Selasa, 24 Juli 2012

Ujung Jarum

Ujung Jarum
Sukardi Rinakit ; Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS, 24 Juli 2012


Menjelang subuh, 7 Juli 2012. Di depan jenazah Moeslim Abdurrahman, pengusaha Arifin Panigoro yang juga sahabat almarhum mengatakan kepada saya dan kawan-kawan. ”Sempurna sudah kita kehilangan. Tiga serangkai telah pergi, Cak Nur, Gus Dur, dan kini Kang Moeslim.”

Dia lalu menanyakan apa pesan terakhir Kang Moeslim. Penulis mengatakan tidak ada pesan khusus. Hari-hari terakhir kami berkumpul diisi dengan diskusi. Beberapa kali Kang Moeslim mengatakan PDI-P dan Gerindra berada pada jalur yang benar. Dengan mengusung Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama sebagai calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, gerak politik Ibu Kota terbukti menjadi dinamis.

Alangkah hebatnya kalau langkah yang sama juga dilakukan untuk Jawa Tengah. Rustriningsih dan Garin Nugroho dicalonkan sebagai pasangan gubernur dan wakil gubernur. ”Provinsi itu pasti akan menggeliat,” kata Kang Moeslim. Seperti DKI Jakarta, aspirasi masyarakat Jawa Tengah dan partai akan ketemu pucuking dom (bertemu di ujung jarum). Klop!

Ia juga mengatakan bahwa rumah ideologi yang kini masih tersisa tinggal PDI-P dan Gerindra. Oleh karena itu, mereka harus dijaga baik-baik. Banyak partai lainnya yang sudah tergelincir hanya sekadar menjadi rumah pragmatisme politik. Akibatnya, ide keadilan sosial dalam bentuknya yang sejati, yaitu redistribusi sosial dan ekonomi, hanya menjadi jargon belaka.

Kejumudan Politik

Keprihatinan Kang Moeslim tersebut bisa dipahami. Realitas politik Indonesia sekarang ini secara obyektif memang dipenuhi kejumudan. Ini bisa dilihat dari perilaku para politisi dan partai politik pada umumnya. Mereka memang terus bergerak, tetapi hanya melingkar pada aras dan arah yang sama, yaitu sekadar mengejar privilese politik dan ekonomi. Mirip dengan atraksi motor setan di pasar malam.

Situasi itu diperburuk oleh sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang lebih banyak mengimbau daripada memerintah. Contoh terbaru adalah imbauan agar menteri yang sibuk mengurusi partai supaya mengundurkan diri. Hal ini membuat situasi politik menjadi gamang. Dalam situasi Republik yang penuh tantangan seperti sekarang, tidaklah bijak kalau presiden terlalu tenggang rasa. Menegur langsung pilihan terbaik.

Sebab, dalam masyarakat paternalistik dan sistem pemerintahan presidensial, apabila presiden terlalu tenggang rasa, miskin ketegasan, dan takut kesepian, seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara akan lesu. Presiden juga bisa disandera oleh partai-partai koalisi pemerintah, anggota kabinet, dan eksekutif partainya sendiri seperti yang sekarang terjadi.

Semua itu bermuara pada situasi Indonesia yang tanpa panduan. Semua masalah muncul ke permukaan karena masyarakat tidak mempunyai pegangan dan kehilangan sosok pemimpin. Akibatnya, kecenderungan umum tatanan politik juga bergeser.

Secara umum, ranah politik Indonesia kini diwarnai oleh tiga gejala. Pertama, terjadinya kehancuran kekuatan ideologi digantikan oleh hegemoni kapital. Kini sulit mencari politisi yang pilihan politik dan garis perjuangannya atas nama ideologi.

Di belakang semua manuver politik dan upaya mendapatkan kekuasaan, dari ketua umum partai politik, kepala daerah, sampai presiden, serta anggota dewan, selalu diselimuti mode of capital berupa kekuatan uang. Tidak mengherankan jika dalam semua teater sejarah bangsa ini nanti akan sulit ditemukan pentas yang mengisahkan pilihan ideologi dan keutamaan politik.

Gejala kedua adalah melemahnya daya gempur partai politik digantikan oleh pesona figur. Publik mudah tersihir oleh penampilan tokoh yang mirip kesatria seperti yang mereka angankan. Tidak mengherankan apabila semua partai akhirnya mengandalkan survei popularitas tokoh dalam kontestasi perebutan jabatan politik. Hal ini merontokkan keperkasaan jaringan dan infrastruktur partai sekaligus mengonfirmasi sejarah politik Indonesia yang lebih bergantung pada kekuatan tokoh daripada institusi.

Terakhir, ketiga, propaganda digantikan oleh pemasaran politik. Propaganda sebagai kekuatan pengikat dan utopian bersama, mulai dari slogan pembangunan, kebangsaan, sampai kerja lapangan berupa sosialisasi ideologi dan pemberdayaan struktur basis, tak lagi mempunyai daya pengaruh. Semua digantikan daya pikat ”budaya tinggi industrialisasi”, yakni pemasaran politik. Kemasan, bedak, gincu, dan celoteh budaya pop instan telah merebut ruang sosial. Praksis politik akhirnya menjadi instan.

Dalam konstruksi masyarakat seperti itu dan ketika rumah civil society sebagai kekuatan kritis kosong, hanya presiden dan partai politik yang mempunyai daya dobrak tinggi. Mereka harus bertemu di pucuking dom. Oleh sebab itu, kini saatnya bagi Presiden untuk keras kepala dan mengurangi tenggang rasa demi rakyat. Bagi partai politik, saatnya mengusung tokoh-tokoh yang baik dan pemanggul ideologi kesejahteraan sosial. Tanpa langkah itu, kejumudan Republik akan melembaga.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar