Senin, 02 Desember 2013

Calon Legislatif Harusnya Seorang Pejuang

Calon Legislatif Harusnya Seorang Pejuang
Husni Arifin  ;   Praktisi Komunikasi dan Public Relation
KORAN SINDO,  30 November 2013
  


Dalam suatu diskusi informal dengan penulis, seorang calon anggota legislatif yang juga tetangga, menyatakan kesulitannya membuat pesan bagi warga di daerah pemilihannya. Dia ingin punya beberapa kalimat yang bisa diingat publik yang sekaligus merujuk kepada sosok dirinya. 

Entah dia sadari atau tidak, persoalan yang dihadapinya ini sebenarnya tidak hanya sekadar bagaimana menyusun kata-kata unik, namun juga bagaimana bisa meyakinkan publik bahwa dia layak dipilih. Bukan jalan yang mudah bagi para calon anggota legislatif, selevel tetangga itu, untuk bisa meraih dukungan publik. Pertama, mereka para politikus “junior”, belum dikenal publik. Boleh saja mereka punya visi yang lebih maju dan mulia dari para seniornya. Namun, hanya dirinya sendiri dan orang-orang di sekelilingnya yang mengetahui. Bagaimanapun juga, reputasi belum mereka miliki. 

Mereka tak ubahnya orang yang baru saja memiliki akun Twitter dan memulai perjuangan menggaet follower. Kedua, tingkat kepercayaan publik yang begitu rendah pada politikus. Jadi meskipun para politikus baru punya rencana hebat untuk mengerek reputasinya, dia harus pula menghadapi kenyataan tak menguntungkan terkait citra kaum politikus yang begitu buruk di mata masyarakat. Publik menganggap politikus sebagai pihak yang bertanggung jawab pada berbagai kekisruhan di Indonesia. 

Apalagi dari berbagai kasus korupsi terakhir, semakin gamblang peranan politikus dalam aksi pencurian uang negara. Ketiga, ketidakpercayaan publik pada pemilihan umum itu sendiri. Ini tantangan yang pasti tidak ringan untuk dilalui. Meski seorang calon memiliki kemampuanuntukmembangun kompetensi diri sedemikian rupa, dan mampu menempatkan dirinya di jajaran politikus terpercaya dan bersih, namun semua itu menjadi kurang berarti manakala publik tak mau lagi menggunakan hak pilihnya. 

Ketiga hal di atas adalah tantangan serius bagi para politikus muda yang memang punya niat mulia membela rakyat, sekaligus menjalankan fungsi legislatif sesuai paham demokrasi dan kedaulatan rakyat. Mereka harus melakukan dobrakan. Tak bisa jika hanya mengandalkan kecakapan berpolitik pas-pasan tanpa visi yang kuat. Tak bisa pula jika mereka hanya mengikuti langgam politik konvensional kurang bermutu yang selama ini dijalankan oleh partai politik yang ada, yang lebih menjunjung tinggi kedaulatan partai dan golongan. 

Para calon wakil rakyat memiliki tanggung jawab moral untuk memecah kebuntuan yang ada, di mana masih marak para pemilik suara yang enggan menggunakan haknya. Mereka enggan memilih wakilnya di parlemen yang akan mengawasi jalannya pemerintahan. Padahal, demokrasi tidak akan berjalan secara efektif sebagai sarana memastikan kedaulatan rakyat jika para pemilik suara tidak mau menggunakan haknya memilih wakilnya di parlemen. Tanpa partisipasi pemilik suara dalam pemilu, makan langkah menuju citacita kemerdekaan tidak akan terwujud. 

Dengan beban memanggul tanggung jawab moral seperti di atas jelas bukan perkara ringan bagi para calon legislatif. Jadi, jelas pula modal yang harus mereka miliki adalah visi kuat membangun bangsa. Karena itu, idealnya para wakil rakyat adalah orang-orang yang punya kompetensi untuk misi berlevel tinggi ini, yang bisa ditunjukkan dengan otak pintar dan cerdas, iman kuat, kehidupan sosial dan pribadi yang sehat, dan berorientasi kepada publik. 

Orang dengan profil seperti di atas jelas tak akan mendahulukan hal-hal sepele yang kurang dewasa, seperti antara lain memasang banyak-banyak gambar wajahnya di pinggir jalan, apalagi harus dengan mencuri start. Mencermati tingkat polah para calon wakil rakyat dalam mempromosikan dirinya sungguh membuat miris. Bagaimana tidak? Merekalah yang bakal mewakili rakyat dalam mengontrol jalannya pemerintahan. Tapi, lihatlah, banyak di antara mereka tak jelas rekam jejaknya dalam mengabdi untuk publik luas, bahkan untuk komitasnya sendiri. 

Sangat kebetulan juga, hanya berjarak tiga rumah dari tetangga yang caleg itu tinggal mantan anggota DPR RI. Saat masih menjabat dulu, bapak ini hampir-hampir tak pernah bergaul dengan tetangga. Bahkan sopirnya sempat beberapa kali kena teguran keras warga karena suka ngebut bawa mobil berlabel logo DPR RI di plat-nya di jalanan komplek perumahan kami. Idealnya seorang calon anggota legislatif adalah orang dengan rekam jejak perjuangan yang panjang dan tanpa lelah dalam membela kepentingan publik. 

Dia tak cukup hanya seorang dermawan yang bagibagi bingkisan setiap bulan ke panti asuhan atau panti jompo. Tak cukup juga jika dia seorang pemilik media lokal yang menggunakan medianya untuk memberitakan aktivitas sosialnya. Dia pun tetap tak layak meski memimpin organisasi massa kalau justru lebih tersohor karena kegarangannya sebagai penjaga keamanan pihak-pihak tertentu yang membayarnya. 

Menilai kompetensi para calon wakil rakyat mestinya juga menjadi pekerjaan rumah yang cukup serius bagi pekerja lembaga masyarakat sipil pemantau pemilu. Jika setidaknya dalam beberapa kali pemilu terakhir ada yang menginisiasi daftar politikus hitam, ada baiknya juga dimunculkan daftar nilai bagi para caleg yang sudah masuk DCT. Nilai ini berdasarkan kompetensi dan prestasi mereka dalam berjuang bagi publik, serta jejak moralitas. Bagaimanapun juga usaha menyelamatkan perbaiki kualitas pemilu harus tetap dilakukan demi kebaikan negeri ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar