Minggu, 22 Desember 2013

Efektivitas Kebijakan Ekonomi

Efektivitas Kebijakan Ekonomi
Nugroho SBM  ;   Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Diponegoro Semarang
SUARA MERDEKA,  14 Desember 2013

  

PEMERINTAH telah mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi II. Ada dua hal penting dalam kebijakan tersebut, yaitu pertama; pemerintah menaikkan pajak penghasilan (PPh) lewat Pasal 22 untuk impor barang tertentu dari 2,5% menjadi 7,5%. Kriteria barang tertentu adalah barang konsumtif dan tidak berdampak terhadap inflasi. 

Penaikan tarif PPh berdasarkan Pasal 22 ini berlaku untuk 4 kelompok barang yang mencakup 870 pos tarif (harmonized system). Kelompok barang tersebut, yakni pertama; elektronik dan ponsel. Kedua; kendaraan bermotor, kecuali completely knocked down (CKD), hibrid/listrik, dan berpenumpang lebih dari 10 orang. Ketiga; tas, baju, alas kaki, perhiasan, dan parfum. Keempat; furnitur, perlengkapan rumah tangga, dan mainan.

Isi kebijakan yang kedua, pemerintah juga mengubah peraturan kemudahan impor untuk tujuan ekspor (KITE). Perubahan itu antara lain mencakup penghapusan penangguhan PPN dan PPnBM, penyederhanaan prosedur, dan penerapan risk management. Termasuk  optimalisasi otomasi pada pelayanan/pengawasan/perizinan atas fasilitas pembebasan dan pengembalian bahan baku yang diimpor untuk diproduksi dengan tujuan diekspor.

Penerbitan paket kebijakan ekonomi itu bertujuan menekan defisit neraca transaksi berjalan (ekspor impor barang dan jasa). Defisit neraca transaksi berjalan perlu ditekan mengingat kondisi itulah yang menyebabkan nilai tukar rupiah kian terpuruk. 

Konsekuensi lebih lanjut dari depresiasi rupiah terhadap dolar AS adalah kenaikan biaya produksi untuk produsen yang saat ini bahan baku dan mesinnya masih impor, dan kenaikan harga barang konsumsi. Keduanya akan menaikkan tingkat inflasi, dan inflasi tersebut akan menyengsarakan masyarakat yang berpenghasilan tetap dan rendah.

Apakah Paket Kebijakan Ekonomi II ini efektif untuk mencapai tujuan? Jawabannya tidak. Dasarnya adalah pertama; tarif PPh Pasal 22 yang dinaikkan adalah untuk barang-barang impor yang tergolong barang konsumsi. Padahal impor terbesar Indonesia adalah bahan baku dan barang modal.

Kedua; yang banyak menyumbang defisit neraca transaksi berjalan (neraca ekspor dan impor barang serta jasa) justru sektor jasa. Sektor jasa yang menyumbang defisit besar antara lain pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri (pemerintah dan swasta), asuransi, biaya transpor, serta jjasa keungan nonbank lainnya. Ketiga; impor BBM pun merupakan penyumbang besar terhadap defisit neraca transaksi berjalan kita.

Supaya efektif menekan defisit neraca transaski berjalan, Paket Kebijakan Ekonomi II harus didampingi kebijakan lain. BI telah mengawali dengan menaikkan BI rate dari 7,25% menjadi 7,5%. Harapannya tentu orang akan melepas dolar AS dan menukarkannya dengan rupiah sehingga pasokan dolar AS bertambah dan dolar AS akan terdepresiasi terhadap rupiah. Dengan kata lain rupiah akan terapresiasi atau menguat terhadap dolar AS.

Mengerem Laju Kredit

Di samping itu, menurut versi BI, langkah menaikkan BI rate dimaksudkan untuk mengerem laju kredit (konsumsi dan investasi) sehingga laju pertumbuhan ekonomi pun akan turun. Turunnya laju pertumbuhan ekonomi diharapkan mengerem laju impor. Jadi langkah bank sentral tersebut sudah tepat, guna mendampingi operasional Paket Kebijakan Ekonomi II tersebut.

Kebijakan lain yang akan diterapkan oleh pemerintah adalah pembatasan konsumsi BBM bersubsidi untuk kendaraan roda empat, hanya 2-3 liter per hari. Hal itu sudah dimulai dengan memasang peralatan RFID di mobil dimulai di DKI Jakarta untuk mengontrol jumlah pembelian BBM bersubsidi.

Di samping kebijakan jangka pendek untuk menekan impor sehingga defisit neraca transaksi berjalan pun bisa ditekan, dibutuhkan kebijakan fundamental jangka panjang. Pertama; perbaikan dalam kebijakan industrialisasi yang lebih berorientasi pada substitusi impor (memproduksi barangbarang yang dulunya diimpor), misalnya industri bahan-bahan baku.

Kedua; memperbaiki daya saing ekonomi Indonesia dengan memperbaiki indikator-indikator daya saing yang digunakan oleh Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF). Kemeeamahan daya saing akan membuat harga barang impor lebih murah dari barang produksi dalam negeri.

Forum Ekonomi Dunia dalam survei daya saing menggunakan 12 indikator untuk menunjukkan daya saing suatu negara. Dua indikator itu memang merupakan indikator yang digunakan oleh pemerintah dan BI untuk menentukan apakah perekonomian dalam kondisi baik atau tidak. Tetapi pemerintah dan BI kurang memperhatikan 10 indikator lain.

Laporan Forum Ekonomi Dunia tentang ”Daya Saing Global 2013-2014” menunjukkan bahwa dalam indikator lain, posisi Indonesia sangat tertinggal. Berbagai masalah masih mendera  antara lain tingkat korupsi yang tinggi, kualitas kesehatan yang rendah yang ditandai masih tingginya angka penderita Tb, HIV/AIDS, serta kematian ibu melahirkan.

Selain itu, masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, masih buruknya kondisi perburuhan, terutama bila dikaitkan dengan berbagai unjuk rasa buruh, tidak kondusifnya kebijakan industri, serta buruknya kualitas dan kuantitas infrastruktur jalan.

Ketiga; penggantian BBM bersubsidi dngan energi alternatif harus dilakukan secara serius supaya nilai impor BBM yang besar, yang menyebabkan defisit neraca transaski berjalan, bisa ditekan semaksimal mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar