Senin, 16 Desember 2013

Pakde dan Salvo Samad

Pakde dan Salvo Samad
M Said Sutomo ;   Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur
JAWA POS,  16 Desember 2013

  

KETUA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad telah melepaskan "tembakan peringatan" bagi para koruptor kakap di Jatim dengan mengatakan: Koruptor Kakap Ada di Jatim. (Jawa Pos, 13/12/2013). Tak seperti aparat penegak hukum pada umumnya yang tak mau mengumbar informasi penyelidikan dan penyidikannya, Abraham Samad berani tampil beda.

Aparat penegak hukum selama ini merahasiakan proses pengusutannya. Alasan klasiknya adalah khawatir para koruptor yang dibidik akan menghilangkan barang buktinya atau melarikan diri. Alasan itu sekarang dilindungi oleh Undang-Undang No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sebagai Informasi Publik yang dikecualikan. Cara diam-diam bisa efektif, seperti banyak terjadi dalam kasus tangkap tangan, termasuk tangkap tangan KPK terhadap jaksa dan wanita pengusaha di NTB kemarin. 

Samad tak menabukan jalan berbeda. Ekspose dulu ke pulik agar publik "melek" dan membantu KPK untuk memperkuat penyelidikan dan penyidikannya lebih lanjut. Samad, rupanya, menyakini bahwa publik muak terhadap praktik korupsi para pejabat publik di negeri kita. Bahkan meyakini, publik akan membantu dengan senang hati guna "membongkar benteng pertahanan" para koruptor kakap di Provinsi Jatim. 

Masyarakat sudah dibebani aneka pajak. Mereka membayar berbagai jenis pajak daerah mulai dari pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), pajak penerangan jalan (PPJ), pajak 

parkir, dan lain-lain. Itu semua tak bisa kembali ke publik dalam bentuk berbagai layanan yang baik karena dicopet oleh koruptor. Layanan publik pun tidak prima. 

Karena itu, Abraham Samad melepaskan tembakan ke udara (salvo) atau "tembakan peringatan" terhadap para koruptor kakap di Jatim. Samad, rupanya, tak peduli, apakah para koruptor kakap itu akan melarikan diri atau tiarap. Tapi, rupanya, dia berharap agar ada pihak yang bersedia bekerja sama dengan "menafkahkan" dirinya menjadi pelapor korupsi (whistle-blower) atau menjadi saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) di dalam korupsi di Jatim, mengingat praktik korupsinya dikatakan sangat canggih dan rapi. 

Provinsi Jatim selama ini ibarat permukaan meja yang tampak bersih, padahal di mata KPK berdebu. Untuk menguji penampakan bersihnya itu, KPK menggebrak permukaan mejanya. Hanya dengan cara menggebrak meja seperti itu, publik sadar bahwa ada kotoran debu beterbangan yang selama ini bercokol di permukaan meja. Mungkin dengan analog cara pemberantasan korupsi seperti itu, KPK akan lebih mudah membersihkan para koruptor kakap di Jatim. Kita tinggal menunggu episode pemberantasan korupsinya di Jatim.

Anti atau Antri Korupsi 

Membongkar korupsi uang APBD di provinsi/kota/kabupaten lebih sulit daripada mengungkap korupsi uang APBN. Sebab, praktik korupsi kakap di daerah itu pada umumnya dibangun atas dasar budaya "kerja sama" antara eksekutif, legislatif, yudikatif, dan para pelaku usaha. Apalagi budaya "kerja sama" itu dibangun sejak awal untuk saling mendukung menghilangkan jejak korupsinya. 

Kesulitan lain adalah, di antara pimpinan daerah yang tergabung dalam forum muspida (musyawarah pimpinan daerah), telah terjalin komunikasi aktif dengan menggunakan fasilitas uang APBD. Dana operasi itu 

sebenarnya sarat dengan pemberian gratifikasi dan korupsi. Tapi selama ini lepas dari perhatian publik. Cukup melegakan bahwa Gubernur Jatim Soekarwo telah membuka diri untuk membantu KPK. Soekarwo yang akrab dipanggil Pakde Karwo itu dengan tegas mengatakan akan bantusiapkan data. (Jawa Pos, 14/12/2013). 

Dari budaya "kerja sama" korupsi, lahirlah "budaya antri" korupsi, bukan antikorupsi. Pakde Karwo dalam suatu kesempatan acara nonton bersama film Anti Korupsi produksi Indonesian Corruption Watch (ICW) di Gedung Grahadi dalam tahun 2011 pernah sambat bahwa mengubah perilaku di birokrasi pemerintahan dari "budaya antri" korupsi menjadi antikorupsi ternyata sangat sulit. Padahal cuma mengilangkan huruf "r"-nya saja, dari "antri"  menjadi "anti".

Ungkapan itu menunjukkan bahwa Pakde Karwo sangat menyadari betapa sulit memberantas "budaya antri" korupsi di dalam birokrasi. Karena itu, "tembakan peringatan" KPK perlu disambut positif oleh Pakde Karwo untuk "membasmi" orang-orang sudah pernah "antri", sedang "antri", atau yang masih berniat "antri" korupsi di Jawa Timur. Mungkinkah Pakde Karwo menjadi whistle-blower-nya agar slogan APBD untuk rakyat tidak hanya jadi jargon politik, tapi benar-benar terukur dan dapat dinikmati oleh rakyat Jatim?

Hal itu sangat mungkin, bahkan perlu dilakukan oleh Pakde Karwo. Jika tidak, "tembakan peringatan" Samad akan selamanya menjadi stigma bagi pemimpin Provinsi Jatim dan bagi para pemimpin daerah kota/kabupaten di Jatim. Pada gilirannya, publik punya penilaian bahwa "tembakan peringatan" Samad itu diibaratkan seperti "tembakan peringatan" polisi yang mengenai sasaran di salah satu kaki penjahat yang melarikan diri. Nah, sekarang tinggal pilih: antri atau anti korupsi!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar