Menanti
Generasi Perubahan
Tim
Kompas
KOMPAS, 24 Juli 2012
Setelah 12 tahun rezim Orde Baru tumbang
tahun 1998, Indonesia justru terjerembab ke dalam sumur tanpa dasar.
Karut-marut kondisi bangsa ini justru seperti makin kusut. Panggung
politik-hukum mementaskan drama: politik transaksional, koalisi pragmatis yang
justru lebih banyak bertengkarnya, politik perkoncoan dan dinasti politik yang
menyebar masif, hingga perselingkuhan penguasa-pengusaha yang ramai-ramai
menggarong uang rakyat.
Apa yang salah? Fondasi bangsa ini, mulai
dari dasar negara hingga beragam aturan, sebetulnya telah tersedia walaupun
harus diakui masih banyak yang perlu disempurnakan. Akan tetapi, persoalannya
bukan saja tak ingin menjalankan aturan itu secara konsisten, melainkan justru
ada upaya mencari celah agar tidak terjerat aturan itu. Inilah babak yang
paling menyedihkan, yaitu kerusakan mental bangsa, yang telah diinisiasi oleh
elite pemegang kewenangan/kekuasaan di lembaga eksekutif, legislatif, juga yudikatif.
Bagi kita, hari-hari membosankan itu selalu
berulang setiap hari. Ada saja pejabat atau politisi yang menjadi tersangka
korupsi, ada bupati yang diseret ke meja hijau karena korupsi, dan ada pegawai
pajak yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena penggelapan pajak.
Jadi, jangan bertanya sudah berapa banyak anggota DPR, baik di pusat maupun
daerah, yang terbelit kasus korupsi.
Beberapa kasus yang menghebohkan antara lain
kasus suap cek perjalanan pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia
tahun 2004 yang menyeret 24 anggota DPR dari berbagai partai politik, kasus
suap proyek wisma atlet SEA Games di Palembang dan kasus proyek kompleks
olahraga terpadu di Hambalang (Bogor) yang menyebut banyak politisi, serta
proyek-proyek lain di banyak daerah.
Kasus-kasus korupsi itu umumnya mengeruk dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) yang sejatinya dikucurkan untuk kesejahteraan rakyat.
Modus yang paling kentara adalah mengutak-atik proyek dengan imbalan fee di Badan Anggaran DPR. Calo- calo
anggaran mengutip uang rakyat bahkan saat masih dalam pembahasan.
Kalangan eksekutif juga sama saja, baik di
pusat maupun daerah. Bayangkan saja, sampai awal pekan lalu, jumlah kepala
daerah (bupati/wali kota/gubernur) yang tersangkut korupsi, entah terdakwa atau
saksi, sebanyak 213 orang. Sungguh angka yang fantastis! Dari jumlah total 495
kepala daerah, berarti sekitar 43 persen kepala daerah bermasalah dengan kasus-
kasus korupsi. Para kepala daerah bermasalah itu sudah otomatis sibuk mencari
jalan untuk mengatasi masalah. Lalu, kapan waktunya bekerja mengurus rakyat?
Keropos dan Akut
Para kepala daerah itu sesungguhnya jauh dari
harapan tipikal pemimpin modern yang seharusnya bersih dari korupsi,
berintegritas, populis, dan bekerja sepenuh hati untuk rakyat tanpa memikirkan
pamrih. Hal itu tentu saja menjadi contoh negatif yang diikuti bawahannya.
Tidak mengherankan, birokrasi kita sangat rentan dan keropos. Birokrasi yang
buruk ternyata tidak lepas dari cengkeraman politik. Problem birokrasi salah
satunya adalah akibat relasi birokrasi dan politik. Birokrasi buruk karena
selama ini selalu berada dalam subordinasi politik. Akibatnya, sebagai sebuah
entitas, birokrasi sangat sulit untuk profesional, netral, dan melayani
masyarakat.
Negeri ini pun hampir tenggelam ketika
lembaga yudikatif juga setali tiga uang. Hampir tidak ada lembaga penegak hukum
yang bersih. Kepolisian, kejaksaan, hakim, juga para pengacara seakan
berlomba-lomba masuk ke dalam lingkaran setan korupsi. Korupsi menjadi kanker
yang akut di negeri ini. Padahal, tidak ada dalam sejarah peradaban bangsa,
negara mampu menahan kanker korupsi. Hukum yang terbolak-balik sepertinya
menjadi pemandangan lazim. Penegakan hukum (law
enforcement), kesamaan di muka hukum (equality
before the law), dan keadilan menjadi barang mewah yang harus
diperjuangkan. Hukum tebang pilih rasanya mulai terbiasa terdengar di telinga.
Kalau hukum saja karut-marut, jangan tanya
lagi soal moralitas atau etika bangsa. Moralitas terutama para politisi tidak
mudah ditemukan saat ini. Moralitas telah hilang sejak di jalanan hingga
gedung-gedung mewah mentereng di parlemen atau lembaga pemerintah. Di jalanan,
banyak pejabat justru dengan arogan menggunakan jalur terlarang untuk dilewati.
Antre di imigrasi bandara saja juga tidak mau. Mentang-mentang berkuasa, pamer
arogansi. Tidak ada rasa bersalah sama sekali.
Sementara itu, rakyat harus benar-benar
bekerja lebih keras untuk mendapatkan makan. Ekonomi dengan pertumbuhan terus
meningkat itu juga bisa dianggap sebagai transisi dari kolonialisasi menuju
neokolonialisasi. Gambaran proses transisi itu antara lain semakin
terperosoknya perekonomian Indonesia ke dalam penyelenggaraan agenda-agenda
ekonomi neoliberal setidaknya dalam satu dekade belakangan ini.
Buntutnya, tidak hanya dominasi modal asing
dalam perekonomian kita yang makin meningkat, tetapi yang penting lagi adalah
kekuatan kapital itu cenderung menjadi faktor dominan dalam proses perebutan
kekuasaan dan perumusan kebijakan di negeri ini. Maka, pengorganisasian
kekuatan ekonomi rakyat untuk melembagakan demokrasi ekonomi harus secara jelas
ditujukan untuk mencegah berlanjutnya ekspansi kapitalisme dan cengkeraman
neokolonialisme.
Salah Desain Demokrasi
Ada apa dengan republik ini? Yang terjadi
saat ini, bangsa kita tengah mengalami disorientasi nilai. Kita rasanya
mengalami disorientasi mengenai hal-hal apa yang benar, apa yang baik, atau apa
yang indah. Kita juga mengalami disorientasi hidup berbangsa dan bernegara
dengan dasar kultural dalam berperikemanusiaan, berkeadilan sosial, dan
memuliakan hidup. Kita juga mengalami disorientasi atas hasil kreatif manusia
dengan nilai intrinsiknya, yang berubah menjadi pembendaan dengan nilai tukar
uang.
Semakin runyam karena kita telah melakukan
kesalahan serius dengan institusi demokrasi. Desain demokrasi yang kita
kembangkan lebih memberikan peluang bagi kepemimpinan atas dasar kekuatan-
kekuatan alokatif ketimbang kekuatan-kekuatan otoritatif. Demokrasi lebih
memberikan ruang bagi kekuatan daya beli daripada kekuatan-kekuatan prestasi.
Demokrasi saat ini tidak punya kesanggupan untuk mengoreksi tradisi patrimonial
yang diwariskan rezim sebelumnya, bahkan bisa jauh lebih buruk.
Faktanya, demokrasi kita dikuasai orang-orang
tua (gerontokrasi), yang mampu menghipnosis anak-anak muda. Kaum muda tak mampu
menarik garis batas antara masa lalu dan masa depan. Di tengah kondisi
tersebut, yang paling krusial adalah kemunculan pemimpin muda. Tidak sekadar
usia muda, tetapi yang sangat penting membawa visi perubahan. Generasi
perubahanlah yang dapat ”memudakan” kembali politik Indonesia.
Untuk menghadirkan generasi perubahan,
diperlukan creative destruction atas
kejamakan politik hari ini dengan melakukan transformasi institusional dan
kultural. Tanpa ada generasi perubahan, mustahil muncul pemimpin muda yang
mampu menyegarkan atmosfer politik dan hukum republik ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar