Efektivitas
Kebijakan Ekonomi
Nugroho SBM ; Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas
Diponegoro Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 14 Desember 2013
PEMERINTAH telah mengumumkan
Paket Kebijakan Ekonomi II. Ada dua hal penting dalam kebijakan tersebut,
yaitu pertama; pemerintah menaikkan pajak penghasilan (PPh) lewat Pasal 22
untuk impor barang tertentu dari 2,5% menjadi 7,5%. Kriteria barang tertentu
adalah barang konsumtif dan tidak berdampak terhadap inflasi.
Penaikan tarif
PPh berdasarkan Pasal 22 ini berlaku untuk 4 kelompok barang yang mencakup
870 pos tarif (harmonized system).
Kelompok barang tersebut, yakni pertama; elektronik dan ponsel. Kedua;
kendaraan bermotor, kecuali completely
knocked down (CKD), hibrid/listrik, dan berpenumpang lebih dari 10 orang.
Ketiga; tas, baju, alas kaki, perhiasan, dan parfum. Keempat; furnitur,
perlengkapan rumah tangga, dan mainan.
Isi kebijakan
yang kedua, pemerintah juga mengubah peraturan kemudahan impor untuk tujuan
ekspor (KITE). Perubahan itu antara lain mencakup penghapusan penangguhan PPN
dan PPnBM, penyederhanaan prosedur, dan penerapan risk management.
Termasuk optimalisasi otomasi pada pelayanan/pengawasan/perizinan atas
fasilitas pembebasan dan pengembalian bahan baku yang diimpor untuk
diproduksi dengan tujuan diekspor.
Penerbitan
paket kebijakan ekonomi itu bertujuan menekan defisit neraca transaksi
berjalan (ekspor impor barang dan jasa). Defisit neraca transaksi berjalan
perlu ditekan mengingat kondisi itulah yang menyebabkan nilai tukar rupiah
kian terpuruk.
Konsekuensi
lebih lanjut dari depresiasi rupiah terhadap dolar AS adalah kenaikan biaya
produksi untuk produsen yang saat ini bahan baku dan mesinnya masih impor,
dan kenaikan harga barang konsumsi. Keduanya akan menaikkan tingkat inflasi,
dan inflasi tersebut akan menyengsarakan masyarakat yang berpenghasilan tetap
dan rendah.
Apakah Paket
Kebijakan Ekonomi II ini efektif untuk mencapai tujuan? Jawabannya tidak.
Dasarnya adalah pertama; tarif PPh Pasal 22 yang dinaikkan adalah untuk
barang-barang impor yang tergolong barang konsumsi. Padahal impor terbesar
Indonesia adalah bahan baku dan barang modal.
Kedua; yang
banyak menyumbang defisit neraca transaksi berjalan (neraca ekspor dan impor
barang serta jasa) justru sektor jasa. Sektor jasa yang menyumbang defisit
besar antara lain pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri (pemerintah
dan swasta), asuransi, biaya transpor, serta jjasa keungan nonbank lainnya.
Ketiga; impor BBM pun merupakan penyumbang besar terhadap defisit neraca
transaksi berjalan kita.
Supaya efektif
menekan defisit neraca transaski berjalan, Paket Kebijakan Ekonomi II harus
didampingi kebijakan lain. BI telah mengawali dengan menaikkan BI rate dari
7,25% menjadi 7,5%. Harapannya tentu orang akan melepas dolar AS dan
menukarkannya dengan rupiah sehingga pasokan dolar AS bertambah dan dolar AS
akan terdepresiasi terhadap rupiah. Dengan kata lain rupiah akan terapresiasi
atau menguat terhadap dolar AS.
Mengerem Laju Kredit
Di samping
itu, menurut versi BI, langkah menaikkan BI rate dimaksudkan untuk mengerem
laju kredit (konsumsi dan investasi) sehingga laju pertumbuhan ekonomi pun
akan turun. Turunnya laju pertumbuhan ekonomi diharapkan mengerem laju impor.
Jadi langkah bank sentral tersebut sudah tepat, guna mendampingi operasional
Paket Kebijakan Ekonomi II tersebut.
Kebijakan lain
yang akan diterapkan oleh pemerintah adalah pembatasan konsumsi BBM
bersubsidi untuk kendaraan roda empat, hanya 2-3 liter per hari. Hal itu
sudah dimulai dengan memasang peralatan RFID di mobil dimulai di DKI Jakarta
untuk mengontrol jumlah pembelian BBM bersubsidi.
Di samping
kebijakan jangka pendek untuk menekan impor sehingga defisit neraca transaksi
berjalan pun bisa ditekan, dibutuhkan kebijakan fundamental jangka panjang.
Pertama; perbaikan dalam kebijakan industrialisasi yang lebih berorientasi
pada substitusi impor (memproduksi barangbarang yang dulunya diimpor),
misalnya industri bahan-bahan baku.
Kedua;
memperbaiki daya saing ekonomi Indonesia dengan memperbaiki
indikator-indikator daya saing yang digunakan oleh Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF).
Kemeeamahan daya saing akan membuat harga barang impor lebih murah dari
barang produksi dalam negeri.
Forum Ekonomi
Dunia dalam survei daya saing menggunakan 12 indikator untuk menunjukkan daya
saing suatu negara. Dua indikator itu memang merupakan indikator yang
digunakan oleh pemerintah dan BI untuk menentukan apakah perekonomian dalam
kondisi baik atau tidak. Tetapi pemerintah dan BI kurang memperhatikan 10
indikator lain.
Laporan Forum
Ekonomi Dunia tentang ”Daya Saing
Global 2013-2014” menunjukkan bahwa dalam indikator lain, posisi
Indonesia sangat tertinggal. Berbagai masalah masih mendera antara lain
tingkat korupsi yang tinggi, kualitas kesehatan yang rendah yang ditandai
masih tingginya angka penderita Tb, HIV/AIDS, serta kematian ibu melahirkan.
Selain itu,
masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, masih buruknya kondisi
perburuhan, terutama bila dikaitkan dengan berbagai unjuk rasa buruh, tidak
kondusifnya kebijakan industri, serta buruknya kualitas dan kuantitas
infrastruktur jalan.
Ketiga;
penggantian BBM bersubsidi dngan energi alternatif harus dilakukan secara
serius supaya nilai impor BBM yang besar, yang menyebabkan defisit neraca
transaski berjalan, bisa ditekan semaksimal mungkin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar