Selasa, 24 Juli 2012

Perlukah Indonesia Mengutangi IMF?


Perlukah Indonesia Mengutangi IMF?
Gigih Prihantono ; Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga 
SINDO, 24 Juli 2012


Pertama kali saya mendengar rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan dana bantuan sebesar USD1 miliar atau kurang lebih Rp9,475 triliun kepada IMF, pikiran saya langsung melayang pada memori krisis ekonomi pada 1998.

IMF dianggap sebagai penyebab kondisi perekonomian kita semakin memburuk. Utang kita menjadi sedemikian paah yang hingga saat ini mencapai Rp2.100 triliun. Istilah “utang” lebih merupakan trauma bangsa Indonesia terhadap rezim Orde Baru karena kebijakan perekonomiannya dianggap mem-bohongi masyarakat Indonesia dengan menggunakan istilah “anggaran berimbang”, padahal faktanya terjadi defisit.

Secara teoritis utang merupakan salah satu bentuk capital untuk digunakan dalam memutar proyek-proyek pembangunan agar lebih produktif yang akan membawa pada kebaikan bersama (common good). Namun dalam praktiknya, kebijakan berutang yang dilakukan hanya mengekspresikan kepentingan suatu kelompok dan tidak mencakup kebaikan bersama (common good).

Membangun Ekonomi 

Alasan mendasar mengapa setiap negara melakukan “utang” adalah untuk melakukan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi mempunyai fungsi sebagai penjabaran dari proses transformasi berupa pemecahan (breakthrough) dari keadaan ekonomi yang terhenti (stagnan) ke suatu pertumbuhan kumulatif yang bersifat terus menerus guna menuju kebaikan bersama (common goods).

Dalam proses membangun tersebut berlaku hukum ekonomi. Hukum ekonomi secara sederhana menggambarkan bahwa hal yang mempengaruhi kecepatan pertumbuhan perekonomian suatu negara ditentukan oleh seberapa cepat pertambahan produksi barang dan jasa yang dihasilkan.Untuk mencapai hal tersebut, fungsi utama pendorong percepatan pertumbuhan barang dan jasa adalah fungsi investasi.

Perubahan investasi yang dilakukan sekarang,baik tinggi maupun rendah akan berimplikasi pada pertambahan produksi barang dan jasa. Setelah barang dan jasa pada suatu negara diproduksi tentu diperlukan sebuah pasar untuk menampung barang dan jasa tersebut. Secara garis besar, pasar yang ada di dunia hanya ada dua yaitu pasar dalam negeri dan pasar luar negeri. Selama dekade 1900 sampai sekitar 1980-an terjadi pergeseran bekerjanya lingkup ekonomi dari rumah tangga individual menuju rumah tangga masyarakat.

Siapa yang bertanggung jawab atas keterlaksanaan dan keberhasilan kinerja ekonomi-politik? Tanggung jawab tersebut tidak lagi berada di pundak kepala keluarga, namun bergeser kepada para pemangku kebijakan dalam sebuah negara (aspek politik). Sekitar 1980-an sampai sekarang terjadi sebuah pergeseran dari lokus kinerja ekonomi suatu negara ke ekonomi global. Artinya, perencanaan pembangunan ekonomi di suatu negara harus melibatkan lebih dalam faktor-faktor eksternal di dalam kondisi perekonomian global.

Riding to the Wave 

Sama dengan kebaikan dan kejahatan yang merupakan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Pemberian pinjaman kita kepada IMF bisa kita pandang positif atau negatif tergantung dari caranya memandang. Namun dalam ilmu ekonomi,sesuatu kegiatan entah itu dilakukan oleh individu atau negara selalu menghasilkan sebuah keuntungan dari setiap kesempatan (opportunity gain).

Data menunjukkan selama beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa negara-negara Eropa mengalami fluktuasi dalam neraca pembayarannya yang saat ini malah semakin menjadi parah. Namun, di sisi lain cadangan devisa kita yang berjumlah USD111,52 miliar atau setara Rp1.056,652 triliun masih belum produktif. Jumlah bantuan kita pada IMF sebesar USD1 miliar tentu tidak akan mengganggu stabilitas perekonomian kita secara signifikan.

Di mana peluang yang bisa dipakai oleh Indonesia? Sama dengan moto hidup Provinsi Jawa Timur yaitu “Jer Basuki Mawa Bea (Jika Ingin Memancing Ikan Besar, Siapkan Umpan yang Bagus)”.Tentunya dengan kita mengulurkan tangan kepada saudara-saudara kita di Eropa, kita sudah menyiapkan sebuah umpan yang bagus.Atau saya lebih suka menggunakan istilah bahwa kita sedang menyimpan ”deposito” kepada IMF.

Namun, tentu saja umpan yang bagus tersebut akan menjadi percuma jika kita lupa mempersiapkan strategi lanjutannya seperti kualitas dan kuantitas barang serta jasa yang dihasilkan industri kita. Maka lokus perdebatan yang saya ajukan untuk mengakhiri sketsa kecil ini bukan terletak pada apakah kita setuju atau tidak setuju pada pemberian utang, tetapi lebih pada cara terbaik seperti apakah yang harus kita siapkan untuk menaiki gelombang peluang yang datang.

Gelombang ekonomi masa depan dunia berpusat pada benua Asia,namun juga tidak bisa meninggalkan benua Eropa dan Amerika sebagai partner bisnisnya. Lalu, apa langkah konkret yang dapat kita lakukan untuk mendukung kebijakan tersebut?

Pertama, mengerahkan seluruh sumber daya dan upaya yang ada untuk membentuk koordinasi strategis antar badan pemerintah. Langkah tersebut bukan masalah teknis melainkan menyangkut kemampuan kita dalam berdiplomasi sehingga dapat menerobos pasar-pasar di Eropa.

Kedua,memantapkan strategi dan merampungkan PR besar tentang tegangan-tegangan yang terjadi antara program masterplan ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD).

Tentu di atas itu semua, sebagaimana sketsa kecil ini berangkat dari maksud baik yang merupakan syarat mutlak harus dimiliki oleh para pengambil kebijakan. Tanpa itu semua kepadanya tidak bisa diharapkan terobosan visi dan kreativitas strategi dalam menaiki gelombang peluang yang datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar