Senin, 16 Desember 2013

Kerisauan RS Swasta di Ambang JKN

Kerisauan RS Swasta di Ambang JKN
Syahrial Faza  ;   Public Relations RSI Sultan Agung Semarang, Anggota ARSSI
JAWA POS,  16 Desember 2013

  

ERA Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dimulai pada 1 Januari 2014 atau 16 hari lagi. Target kepesertaannya luar biasa, mencapai 86,4 juta orang miskin dan hampir miskin. Hal itu sesuai dengan perintah pasal 34 ayat 2 UUD 45: Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Peserta BPJS kesehatan adalah peserta yang sudah existing (yang sudah ada saat ini) dan dikelola PT Askes. Yaitu, peserta Askes sosial seperti PNS, pensiunan PNS, purnawirawan TNI-Polri, serta veteran dan perintis kemerdekaan. Kemudian, ditambah anggota TNI-Polri yang aktif, peserta Jamsostek, dan seluruh peserta jamkesmas. Diperkirakan, pada awal 2014, jumlah peserta mencapai 121-129 juta jiwa dan berangsur mencakup semesta (seluruh penduduk Indonesia) pada 2019.

Rumah sakit (RS) pemerintah maupun swasta memiliki beban yang sama. Yakni, mengutamakan keselamatan pasien (patient safety) tanpa melihat latar belakang sosialnya (fungsi sosial). 

Dua organisasi RS terbesar di Indonesia, Persi (Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia) dan ARSSI (Asosiasi Rumah Sakit Swasta Seluruh Indonesia) mendukung pemberlakuan program JKN BPJS itu. Hanya, keduanya menilai masih banyak kendala yang ditemui dalam penerapan program baru tersebut.

Setidaknya, untuk RS swasta, kendala itu, antara lain, pertama, belum tersosialisasinya implementasi sistem JKN tentang tarif INA-CBGs (Indonesia Case Based Groups). Kedua, tingkat kesulitan untuk pengendalian standar pengobatan klinis (clinical pathway) lebih besar daripada RS pemerintah. Ketiga, tidak adanya subsidi operasional kepada RS swasta, padahal tarif yang dibayarkan ke RS swasta sama dengan tarif RS pemerintah yang sudah mendapat subsidi.

Selain itu, selalu ada kekurangan sarana dan prasarana. Jumlah tempat tidur terbatas, baik untuk rawat inap kelas III maupun rawat intensif. Juga, masih banyaknya RS swasta yang belum terakreditasi secara nasional (baru sekitar 60 persen). 

Dari sekian banyak persoalan itu, dua organisasi tersebut sepaham bahwa pokok persoalan adalah belum dapat diterimanya pola penghitungan tarif INA-CBGs. Berdasar sistem itu, yang digunakan adalah standar tarif nasional dengan sistem paket. Dengan sistem tersebut, RS di kelas III diharuskan melakukan kendali mutu serta kendali biaya dan akses. 

Persi dan ARSSI memandang, dengan diberlakukannya sistem INA CBGs yang bersifat selisih, akan terjadi disharmonisasi tarif. RS juga akan mengalami kesulitan dalam hal pembayaran jasa profesi dokter, perawat, serta tenaga kesehatan lainnya. Untuk beberapa kasus, RS akan merasa dirugikan.

Namun, ARSSI dan Persi tetap menyongsong era JKN BPJS dengan penuh optimisme. Justru dengan munculnya permasalahan itu sebelum diberlakukannya sistem baru tersebut, pelaksanaan JKN BPJS bisa lancar tanpa menemui kendala yang berarti. 

Berdasar data ARSSI, per 6 Oktober 2013, ada 1.284 RS swasta yang terdiri atas 720 RS nonprofit dan 564 RS for-profit. Jumlah tersebut merupakan 58,79 persen keseluruhan RS. Jika dibanding data per 1 Januari 2012, ada peningkatan 391 RS swasta. Ada pertumbuhan RS swasta hingga 43,7 persen, jauh lebih besar daripada pertumbuhan RS pemerintah 11,5 persen.

Untuk kelancaran JKN BPJS, ARSSI dan Persi sepakat merekomendasikan beberapa poin. Pertama, meminta pemerintah lebih gencar menyosialisasikan JKN BPJS kepada RS di pelosok daerah. Kedua, hendaknya RS swasta dibayar secara layak sehingga cukup untuk menjaga mutu pelayanan serta membayar jasa profesi secara layak. Bila ada ketidaksepakatan dengan tarif INA-CBGs, unit cost RS swasta harus diperhitungkan. 

Ketiga, RS swasta diminta melakukan efisiensi biaya pelayanan kesehatan, melengkapi berbagai sarana dan prasarana seperti clinical pathway sebagai acuan dalam memberikan pelayanan kesehatan, standar penggunaan alat dan obat, membuat formularium RS dan mendisiplinkan penggunaannya, membuat kesepakatan jasa medis dengan staf medis, sampai mempersiapkan e-HIS (health information system). 

Keenam, ARSSI menghendaki penentuan tarif pelayanan yang lebih akomodatif dan terkoordinasi. Jangan sampai RS ditekan dengan biaya rendah, tapi pelayanan harus sebaik-baiknya. Terakhir, memberlakukan electronic data interchange (EDI) untuk mengurangi biaya secara signifikan dan meminimalkan kesalahan. Pimpinan RS juga harus terampil menjaga kepatuhan anggota timnya membuat klaim dan proses reimbursement yang memenuhi syarat klaim. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar