ERA Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dimulai pada 1
Januari 2014 atau 16 hari lagi. Target kepesertaannya luar biasa, mencapai
86,4 juta orang miskin dan hampir miskin. Hal itu sesuai dengan perintah
pasal 34 ayat 2 UUD 45: Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Peserta BPJS
kesehatan adalah peserta yang sudah existing (yang sudah ada saat ini) dan
dikelola PT Askes. Yaitu, peserta Askes sosial seperti PNS, pensiunan PNS,
purnawirawan TNI-Polri, serta veteran dan perintis kemerdekaan. Kemudian,
ditambah anggota TNI-Polri yang aktif, peserta Jamsostek, dan seluruh
peserta jamkesmas. Diperkirakan, pada awal 2014, jumlah peserta mencapai
121-129 juta jiwa dan berangsur mencakup semesta (seluruh penduduk
Indonesia) pada 2019.
Rumah sakit
(RS) pemerintah maupun swasta memiliki beban yang sama. Yakni, mengutamakan
keselamatan pasien (patient safety) tanpa melihat latar belakang sosialnya
(fungsi sosial).
Dua organisasi
RS terbesar di Indonesia, Persi (Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia) dan
ARSSI (Asosiasi Rumah Sakit Swasta Seluruh Indonesia) mendukung
pemberlakuan program JKN BPJS itu. Hanya, keduanya menilai masih banyak
kendala yang ditemui dalam penerapan program baru tersebut.
Setidaknya,
untuk RS swasta, kendala itu, antara lain, pertama, belum tersosialisasinya
implementasi sistem JKN tentang tarif INA-CBGs (Indonesia Case Based Groups). Kedua, tingkat kesulitan untuk pengendalian
standar pengobatan klinis (clinical pathway) lebih besar daripada RS
pemerintah. Ketiga, tidak adanya subsidi operasional kepada RS swasta,
padahal tarif yang dibayarkan ke RS swasta sama dengan tarif RS pemerintah
yang sudah mendapat subsidi.
Selain itu,
selalu ada kekurangan sarana dan prasarana. Jumlah tempat tidur terbatas,
baik untuk rawat inap kelas III maupun rawat intensif. Juga, masih
banyaknya RS swasta yang belum terakreditasi secara nasional (baru sekitar
60 persen).
Dari sekian
banyak persoalan itu, dua organisasi tersebut sepaham bahwa pokok persoalan
adalah belum dapat diterimanya pola penghitungan tarif INA-CBGs. Berdasar
sistem itu, yang digunakan adalah standar tarif nasional dengan sistem
paket. Dengan sistem tersebut, RS di kelas III diharuskan melakukan kendali mutu
serta kendali biaya dan akses.
Persi dan ARSSI
memandang, dengan diberlakukannya sistem INA CBGs yang bersifat selisih,
akan terjadi disharmonisasi tarif. RS juga akan mengalami kesulitan dalam
hal pembayaran jasa profesi dokter, perawat, serta tenaga kesehatan
lainnya. Untuk beberapa kasus, RS akan merasa dirugikan.
Namun, ARSSI
dan Persi tetap menyongsong era JKN BPJS dengan penuh
optimisme. Justru dengan munculnya permasalahan itu sebelum
diberlakukannya sistem baru tersebut, pelaksanaan JKN BPJS bisa lancar
tanpa menemui kendala yang berarti.
Berdasar data
ARSSI, per 6 Oktober 2013, ada 1.284 RS swasta yang terdiri atas 720 RS
nonprofit dan 564 RS for-profit. Jumlah tersebut merupakan 58,79 persen
keseluruhan RS. Jika dibanding data per 1 Januari 2012, ada peningkatan 391
RS swasta. Ada pertumbuhan RS swasta hingga 43,7 persen, jauh lebih besar
daripada pertumbuhan RS pemerintah 11,5 persen.
Untuk
kelancaran JKN BPJS, ARSSI dan Persi sepakat merekomendasikan beberapa
poin. Pertama, meminta pemerintah lebih gencar menyosialisasikan JKN BPJS
kepada RS di pelosok daerah. Kedua, hendaknya RS swasta dibayar secara
layak sehingga cukup untuk menjaga mutu pelayanan serta membayar jasa
profesi secara layak. Bila ada ketidaksepakatan dengan tarif INA-CBGs, unit
cost RS swasta harus diperhitungkan.
Ketiga, RS
swasta diminta melakukan efisiensi biaya pelayanan kesehatan, melengkapi
berbagai sarana dan prasarana seperti clinical pathway sebagai acuan dalam
memberikan pelayanan kesehatan, standar penggunaan alat dan obat, membuat
formularium RS dan mendisiplinkan penggunaannya, membuat kesepakatan jasa
medis dengan staf medis, sampai mempersiapkan e-HIS (health information
system).
Keenam, ARSSI
menghendaki penentuan tarif pelayanan yang lebih akomodatif dan
terkoordinasi. Jangan sampai RS ditekan dengan biaya rendah, tapi pelayanan
harus sebaik-baiknya. Terakhir, memberlakukan electronic data interchange
(EDI) untuk mengurangi biaya secara signifikan dan meminimalkan kesalahan.
Pimpinan RS juga harus terampil menjaga kepatuhan anggota timnya membuat
klaim dan proses reimbursement yang memenuhi syarat klaim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar