Keluar dari
Perangkap Negara Menengah
A Prasetyantoko ; Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
23 Desember 2013
BENARKAH perekonomian kita
sudah masuk dalam perangkap kelompok negara berpenghasilan menengah? Tak ada
jawaban lugas, selain beberapa indikasi agak luas dan lentur. Sejumlah
indikator dini sering ditunjukkan, seperti ketimpangan, kemiskinan, dominasi
angkatan kerja tidak te
Dinamika perekonomian akhir-akhir ini
sebenarnya juga menunjuk pada akar masalah yang sama. Pertama, nilai tukar
rupiah, yang pada penutupan minggu lalu hampir Rp 12.200 per dollar AS. Sejak
pengumuman rencana pengurangan program stimulus (
Kedua, sudah sejak April 2012, neraca
perdagangan kita lebih sering defisit. Selama 20 bulan, hanya lima kali
terjadi surplus perdagangan yang relatif kecil, termasuk Oktober lalu surplus
42,4 juta dollar AS. Sejak neraca perdagangan defisit, neraca transaksi
berjalan juga tertekan berat. Selama ini, surplus neraca transaksi berjalan
sangat mengandalkan neraca barang (ekspor-impor) karena neraca jasa selalu
defisit. Seharusnya, negara sebesar Indonesia mampu bersaing lebih baik di
tingkat global dan regional dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam
dengan lebih baik. Faktanya, kita selalu tertatih-tatih dalam persaingan
regional dan global.
Ketiga, salah satu penyumbang terbesar
impor kita adalah bahan bakar minyak (BBM). Selain membebani neraca impor,
impor BBM juga menekan anggaran akibat subsidi yang meningkat. Akibat
depresiasi rupiah sekitar 25 persen dari awal tahun, beban subsidi BBM
bertambah sekitar Rp 50 triliun. Besarannya setara dengan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah, seperti DKI Jakarta. Jika tidak ada perubahan perilaku
(harga dan konsumsi), beberapa tahun ke depan kita akan menjadi negara
pengimpor BBM terbesar di dunia. Kita selalu meyakini, tak seharusnya subsidi
BBM begitu membebani, tetapi selalu gagal menemukan konsensus penyelesaian
mendasar.
Tiga hal itu sudah meyakinkan bahwa kita
tengah memasuki perangkap negara berpenghasilan menengah. Ada banyak hal yang
seharusnya tidak terjadi, tetapi faktanya persoalan tersebut seakan menjerat
kita. Hari-hari ini kita terperangkap dengan tekanan nilai tukar, masalah
neraca perdagangan dan anggaran subsidi BBM. Sinyal kuat, kita tengah
memasuki
Kita ”terperangkap” dalam sejumlah
persoalan yang seakan tak ada solusinya. Setiap kali kita meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan investasi, neraca kita tertekan oleh impor bahan baku yang
tinggi. Setiap kali kita menghadapi tekanan pasar, seakan tak ada pilihan
selain menaikkan BI Rate. Begitu pula dalam hal strategi industri. Semestinya
kita tak lagi mengekspor komoditas primer, tetapi faktanya tak mudah
mendorong hilirisasi. Mestinya kebijakan
Akibat terjebak dalam berbagai hal, kita
menjadi bangsa yang seakan tak punya arah kebijakan jelas. Setiap kali muncul
kebijakan yang maksudnya baik, implementasinya di lapangan begitu buruk. Kita
terjebak dalam begitu banyak masalah rumit yang menghantui perekonomian kita.
Dari mana kita mulai mengatasi kerumitan tersebut?
Paling tidak ada dua elemen pokok yang
harus ditata. Pertama, elemen terkait kelembagaan. Sebagus apa pun kebijakan
teknis, tanpa kelembagaan yang baik hanya akan menimbulkan kontradiksi dan
kontroversi. Faktor penting pada kelembagaan adalah kepemimpinan, koordinasi,
dan kompetensi. Tanpa ada tiga unsur tersebut, mustahil bisa membangun
kelembagaan yang baik bagi perekonomian kita. Kedua, kebijakan teknis yang
memadai dalam menjawab aneka persoalan aktual di berbagai bidang.
Pertama, soal defisit neraca jasa.
Sebenarnya ada diskusi tentang perubahan cara penghitungan dari
Kedua, soal defisit perdagangan. Insentif
fiskal bisa diarahkan bagi investor yang ingin membangun industri bahan baku
dan bahan penolong di dalam negeri. Tujuannya, kebutuhan bahan baku bisa
disediakan di pasar domestik sehingga setiap kali terjadi peningkatan
pertumbuhan akibat konsumsi dan investasi tak terlalu membebani neraca impor.
Meski masih jauh, kebijakan tersebut bisa menjadi langkah awal membangun
industri domestik.
Ketiga, soal defisit anggaran akibat
besarnya subsidi BBM. Pemerintah harus berani mengeksekusi kebijakan subsidi
tetap, mengalokasikan subsidi setiap liter; jika ada kenaikan harga,
konsumen yang harus menanggung. Tanpa ada keberanian melakukan perubahan
mendasar dalam sejumlah kebijakan jangka panjang, kita akan selalu terjebak
dalam pilihan sulit. Di luar segala hal tersebut, faktor paling penting adalah
kepemimpinan untuk menjalankan kebijakan tersebut dengan arah yang jelas
dalam jangka panjang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar