah, di antara pimpinan
daerah yang tergabung dalam forum muspida
(musyawarah pimpinan daerah), telah terjalin komunikasi aktif dengan
menggunakan fasilitas uang APBD. Dana operasi itu
sebenarnya sarat dengan pemberian
gratifikasi dan korupsi. Tapi selama ini lepas dari perhatian publik. Cukup
melegakan bahwa Gubernur Jatim Soekarwo telah membuka diri untuk membantu
KPK. Soekarwo yang akrab dipanggil Pakde Karwo itu dengan tegas mengatakan
akan bantusiapkan data. (Jawa Pos, 14/12/2013).
Dari budaya "kerja sama" korupsi,
lahirlah "budaya antri" korupsi, bukan antikorupsi. Pakde Karwo
dalam suatu kesempatan acara nonton bersama film Anti Korupsi produksi
Indonesian Corruption Watch (ICW) di Gedung Grahadi dalam tahun 2011 pernah
sambat bahwa mengubah perilaku di birokrasi pemerintahan dari "budaya
antri" korupsi menjadi antikorupsi
ternyata sangat sulit. Padahal cuma mengilangkan huruf "r"-nya saja, dari
"antri" menjadi "anti".
Ungkapan itu menunjukkan bahwa Pakde Karwo
sangat menyadari betapa sulit
memberantas "budaya antri" korupsi di dalam birokrasi. Karena
itu, "tembakan peringatan" KPK perlu disambut positif oleh Pakde
Karwo untuk "membasmi" orang-orang sudah pernah
"antri", sedang "antri", atau yang masih berniat
"antri" korupsi di Jawa Timur. Mungkinkah Pakde Karwo menjadi whistle-blower-nya
agar slogan APBD untuk rakyat tidak hanya
jadi jargon politik, tapi benar-benar terukur dan dapat dinikmati oleh
rakyat Jatim?
Hal itu sangat mungkin, bahkan perlu
dilakukan oleh Pakde Karwo. Jika tidak, "tembakan peringatan"
Samad akan selamanya menjadi stigma bagi pemimpin Provinsi Jatim dan bagi
para pemimpin daerah kota/kabupaten di Jatim. Pada gilirannya, publik punya
penilaian bahwa "tembakan peringatan" Samad itu diibaratkan
seperti "tembakan peringatan" polisi yang mengenai sasaran di
salah satu kaki penjahat yang melarikan diri. Nah, sekarang tinggal pilih:
antri atau anti korupsi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar