Selasa, 24 Juli 2012

Perempuan yang Mencerdaskan

Perempuan yang Mencerdaskan
Siti Muyassarotul Hafidzoh ; Peneliti pada Program Pasca Sarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
SUARA KARYA, 24 Juli 2012


Perempuan sebagai seorang ibu merupakan agen percerdasan paling utama. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Diperlukan seorang ibulah hingga anak yang menangis kemudian terdiam, anak yang lapar kemudian kenyang, anak yang resah kemudian tenang. Karena, ibu adalah seorang perempuan yang memiliki hati menyejukkan.

Seperti kisah seorang Adam yang diberikan anugerah Tuhan lewat hadirnya perempuan cantik bernama Hawa. Bukan cantik yang membuat Adam teduh, tenang, dan bahagia, tetapi ruh Hawa meniupkan jalan hidup yang damai dan asri dalam diri Adam. Adam begitu membutuhkan seorang Hawa.

Demikian juga yang dialami oleh Muhammad. Peran istrinya bernama Khadijah sangat besar membawa obor perdamaian dalam peradaban Timur Tengah. Khadijah hadir menemani perjuangan dengan seluruh jiwa dan hartanya tanpa ragu mengobarkan jiwa perdamaian dalam setiap jejak kehidupan. Muhammad begitu membutuhkan seorang Khadijah.

Itulah perempuan. Terkadang cerita yang silam, bahwa ia membutuhkan sosok hawa dilalaikan para kaum adam. Masih banyak kaum adam yang menempatkan perempuan pada posisi inferior. Dia (perempuan) bukan siapa-siapa hanya sekedar teman atau kebutuhan nafsu an sich.

Dalam konteks keluarga, perasaan inferior sering terjadi dalam diri perempuan. Karena, berada dalam kuasa suami, sang istri merasa 'rendah diri', sehingga harus mengikuti apa pun yang dititahkan suami. Membangkang pada suami berarti laknat yang akan datang kepadanya di kemudian hari.

Rasa inferioritas ini mendorongnya untuk mencari pihak-pihak yang bisa membebaskannya. Selama ini, karena laki-laki yang merupakan sosok yang posisinya selalu diletakkan sebagai pihak yang dominan, maka dia dipandang sebagai figur yang tepat untuk membantu perempuan keluar dari inferioritasnya. Perasaan inferior juga mengantarkan perempuan untuk selalu membutuhkan perlindungan. Menggambarkan pada posisi perempuan yang 'dianggap lemah'.

Dalam psikologi, fenomena ini sering diistilahkan dengan Cinderella complex. Sejak kecil, anak perempuan dikondisikan untuk cenderung memilih kisah-kisah romantis yang berakhir dengan happy ending di mana tokoh utamanya adalah perempuan cantik tapi lemah dan tidak punya daya dan kuasa untuk mengambil keputusan atas kehidupannya. Lalu, datanglah lelaki perkasa dan biasanya tampan, datang menyelamatkan perempuan itu, memberi janji kehidupan yang bahagia selamanya. Ini menggambarkan betapa lemahnya perempuan tanpa seorang laki-laki.

Perasaan inferior yang begitu merugikan perempuan ini mengakar dalam kebudayaan kita. Maka, tatkala berkeluarga, kaum perempuan seolah 'didudukkan' saja untuk menjadi ibu rumah tangga. Apalagi kalau hamil, maka yang dilakukan adalah persiapan menjadi ibu yang baik. Sekolah, kuliah dan belajar lainnya seolah 'putus', 'selesai', sehingga banyak yang ketika sekolah atau kuliah sudah menikah, studinya berakhir begitu saja. Ini jelas pemahaman yang setengah-setengah dalam kehidupan berkeluarga. Padahal, keluarga berkualitas merupakan dambaan setiap agama, masyarakat dan negara.

Perkembangan Anak

Jika seorang Adam saja merindukan kehadiran Hawa, maka seharusnya posisi bagi Hawa jauh lebih berharga. Tanpa Hawa, Adam pun tak bisa apa-apa. Sebagai laki-laki memahami hak dan kewajiban perempuan adalah keniscayaan yang harus selalu diingat. Ketika seorang perempuan memutuskan untuk menjadi seorang istri dan ibu, maka seorang suami seharusnya memberikan hak bagi istri, hak pendidikan, hak kesejahteraan dan hak perlindungan.

Persoalan mengurus keluarga sebenarnya bukan tugas istri semata, justru suami yang seharusnya berperan sentral menjaga stabilitas keluarga. Tetapi seringkali laki-laki enggan disibukkan dengan persoalan teknis rumah tangga, sehingga perempuan akhirnya 'berjiwa besar' melakukannya sendiri. Waktunya yang total melakukan pekerjaan teknis rumah tangga inilah yang menjadikan dia tak lagi mempunyai waktu untuk melanjutkan studi.

Sebaliknya tugas menuntut ilmu dan melakukan aktivitas di luar juga sebenarnya bukan tugas suami semata, seorang istri atau ibu pun berpeluang melakukan hal tersebut. Justru ketika seorang ibu melebarkan sayap keilmuan yang lebih tinggi, maka akan memberikan pengaruh positif bagi perkembangan anak-anaknya. Seorang ibu yang berpendidikan maka anaknya pun akan berpendidikan. Mendidik anak dengan ilmu yang tinggi berbeda jauh dengan mendidik anak tanpa berilmu.

Ketika mengetahui urgensi pendidikan dalam berkeluarga adalah hal yang pokok, maka yang harus dilakukan adalah, baik laki-laki maupun perempuan, tidak ada halangan untuk melanjutkan sayap keilmuannya. Keluarga yang berfondasi dengan ilmu akan lebih kuat dan tegar dalam menghadapi apa pun, bahkan dalam menghadapi perekonomian keluarga sekalipun tidak akan membuat keluarga itu rapuh.

Perempuan yang cerdas akan melahirkan generasi-generasi bangsa yang cerdas pula. Jangan merasa terhalangi karena status sebagai istri atau sebagai seorang ibu, justru itu merupakan kunci utamanya. Maka dari itu, setiap perempuan harus memiliki tekad keilmuan yang tinggi, dan setiap laki-laki untuk tidak lagi menempatkan perempuan pada posisi inferior. Karena, Laki-laki dan perempuan adalah pasangan yang tidak bisa dipisahkan.

Jadilah perempuan yang cerdas dan mencerdaskan, karena penerus bangsa adalah lahir dari rahim seorang ibu. Dialah perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar