Senin, 02 Juli 2012

Masih Ada Rekayasa Pengungkapan Kasus

Masih Ada Rekayasa Pengungkapan Kasus
Upa Labuhari ; Wartawan Senior
SINAR HARAPAN, 30 Juni 2012
 

Kata orang bijak, ’’Hanya keledai yang akan terantuk pada batu yang sama,’’ atau "Hanya orang buta yang terpersok dalam lubang yang sama.’’ Kata-kata bijak itu tidak berkelebihan jika diberikan kepada jajaran Polri yang Minggu (1/7) besok berulang tahun ke-66.

Salah satu wujud komitmen dari 10 kebijakan Kapolri Jenderal Timur Pradopo yang harus dilaksanakan oleh setiap jajaran Polri adalah melaksanakan tugas kepolisian yang anti-KKN dan antikekerasan. Komitmen ini harus dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan kesungguhan hati. Namun, di lapangan komitmen itu sering dilanggar.

Dalam sebulan terakhir tercatat sudah lima kali penyidik Polri membuat kesalahan fatal dalam mendiagnosis perkara pidana sehingga orang tidak berdosa dijadikan pesakitan selaku tersangka yang kemudian ditahan. Mereka bukan hanya ditahan tetapi diperiksa dengan menggunakan tindakan kekerasan.

Dua dari lima kesalahan itu terungkap di Pengadilan Negeri Batam dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sedangkan tiga sisanya yang lain terungkap karena keberanian masyarakat korban mengadukan kesalahan penyidik.

Dari kelima kesalahan itu, hanya satu korban yang menuntut ganti rugi pada Polri karena menderita kesakitan dianiaya di luar batas kemanusiaan dan ditahan sampai delapan bulan. Adapun empat lainnya tidak menuntut walaupun menimbulkan bekas luka yang sulit dihilangkan. Keempat korban menyatakan pasrah dan tidak akan menuntut.

Menjadi pertanyaan, apakah kesalahan demi kesalahan ini akan terus terjadi dilingkup Polri sehingga suatu kali nanti lembaga menjadi tempat penyiksaan?

Atau karena kesalahan ini dimaklumi oleh korban sehingga pemimpin penyidik juga memakluminya sebagai suatu hal yang biasa terjadi dalam dunia pemeriksaan tersangka. Luar biasa kapolri jika faktor yang terakhir disebutkan itu sebagai alasan untuk tidak menghukum para penyidik yang berbuat kesalahan.

Ini karena dalam aturan Kepala Kepolisian RI Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia disebut bahwa penyidik yang salah mendiagnosis perkara pidana sehingga pelakunya dibebaskan oleh pengadilan harus diperiksa dan diberi hukuman yang setimpal.

Dengan demikian, kesalahan mendiagnosis suatu perkara pidana tidak berulang-ulang terjadinya dilingkup Polri. Penyidik Polri harus memiliki kompetensi yang berkemampuan menentukan apakah seseorang layak dijadikan tersangka atau tidak. Kalau yang disangka tidak terbukti bersalah, harus dilepas dari tuduhan.

Contoh kasus tidak profesionalisme polisi terjadi di Polres Metro Jakarta Pusat. Seorang tukang ojek Hasan Basri diputus bebas murni sebagai pencuri oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penahanan selama delapan bulan yang dialami oleh korban bersama dengan penganiayaan yang dilakukan oleh penyidik Polres Metro Jakarta Pusat tidak diterima Hasan Basri.

Ia menuntut jajaran penyidik Polres Metro Jakarta Pusat karena penahanan dan penyiksaan itu dianggap sebagai suatu tindakan yang melanggar HAM.

Dia tidak hanya mengambil hikmah atas peristiwa yang dialaminya, tetapi ia yakin penyidik Polres Metro Jakarta Pusat tidak memiliki kemampuan mendiagnosis suatu peristiwa kriminal. Untuk itu, ia menuntut ganti rugi dengan mewajibkan Kapolres Metro Jakarta Pusat meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat.

Berkaca pada kasus-kasus itu hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi jajaran Polri di masa mendatang. Penyidik Polri harus taat dan patuh pada aturan yang sudah ditetapkan.

Tidak boleh lagi ada tersangka dipaksa untuk mengaku berbuat kejahatan dan tidak boleh lagi ada penyiksaan dalam pemeriksaan. Nama baik para terdakwa yang sudah diberi status bebas murni oleh pengadilan harus secepatnya diberikan sehingga ada kepastian hukum bagi masyarakat. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar