I b u
Yosep Suprayogi ; Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
23 Desember 2013
Di abad ke-21 ini, sebuah kabar datang memantik keterkejutan. Seorang
perempuan berpengaruh di dunia memutuskan untuk tidak mempunyai anak, yang
juga berarti keputusan untuk tidak menikah. Perempuan itu adalah Oprah
Winfrey. Bagi dunia Barat, keputusan ini terdengar wajar, tapi seorang Oprah
bukan hanya milik Barat. Oprah ditonton oleh orang-orang di seluruh dunia.
Ini tentu akan mempengaruhi perasaan para penontonnya. Keterlibatan Oprah
dalam Leadership Academy for Girls
mungkin masih bisa dikatakan keterlibatan Oprah sebagai pendamping para anak
perempuan. Namun hal itu belum bisa membuatnya menjadi seorang ibu.
Dalam ajaran agama mana pun, ibu selalu memiliki kedudukan yang sakral. Menjadi ibu itu tugas mulia dan setiap perempuan dipilih Tuhan untuk mengembannya. Perempuan penyampai rahmat Tuhan untuk membentuk anak-anak yang melengkapi kebermaknaan semesta. Dengan penuh kasih, seorang ibu membesarkan anak-anaknya. Perempuan tanpa memiliki anak dan menjadi seorang ibu, belum menjadi perempuan. Namun, semakin zaman bergerak, menjadi ibu mengukir. Kekhawatiran pun bercabang: ketakutan menelantarkan anak dan ketakutan direpotkan anak. Dalam buku Keluarga Jawa (1983), Hildred Geertz membaca bahwa perkawinan menjadi peristiwa sakral di masyarakat Jawa. Hubungan persaudaraan meluas dan menandai pertalian baru antar-keluarga. Perkawinan anak perempuan dalam keluarga sangat dipersiapkan. Mereka dijaga dari hal-hal buruk agar kelak mendapat pasangan yang bertanggung jawab dan bisa menjadi istri yang baik. Sering kali pasangan yang baru menikah masih tetap tinggal bersama orang tua agar yang perempuan bisa tetap belajar dari ibunya dalam mengurusi rumah tangga. Kelahiran anak menjadi momentum yang ditunggu. Anak meramaikan kehidupan keluarga. Suami-istri yang tidak juga memiliki anak akan mencari jalan karena memiliki anak menjadi simbol keberkahan dan rezeki. Suami-istri yang diberi anak berarti dipercayai Tuhan untuk merawat. Kehadiran anak semakin memartabatkan diri sebagai perempuan dan ibu. Kita menghaturkan syukur, sekalipun ibu kita bukan lulusan sekolah tinggi, justru itu yang membentuk ingatan akan ibu. Peristiwa-peristiwa hadir bersama ibu. Ibu menyokong peradaban. Anak-anak dan peradaban tidak lahir tanpa perempuan dan tanpa ibu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar