Minggu, 22 Desember 2013

Memilah Pisau Politik atau Hukum

Memilah Pisau Politik atau Hukum
Firli  ;   Pernah bertugas di lingkungan Polda Jateng, Tinggal di Bekasi
SUARA MERDEKA,  16 Desember 2013

  

“Janganlah karena 2014 adalah tahun politik, semua permasalahan dipaksakan ditarik-tarik ke ranah politik”

ATMOSFER Senayan kembali memanas seiring dengan rencana tim pengawas (timwas) DPR kasus Century memanggil Wapres Boediono (SM, 12/12/13). Demi  memastikan Boediono bersedia hadir di gedung parlemen, mereka hendak menggunakan jurus pamungkas ’’hadirkan paksa’’ seandainya kali ke sekian pemanggilan tak kunjung membuahkan hasil.

Mari kita bedah Pasal 20 UUD 1945 tentang Ke­kuasaan DPR. Pasal itu mengatur secara seksama pelaksanaan kekuasaan dan fungsi lembaga wakil rakyat. Pasal 20 A menjelaskan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi itu, selain hak-hak yang diatur dalam UUD, DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Berkait kasus Century, DPR telah melaksanakan hak-haknya, bahkan sudah rampung .  Selebihnya parlemen perlu terus mendorong dan menghormati proses hukum yang sudah dan tengah berjalan di KPK. Andai tetap berkeinginan menjalankan fungsi pengawasan, lebih bermartabat bila wakil rakyat meminta keterangan kepada aparat penegak hukum, khususnya KPK.

Andai membutuhkan keterangan hasil pemeriksaan Boediono, tinggal panggil KPK mengingat semua keterangan sudah diberikan ke penyidik komisi itu. Keterangan saksi adalah demi kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Tapi mencampuradukkan urusan politik dengan hukum adalah kecerobohan. Setelah proses politik di DPR sudah selesai, seyogianya menunggu proses hukum yang tengah ditangani KPK.

Kasus ini sebangun dengan pengalaman penulis, ketika menjabat kapolres Brebes. Waktu itu berlangsung pemilihan bupati-wakil bupati 2007-2012 dan bupati Brebes dihadapkan pada masalah politik sekaligus hukum. Setelah ia ditetapkan sebagai bupati terpilih, muncul gugatan bahwa ijazah yang dipakainya palsu. Padahal penyidik sudah mengantongi keterangan dari Unswagati Cirebon bahwa ijazah itu autentik. Meski begitu polemik perihal ijazah berlanjut.

Penjelasan saya konkret bahwa kasus dugaan ijazah palsu itu sudah selesai dan bupati harus dilantik. Adapun kelompok yang berpandangan berbeda ingin membawa masalah itu ke ranah politik. Saya jelaskan bahwa ibarat double track, jalur pertama adalah gerbong hukum yang sudah selesai, seiring penerbitan surat penghentian penyidikan perkara (SP3). Adapun jalur kedua adalah politik, tak boleh berhenti, termasuk menyeberang ke lintasan hukum. Urusan politik dan hukum berbeda, pantang dicampuradukkan.

Analog dengan kasus ijazah bupati Brebes, kasus Century secara politik sudah selesai, atau prosesnya sudah berakhir dengan penyerahan kasus itu kepada proses hukum di KPK. Idealnya, tak boleh ada lagi proses politik. Semua elemen justru harus mendukung proses hukum yang tengah berjalan. Bukankah kita sepakat Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) sebagaimana Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945, bukan atas kekuasaan belaka (machstaat

Distribusi Kekuasaan

Dalam rangka melaksanakan check and balances serta mencegah kekuasaan sentralistik yang bisa mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) maka kekuasaan didistribusikan kepada eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam konteks menjalankan kekuasaan legislatif, Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa DPR memegang kekuasaan membuat undang-undang.

Tata cara menjalankan kekuasaan itu dijelaskan secara rigid dan limitatif lewat Ayat (2), (3), (4), dan (5). Untuk menjalankan kekuasaan sesuai Pasal 20A Ayat (1) sebagaimana disebut pada bagian awal tulisan ini, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Ayat (2) mengatur DPR terkait hak interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Begitu juga Ayat (3) yang menjelaskan mengenai hak mengajukan pertanyaan, hak mengajukan usul, dan pendapat, serta hak imunitas. Hak dan fungsi diatur untuk menjalankan dan mengawasi hal ihwal berkait kekuasaan sebagaimana Pasal 20 Ayat 1 UUD1945. Begitu cita-citanya (das sollen), bukan untuk hal ihwal yang lain.

Rencana pemanggilan Wapres Boediono ke DPR seperti melupakan kesadaran bahwa sebagian besar publik tidak tertarik kegaduhan yang dikemas dalam sangkar politik. Janganlah karena 2014 adalah tahun politik, semua masalah ditarik-tarik ke ranah politik. Kita semua, tentu sepenuh sukacita mengerahkan energi dahsyat bangsa ini bila hendak digunakan sebesar-besar untuk kesejahteraan dan kemakmuran.

Masih banyak pekerjaan rumah yang butuh perhatian ekstra wakil rakyat di Senayan, semisal meningkatkan nilai tukar rupiah yang terus terpuruk. Sulit menyangkal bahwa kemelemahan nilai tukar rupiah tak terlepas dari lingkungan internal bangsa ini. Belum lagi ekspor mineral dan tambang yang belum juga beranjak naik, apalagi mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.

Sejumlah pekerjaan rumah itu berkait erat dengan institusi yang membuat regulasi, salah satunya adalah institusi politik di DPR. Di sanalah aturan main dibuat. Persoalannya, tak banyak pihak yang terlibat intens dalam pembuatan aturan main. Mereka cenderung memilih jadi pemain. Bisa saja aturan main, termasuk kebijakan, dipersoalkan pada kemudian hari, bahkan memasuki ranah pidana. Itu risiko terburuk yang mungkin terjadi. Pertanyaannya, siapkah kita?  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar