Selasa, 24 Juli 2012

Evasi Eksekutif


Evasi Eksekutif
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia,
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
REPUBLIKA, 24 Juli 2012


Selama beberapa hari ini kita menyaksikan se­jumlah menteri, terutama Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, menin­jau beberapa pasar di sejumlah kota. Rangkaian aktivitas ini, menurut pemerintah, untuk memantau dan menyelesaikan melambungnya harga bahan kebutuhan pokok ma­syarakat, yang biasa disebut sembako. Dengan langsung terjun ke lapangan dan bukan hanya duduk di belakang meja menerima laporan anak buah, para menteri merasa seolah fully in charge dengan persoalan aktual.

Kita hargai inisiatif pemerintah yang peduli pada penderitaan rakyat saat Ramadhan. Masalahnya, apakah cara berkunjung secara beramai-ra­mai ke pasar sambil menanyai har­ga sembako kepada para penjual merupakan cara efektif untuk me­redam gejolak harga? Bisakah mereka menemukan jawaban apa yang terjadi di balik kenaikan harga? Namun, yang terjadi para pedagang mengeluh karena kunjungan tersebut cukup merepotkan. Para menteri mengklaim stok lebih dari cukup, tapi kenyataannya harga sembako tetap tinggi.

Cara kerja beramai-ramai ke pasar bak rombongan sirkus sesungguhnya hanya menunjukkan pemerintah telah kehilangan fokus dalam bekerja dan tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Presiden pun idem dito. Se­bagai Ketua Dewan Ketahanan Pa­ngan, Presiden SBY hanya sibuk mengimbau para menteri. Kesibukan demikian membuat Presiden dan para menteri hampir selalu bersikap evasi, menunda-nunda berhadapan dengan masalah (Pabottingi, 2010).

Mereka seolah-olah tidak menya­dari sebagai pemimpin eksekutif yang inisiatif dan eksekusi keputusan berada di tangannya. Kalau sekadar untuk mengecek harga, para menteri bisa menugaskan staf. Dengan cara diam-diam, bukan rombongan besar dan resmi, tidak hanya bisa dicari tahu harga-harga yang sebenarnya di pasar, tetapi ada peluang mengetahui mengapa kenaikan harga sembako itu bisa gila-gilaan seperti sekarang. Hasil blusukan para staf itu bisa menjadi bahan para menteri untuk merumuskan kebijakan yang lebih matang. Dengan ditopang informasi akurat dari lapangan, terbuka peluang untuk merumuskan kebijakan yang lebih kredibel, efektif, dan menyentuh substansi persoalan.

Berkali-kali pemerintah menjelas­kan, kenaikan harga sembako terjadi karena ada masalah suplai (produksi). Perilaku iklim yang kacau membuat produksi pangan terganggu. Sesuai hukum supply-demand, saat pasokan terbatas, sementara permintaan tetap, harga akan naik. Argumen ini hanya cocok untuk menjelaskan kenaikan harga komoditas hortikultura yang gampang rusak.

Teori supply-demand tak cukup memadai menjelaskan kenaikan harga beras, gula, terigu, atau minyak goreng. Sumber daya tidak terorganisasikan dan teralokasikan efisien. Ini pertanda gagalnya kelembagaan pasar bekerja.

Dalam kondisi demikian, pemain yang kuat berpeluang mengeksploitasi keadaan guna mengeruk keuntungan. Kasus kenaikan harga cabai merah baik sebagai contoh. Siapa penikmat kenaikan harga cabai? Petani tentu untung. Tapi, keuntungan terbesar sebetulnya dinikmati pedagang. Ka­ rena pasar beras bersifat oligopoli, kenaikan harga hanya dinikmati se­ gelintir pihak. Dalam komoditas gula, beleid tata niaga saat ini membuat pasar berada di tangan tidak lebih delapan pedagang, yang biasa disebut “delapan samurai“.

Pada minyak goreng, pasarnya bersifat oligopoli. Enam perusahaan menguasai lebih 70 persen pangsa pasar minyak goreng. Pada terigu, perusahaan pengolah gandum hanya empat buah, bahkan satu perusahaan (Bogasari) pangsa pasarnya cukup do­minan (70 persen). Berbagai kebijakan perdagangan pemerintah belum ampuh mengoreksi konsentrasi pasar. Itu semua menunjukkan ada masalah dalam kelembagaan, baik fisik maupun nonfisik, dalam sem­ bako. Selama ini pemerintah ter­ buai meliberalisasi pasar, tetapi abai membangun unsur-unsur lain kelembagaan yang menjamin me­kanisme pasar berlangsung adil dan mengabdi bagi kesejahteraan rakyat. Dengan mengadopsi kebijakan neoli­beral, segala sesuatu diserahkan pada 'tangan ajaib'-nya Adam Smith.

Dalam stabilisasi kebutuhan pokok, contoh terbaik adalah Bulog. Bulog yang dulu perkasa kini tak ubahnya pasukan tempur tanpa senjata. Ini terjadi setelah satu per satu bisnis, privillege, dan sumber keuntungan Bulog dipreteli. Monopoli sejumlah komoditas strategis (beras, gula, kedelai, minyak goreng, dan terigu) dihapuskan, dana murah dari KLBI dipangkas, dan captive market (PNS+TNI) ditiadakan. Tanpa amunisi memadai, Bulog masih diwajibkan mengemban misi sosial: stabilisasi harga pangan dan menjaga ketahanan pangan nasional. Padahal sebagai pe­ rum, Bulog juga dituntut untung.

Centang perenang ini harus diakhiri. Negeri ini banyak kehilangan energi, waktu, dan tenaga untuk menuntaskan masalah yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Pertama, merevitalisasi Bulog lengkap dengan jaringan distribusi dan dukungan finansial. Menghidupkan kembali program pengelolaan stok komoditas strategis tertentu, tidak hanya beras.

Kedua, untuk rakyat miskin, petani dan industri berbasis pangan perlu dibuat kebijakan spesifik. Untuk orang miskin, tujuan kebijakan adalah memberi akses pangan murah kepada mereka. Untuk petani dan industri, tujuan kebijakan untuk memberi dukungan agar petani jadi kompetitif dan menciptakan medan persaingan yang adil. Ini memang perlu dana besar, tapi hasilnya akan setimpal: pemerintah tidak lagi reaktif, harga kebutuhan pokok lebih stabil, dan guncangan politik bisa dihindari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar