Rabu, 25 Juli 2012

Absolutisme Negara tanpa Hukum


Absolutisme Negara tanpa Hukum
Bambang Satriya ; Guru Besar Stiekma,
Dosen Luar Biasa Universitas Ma-Chung Malang, Penulis Buku Etika Birokrasi
MEDIA INDONESIA, 25 Juli 2012


DALAM Editorial Media Indonesia (24 Juli 2012) ada pernyataan mengenai pengetahuan SBY tentang kasus-kasus korupsi di pelbagai lembaga yang melibatkan banyak pejabat. Presiden menegaskan dia memiliki bukti sahih tentang kasus-kasus itu, tetapi menyerahkan sepenuhnya kepada lembaga penegak hukum untuk bertindak. Sebagai presiden yang mendeklarasikan sebagai pemimpin perang terhadap korupsi, bukti-bukti pelanggaran ada di depan mata, tahu, dan sahih. Namun, lagi-lagi atas nama nonintervensi, semua data itu diserahkan kepada aparat penegak hukum. Mau ditindak silakan, tidak juga tidak apa-apa.

Itu pernyataan seorang pemimpin yang sedang ‘galau’, meski dirinya pastilah paham di pundaknya dipercayakan konstitusi untuk mengimplementasikan atau menyelenggarakan kekuasaan guna mewujudkan dan membumikan hukum, dan bukan menyerahkan secara sukarela. Tanpa dorongan kekuatan besar dan maksimal darinya, pembumian hukum tidak akan mungkin bias terwujud.

Sebaliknya, kekuatan para pembangkang atau penyelingkuh hukum akan semakin besar dan sistematis akibat diberi ruang yang semakin terbuka untuk menggali, menguatkan, dan mengakselerasikan potensinya. Norma yuridis kian dibuat dan dikondisikan sebagai instrumen yang terkooptasi dan tereduksi oleh kepentingan politik jangka pendek dan jangka panjang.

Oleh para penyelingkuh itu, hukum dibuat tak berbicara atas nama ‘norma’ atau nyawa konstitusi, tetapi dibuat sebagai segmentasi instrumen bercorak asal ada dan penghias legalitas keabsahan negara. Hukum tak diberikannya tempat untuk mempertanggungjawabkan setiap jenis perbuatan yang diduga sebagai kriminalitas atau tindak pidana (straafbaarfeit) karena hukum sudah diseret ke ranah mempertanggungjawabkan dengan paradigma ‘pemilahan dan pemilihan’ mengenai siapa yang patut dipertanggungjawabkan.

Kosakata ‘terserah’ penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mempertanggungjawabkan atau tidak, memang, di satu sisi sebagai wujud apresiasi terhadap independensi kinerja (KPK), tetapi itu dapat terbaca dari sisi lain, yang mengesankan KPK atau aparat penegak hukumlah yang bertanggung jawab mutlak dan berperan mempertanggungjawabkan segala bentuk penyimpangan di negeri ini.

Semestinya, sesuai dengan kompetensi konstitusionalnya, presiden punya peran sangat b besar untuk menjadi pengadil a setiap para pembantu atau atas menteri-menterinya yang dinilainya tidak mampu bekerja atau diduga melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), atau sedang berurusan dengan hukum. Tanpa perlu menunggu kemungkinan diproses dalam ranah penerapan sistem peradilan pidana (criminal justice system) atas dugaan kasus korupsinya, kompetensinya sebagai presiden bisa atau harus diwujudkan.

Kalau sosok yang diberi `kekuasaan' sangat besar oleh konstitusi saja kurang memberikan apresiasi besar terhadap perkara-perka ra hukum yang bersifat sangat istimewa (extra ordinary) seperti korupsi, bagaimana jadinya wajah Indonesia ke depan sebagai negara yang menyandang predikat rechtstaat (negara hukum)? Masih mungkinkah bangsa ini bisa terlepas dari cengkeraman para penyelingkuh kekuasaan kalau norma yuridis konstitusional semakin ditemaramkan?

Dampak menguntungkan tentulah bisa dinikmati para penyelingkuh kekuasaan, dalam hal ini koruptor dan segmen kekuasaan yang mendapatkan `kenikmatan' darinya. Politik titik balik diniscayakan terjadi dan bahkan membesar (mengabsolut) dalam bentuk tampilnya sejumlah orang dalam korporasi dan sindikasi parpol nakal atau kelompok tangan-tangan gaib (the invisible hands) yang terjebak membela dan mengayomi koruptor, sementara institusi yang berusaha menjadi me sin pemberantas korupsi dan penjaga citra negara hukum sudah distigmakan publik sebagai institusi yang mandul, impoten, dan setidaknya terancam kesulitan mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawan koruptor.

Kekuatan sindikasi koruptor yang semula temaram atau tidak menunjukkan nyali untuk berwacana seolah mendapatkan angin segar guna mengagregasikan kedaulatannya. Itulah yang pernah diingatkan AM Rahman, penulis buku antologi puisi berjudul Badai Serigala (2006) dengan kalimat `belalah koruptor, negeri pasti terkapar, belalah koruptor, negeri pasti telantar, belalah koruptor, negeri pasti terbakar, belalah koruptor, negeri pasti terkubur, belalah koruptor, rakyat pasti lebur'.

Paparan itu sejatinya sebagai kritik radikal kepada pimpinan tinggi negara, khususnya yang mendapatkan amanat konstitusi, bahwa seharusnya koruptor wajib mereka jadi kan sebagai musuh terbesar negara yang diperangi secara maksimal dan konsisten.
Koruptor merupakan jenis perampok elitis yang telah mengakibatkan kerugian besar. Sebut misalnya telah merajalela bagai gurita. Korupsi telah `biasa' dilakukan dari tingkat aparat paling rendah, ketua RT, hingga pejabat tinggi negara. Pada 2011 terdapat 436 kasus ko rupsi dengan jumlah tersangka 1.053 orang. Potensi kerugian negara akibat korupsi itu ialah Rp2,169 triliun. Yang menarik, kebanyakan pelaku korupsi itu memiliki latar belakang pegawai negeri sipil (PNS). Tersangka berlatar belakang pegawai negeri menempati urutan teratas dengan jumlah 239 orang. Mereka diikuti direktur atau pimpinan perusahaan swasta dengan 190 orang, serta anggota DPR/DPRD berjumlah 99 orang.

Koruptor tak perlu ditempatkan sebagai ‘kawan’ dalam membangun kekuatan politik (political power) karena mereka telah membuat wajah negeri ini semakin sengkarut dan menjadikan rakyat terpuruk dalam kompilasi penderitaan. Sayangnya, banyak unsur strategis masyarakat dan bangsa ini yang lebih suka berkawan atau menjalin ‘persaudaraan’ dekat dengan koruptor, padahal di dalam pundaknya sudah ada amanat menjadi penghancurnya.

Yang selama ini mencuat, saat belum bertemu koruptor, aparat penegak hukum atau pilar institusi strategis yang diberi mandat konstitusi untuk menjalankan misi jihad melawan koruptor gampang berjanji, bahwa korupsi akan dihabisi atau dibersihkan dari Bumi Pertiwi ini dan siapa pun di antara para pilar negara yang berurusan dengan hukum karena korupsi disuruhnya mundur atau menanggalkan jabatannya.

Sayangnya setelah berdekatan dan dimanjakan koruptor, pilar negara itu lantas kehilangan jiwa independensi dan ‘suara suci’ mereka, dan bahkan berparadigma politik terbalik dalam memberikan ruang pada koruptor atau kandidat koruptor untuk merumuskan dan menerapkan jurus-jurus yang bisa menghabisi atau mengamputasi kesakralan norma yuridis.

Siapa pun elemen bangsa ini, khususnya pilar utamanya yang masih berpikiran jernih atau cerdas, tentulah mengakui korupsi merupakan kejahatan yang terbilang serius, penyakit kanker yang potensial menghancurkan dan mengubur negeri ini. Siapa yang menganggap remeh, apalagi menaļ¬ kan urusan korupsi atau para penyelingkuh hukum, berarti menyerahkan nasib rakyat negeri ini ke tiang gantungan kematian.

Masih tetap bersemainya kasus korupsi atau mencengkeramnya kekuatan sindikasi koruptor di negeri ini mengindikasikan kita selama ini masih kalah bertarung dengan koruptor atau belum menempatkan khitah moral perlawanan terhadap koruptor. Koruptor masih berdaya membuat elite kekuasaan atau pimpinan negara terperangkap dalam politik ‘setengah hati’ untuk menumpas atau memeranginya.

Segmen elite white collar crime itu secara tidak langsung diberi kelonggaran tampil lebih maju, berani, lihai, terorganisasi, atau mengabsolut dalam menyebarkan dan menyuburkan kejahatannya. Memang ada beberapa yang berhasil dijerat dan dikenai hukuman beberapa tahun penjara, tetapi layaknya pepatah mati satu tumbuh seribu, korupsi itu pun tetap berjalan jemawa dalam keberdayaannya akibat berlakunya politik pemanjaan yang diberikan tempat melindungi dan bahkan membenarkannya. Ada beberapa orang yang berhasil dijebloskan ke penjara, tetapi beberapa orang yang jumlahnya lebih banyak terus bermunculan menunjukkan aksinya akibat nihilitas konsistensi dalam menjaga atau membumikan khitah moral perlawanan terhadap koruptor. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar