Selasa, 24 Juli 2012

Pemimpin yang Terisolasi

Pemimpin yang Terisolasi
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
SUARA MERDEKA, 24 Juli 2012


FOKUS hanya pada masalah politik kekuasaan, membuat Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) makin terisolasi dari sejumlah persoalan yang dihadapi rakyat. Bahkan terlihat aneh karena senang terhadap fakta yang menunjukkan pemerintahannya tidak bersih. Dua pernyataannya sepanjang pekan lalu membuat banyak orang bertanya-tanya. 
Pertama; ketika mengaku senang dengan terungkapnya penyimpangan penggunaan anggaran yang melibatkan eksekutif dan legislatif. Kedua; saat mengimbau mundur menterinya yang hanya sibuk mengurusi partai.

Pada saat bersamaan, rakyat menghadapi masalah yang tidak menyenangkan, terutama terkait kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Sementara di beberapa daerah, konflik berlatarbelakang perebutan lahan terus berlanjut. Konflik yang melibatkan warga versus aparat keamanan dan pemerintah, atau warga melawan pemodal swasta.

Dua isu ini dikedepankan media massa secara berkelanjutan tapi tetap luput dari perhatian Presiden yang sibuk mengelola politik kekuasaan. Terlihat SBY dan para menterinya bukan hanya tidak sensitif melainkan juga tidak antisipatif. Lonjakan harga sembako selalu terjadi menjelang Ramadan dan Lebaran. Mestinya ia memerintah Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, dan Kepala Bulog untuk mengantisipasi lonjakan harga.

Sementara itu, konflik berlatar belakang perebutan lahan terus mengalami eskalasi. Sepanjang Januari-Juni lalu, luas lahan yang diperebutkan 377.159 hektare dalam 101 kasus, melibatkan sedikitnya 25 ribu keluarga.

Masyarakat melihat dua masalah itu sebagai persoalan serius, tapi Pre-siden dan anggota kabinet  memersepsikannya sebagai hal biasa. Itu sebabnya, SBY tidak merasa perlu memberi respons. Tentu saja sikap seperti itu sulit dipahami, mengingat dua masalah tersebut sangat strategis.

Lonjakan harga sembako berkait dengan perut lebih dari 100 juta warga negara, sementara persoalan konflik lahan berdimensi lebih luas. Mulai aspek kepastian hukum dalam berbisnis, prospek perekonomian rakyat di atas lahan yang disengketakan, aspek keamanan hingga potensi konflik berdarah dengan jatuhnya korban jiwa.

Peduli dan Tegas

Muncul kekhawatiran bahwa pemerintahan tidak fokus mengurusi persoalan yang dihadapi rakyat. Itu sebabnya, antara suara atau aspirasi rakyat dan respons pemerintah sering tidak nyambung. Pengungkapan sejumlah kasus penyimpangan penggunaan anggaran pembangunan itu seharusnya membuat Presiden prihatin. Sebab, itu bukti pemerintahannya tidak bersih. Bahkan, karena melibatkan pejabat pemerintah, Presiden seharusnya proaktif.

Ambil contoh kasus dugaan korupsi proyek Hambalang. Jika ada kementerian yang berani merealisasikan sebuah proyek tanpa mengikuti mekanisme penganggaran yang benar, berarti  menteri itu melanggar undang-undang. Menjadi tidak wajar jika Presiden tidak meminta pertanggungjawaban dari menteri tersebut.

Presiden juga terlihat tidak tegas ketika hanya bisa mengimbau mundur menterinya jika lebih sibuk mengurusi partai. Imbauan itu boleh jadi mengacu pada data, dan bukankah Presiden berbicara harus berdasarkan data?

Kalau ada menteri tidak bisa berkonsentrasi menjalankan tugasnya, Presiden punya hak prerogatif untuk memberhentikannya. Bila hanya mengeluarkan imbauan justru akan dikembangkan sebagai lelucon di ruang publik.  Kalau menteri yang sibuk mengurusi partai diimbau oleh Presiden untuk mundur, lantas apa konsekuensinya jika SBY pun sibuk mengurusi partainya?

Sebagai pemimpin, SBY wajib memberi contoh. Imbauannya ibarat  peribahasa ‘’menepuk air di dulang terpercik muka sendiri’’. Masyarakat tahu bahwa ia menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dan tokoh sentral partai itu. Tentu Presiden tidak bisa menyalahkan para menteri jika ada di antara mereka masih bisa mengurusi partai pada waktu luang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar