Minggu, 01 Desember 2013

Beruk

B e r u k
Elik Susanto  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  30 November 2013
  


Pepatah mengatakan, "Memikat beruk dengan makanan, memperdaya manusia dengan janji muluk-muluk". Binatang memang gampang ditipu dengan makanan, bahkan yang buas sekalipun. Tapi manusia, meski sering kena tipu, tetap saja mudah takluk oleh iming-iming. Manusia juga cepat terpesona oleh janji-janji, sehingga akhirnya teperdaya hingga lupa diri.

Janji manis itulah yang kini bertebaran. Lihatlah di sepanjang jalan raya, perkampungan, pantai, pegunungan, dan di gang-gang kecil. Di setiap sudut terpampang aneka plakat calon legislator. Para caleg itu begitu berhasrat untuk dikenal banyak orang.

Caleg inkumben malah lebih bersemangat. Mereka membuat beragam baliho, jauh lebih mencolok dibanding yang dipasang caleg baru. Pantas saja banyak baliho bertebaran karena hampir 90 persen dari 507 politikus Senayan periode 2009-2014 mencalonkan diri kembali. Bagi caleg baru, mungkin karena modalnya mepet, cukup membuat poster mungil yang ditempel di pohon, tiang listrik, serta pagar rumah.

Tapi kelakuan caleg kawakan atau baru, baik di kota maupun di desa, sama saja. Semuanya menawarkan janji manis: adil, merakyat, mensejahterakan, jujur, dan berbakti. Bahkan ada yang dengan gagah menyebut dirinya anti-korupsi.

Mereka tak peduli bahwa janjinya dulu banyak yang tak terwujud.  Mereka juga tak mau tahu jika pamfletnya melanggar Peraturan Komisi Pemilihan Umum  Nomor 15 Tahun 2013 tentang Kampanye Pemilu DPR, DPD dan DPRD, yang melarang caleg mengkampanyekan dirinya. 

Aneh jika Panitia Pengawas Pemilu tak sanggup mengatasi berbagai pelanggaran ini. Apalagi, ada baliho yang sempat mencelakakan orang. Belum lama ini, tak jauh dari tempat saya tinggal, di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, sebuah baliho setinggi tiang listrik ambruk menimpa pejalan kaki. Umpatan pun mengalir deras kepada pemilik foto dalam baliho itu.

Hebatnya, sang pemilik baliho, meski tahu, tetap tak peduli. Dia malah menyuruh orang memasangnya kembali. Inilah contoh perilaku caleg yang tak bertanggung jawab. Heran juga, mereka bisa lolos seleksi di tingkat partai. 

Masyarakat Transparansi Indonesia sudah mengusulkan perlunya memperketat seleksi caleg. Langkah ini penting untuk memperbaiki mutu legislator di daerah ataupun di Senayan. Syarat itu meliputi kompetensi, integritas, dan komitmen caleg terhadap masyarakat yang akan diwakili. 

Harta melimpah justru tidak diutamakan. Yang penting, kekayaan mereka wajar sesuai dengan profesi, ditambah bebas narkotik, tidak suka main ke klub malam, dan tidak mengganggu istri/suami orang. Mereka juga tidak boleh berpoligami serta tidak suka melanggar hukum, terutama melakukan korupsi.

Kenyataannya memang lain. Seorang teman caleg dari Jawa Timur mengakui bahwa kriteria caleg versi partai sangat lentur. Kemampuan finansial menjadi faktor utama. Sebagai caleg untuk DPR RI, dia harus menyediakan uang sedikitnya Rp 2 miliar. Uang ini, selain untuk mencetak poster, digunakan buat menemui konstituen hingga membayar pertugas di lokasi pemungutan suara saat pencoblosan. Saya tahu persis, berdasarkan pekerjaannya, teman saya ini tidak punya potongan memiliki duit cash sebanyak itu. 

Saya kira, dari 6.608 caleg DPR dan ribuan caleg di daerah yang siap menyambut Pemilu 2014, tak semuanya seperti teman saya ini. Karena itu, kita mesti jeli melihat mana caleg berkualitas dan mana yang pintar mengumbar propaganda. Kita bukan beruk yang mudah ditipu dengan ucapan, apalagi makanan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar