Memilah Pisau
Politik atau Hukum
Firli ; Pernah bertugas di lingkungan Polda Jateng, Tinggal di Bekasi
|
SUARA
MERDEKA, 16 Desember 2013
“Janganlah
karena 2014 adalah tahun politik, semua permasalahan dipaksakan ditarik-tarik
ke ranah politik”
ATMOSFER Senayan kembali
memanas seiring dengan rencana tim pengawas (timwas) DPR kasus Century
memanggil Wapres Boediono (SM, 12/12/13). Demi memastikan Boediono
bersedia hadir di gedung parlemen, mereka hendak menggunakan jurus pamungkas
’’hadirkan paksa’’ seandainya kali ke sekian pemanggilan tak kunjung
membuahkan hasil.
Mari kita bedah Pasal 20
UUD 1945 tentang Kekuasaan DPR. Pasal itu mengatur secara seksama
pelaksanaan kekuasaan dan fungsi lembaga wakil rakyat. Pasal 20 A menjelaskan
fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi
itu, selain hak-hak yang diatur dalam UUD, DPR memiliki hak interpelasi, hak
angket, dan hak menyatakan pendapat.
Berkait kasus Century, DPR
telah melaksanakan hak-haknya, bahkan sudah rampung . Selebihnya
parlemen perlu terus mendorong dan menghormati proses hukum yang sudah dan
tengah berjalan di KPK. Andai tetap berkeinginan menjalankan fungsi
pengawasan, lebih bermartabat bila wakil rakyat meminta keterangan kepada
aparat penegak hukum, khususnya KPK.
Andai membutuhkan
keterangan hasil pemeriksaan Boediono, tinggal panggil KPK mengingat semua
keterangan sudah diberikan ke penyidik komisi itu. Keterangan saksi adalah
demi kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Tapi mencampuradukkan
urusan politik dengan hukum adalah kecerobohan. Setelah proses politik di DPR
sudah selesai, seyogianya menunggu proses hukum yang tengah ditangani KPK.
Kasus ini sebangun dengan
pengalaman penulis, ketika menjabat kapolres Brebes. Waktu itu berlangsung
pemilihan bupati-wakil bupati 2007-2012 dan bupati Brebes dihadapkan pada
masalah politik sekaligus hukum. Setelah ia ditetapkan sebagai bupati
terpilih, muncul gugatan bahwa ijazah yang dipakainya palsu. Padahal penyidik
sudah mengantongi keterangan dari Unswagati Cirebon bahwa ijazah itu
autentik. Meski begitu polemik perihal ijazah berlanjut.
Penjelasan saya konkret
bahwa kasus dugaan ijazah palsu itu sudah selesai dan bupati harus dilantik.
Adapun kelompok yang berpandangan berbeda ingin membawa masalah itu ke ranah
politik. Saya jelaskan bahwa ibarat double
track, jalur pertama adalah gerbong hukum yang sudah selesai, seiring
penerbitan surat penghentian penyidikan perkara (SP3). Adapun jalur kedua
adalah politik, tak boleh berhenti, termasuk menyeberang ke lintasan hukum.
Urusan politik dan hukum berbeda, pantang dicampuradukkan.
Analog dengan kasus ijazah
bupati Brebes, kasus Century secara politik sudah selesai, atau prosesnya
sudah berakhir dengan penyerahan kasus itu kepada proses hukum di KPK.
Idealnya, tak boleh ada lagi proses politik. Semua elemen justru harus mendukung
proses hukum yang tengah berjalan. Bukankah kita sepakat Indonesia adalah
negara hukum (rechstaat)
sebagaimana Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945, bukan atas kekuasaan belaka (machstaat)
Distribusi
Kekuasaan
Dalam rangka melaksanakan check and balances serta mencegah
kekuasaan sentralistik yang bisa mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) maka kekuasaan
didistribusikan kepada eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam konteks
menjalankan kekuasaan legislatif, Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa
DPR memegang kekuasaan membuat undang-undang.
Tata cara menjalankan
kekuasaan itu dijelaskan secara rigid dan limitatif lewat Ayat (2), (3), (4),
dan (5). Untuk menjalankan kekuasaan sesuai Pasal 20A Ayat (1) sebagaimana
disebut pada bagian awal tulisan ini, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan. Ayat (2) mengatur DPR terkait hak
interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Begitu juga Ayat (3) yang
menjelaskan mengenai hak mengajukan pertanyaan, hak mengajukan usul, dan
pendapat, serta hak imunitas. Hak dan fungsi diatur untuk menjalankan dan
mengawasi hal ihwal berkait kekuasaan sebagaimana Pasal 20 Ayat 1 UUD1945.
Begitu cita-citanya (das sollen),
bukan untuk hal ihwal yang lain.
Rencana pemanggilan Wapres
Boediono ke DPR seperti melupakan kesadaran bahwa sebagian besar publik tidak
tertarik kegaduhan yang dikemas dalam sangkar politik. Janganlah karena 2014
adalah tahun politik, semua masalah ditarik-tarik ke ranah politik. Kita
semua, tentu sepenuh sukacita mengerahkan energi dahsyat bangsa ini bila
hendak digunakan sebesar-besar untuk kesejahteraan dan kemakmuran.
Masih banyak pekerjaan
rumah yang butuh perhatian ekstra wakil rakyat di Senayan, semisal
meningkatkan nilai tukar rupiah yang terus terpuruk. Sulit menyangkal bahwa
kemelemahan nilai tukar rupiah tak terlepas dari lingkungan internal bangsa
ini. Belum lagi ekspor mineral dan tambang yang belum juga beranjak naik,
apalagi mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
Sejumlah pekerjaan rumah itu
berkait erat dengan institusi yang membuat regulasi, salah satunya adalah
institusi politik di DPR. Di sanalah aturan main dibuat. Persoalannya, tak
banyak pihak yang terlibat intens dalam pembuatan aturan main. Mereka
cenderung memilih jadi pemain. Bisa saja aturan main, termasuk kebijakan,
dipersoalkan pada kemudian hari, bahkan memasuki ranah pidana. Itu risiko
terburuk yang mungkin terjadi. Pertanyaannya, siapkah kita? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar