Evasi
Eksekutif
Khudori
; Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia,
Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
REPUBLIKA, 24 Juli 2012
Selama
beberapa hari ini kita menyaksikan sejumlah menteri, terutama Menteri
Perdagangan Gita Wirjawan, meninjau beberapa pasar di sejumlah kota. Rangkaian
aktivitas ini, menurut pemerintah, untuk memantau dan menyelesaikan
melambungnya harga bahan kebutuhan pokok masyarakat, yang biasa disebut
sembako. Dengan langsung terjun ke lapangan dan bukan hanya duduk di belakang
meja menerima laporan anak buah, para menteri merasa seolah fully in charge dengan persoalan aktual.
Kita
hargai inisiatif pemerintah yang peduli pada penderitaan rakyat saat Ramadhan.
Masalahnya, apakah cara berkunjung secara beramai-ramai ke pasar sambil
menanyai harga sembako kepada para penjual merupakan cara efektif untuk meredam
gejolak harga? Bisakah mereka menemukan jawaban apa yang terjadi di balik
kenaikan harga? Namun, yang terjadi para pedagang mengeluh karena kunjungan
tersebut cukup merepotkan. Para menteri mengklaim stok lebih dari cukup, tapi
kenyataannya harga sembako tetap tinggi.
Cara
kerja beramai-ramai ke pasar bak rombongan sirkus sesungguhnya hanya
menunjukkan pemerintah telah kehilangan fokus dalam bekerja dan tidak memahami
apa yang sebenarnya terjadi. Presiden pun idem
dito. Sebagai Ketua Dewan Ketahanan Pangan, Presiden SBY hanya sibuk
mengimbau para menteri. Kesibukan demikian membuat Presiden dan para menteri
hampir selalu bersikap evasi, menunda-nunda
berhadapan dengan masalah (Pabottingi, 2010).
Mereka
seolah-olah tidak menyadari sebagai pemimpin eksekutif yang inisiatif dan
eksekusi keputusan berada di tangannya. Kalau sekadar untuk mengecek harga,
para menteri bisa menugaskan staf. Dengan cara diam-diam, bukan rombongan besar
dan resmi, tidak hanya bisa dicari tahu harga-harga yang sebenarnya di pasar,
tetapi ada peluang mengetahui mengapa kenaikan harga sembako itu bisa
gila-gilaan seperti sekarang. Hasil blusukan para staf itu bisa menjadi bahan
para menteri untuk merumuskan kebijakan yang lebih matang. Dengan ditopang
informasi akurat dari lapangan, terbuka peluang untuk merumuskan kebijakan yang
lebih kredibel, efektif, dan menyentuh substansi persoalan.
Berkali-kali
pemerintah menjelaskan, kenaikan harga sembako terjadi karena ada masalah
suplai (produksi). Perilaku iklim yang kacau membuat produksi pangan terganggu.
Sesuai hukum supply-demand, saat
pasokan terbatas, sementara permintaan tetap, harga akan naik. Argumen ini
hanya cocok untuk menjelaskan kenaikan harga komoditas hortikultura yang
gampang rusak.
Teori
supply-demand tak cukup memadai
menjelaskan kenaikan harga beras, gula, terigu, atau minyak goreng. Sumber daya
tidak terorganisasikan dan teralokasikan efisien. Ini pertanda gagalnya
kelembagaan pasar bekerja.
Dalam
kondisi demikian, pemain yang kuat berpeluang mengeksploitasi keadaan guna
mengeruk keuntungan. Kasus kenaikan harga cabai merah baik sebagai contoh.
Siapa penikmat kenaikan harga cabai? Petani tentu untung. Tapi, keuntungan
terbesar sebetulnya dinikmati pedagang. Ka rena pasar beras bersifat
oligopoli, kenaikan harga hanya dinikmati se gelintir pihak. Dalam komoditas
gula, beleid tata niaga saat ini membuat pasar berada di tangan tidak lebih
delapan pedagang, yang biasa disebut “delapan samurai“.
Pada
minyak goreng, pasarnya bersifat oligopoli. Enam perusahaan menguasai lebih 70
persen pangsa pasar minyak goreng. Pada terigu, perusahaan pengolah gandum
hanya empat buah, bahkan satu perusahaan (Bogasari) pangsa pasarnya cukup dominan
(70 persen). Berbagai kebijakan perdagangan pemerintah belum ampuh mengoreksi
konsentrasi pasar. Itu semua menunjukkan ada masalah dalam kelembagaan, baik
fisik maupun nonfisik, dalam sem bako. Selama ini pemerintah ter buai
meliberalisasi pasar, tetapi abai membangun unsur-unsur lain kelembagaan yang
menjamin mekanisme pasar berlangsung adil dan mengabdi bagi kesejahteraan
rakyat. Dengan mengadopsi kebijakan neoliberal, segala sesuatu diserahkan pada
'tangan ajaib'-nya Adam Smith.
Dalam
stabilisasi kebutuhan pokok, contoh terbaik adalah Bulog. Bulog yang dulu
perkasa kini tak ubahnya pasukan tempur tanpa senjata. Ini terjadi setelah satu
per satu bisnis, privillege, dan
sumber keuntungan Bulog dipreteli. Monopoli sejumlah komoditas strategis
(beras, gula, kedelai, minyak goreng, dan terigu) dihapuskan, dana murah dari
KLBI dipangkas, dan captive market
(PNS+TNI) ditiadakan. Tanpa amunisi memadai, Bulog masih diwajibkan mengemban
misi sosial: stabilisasi harga pangan dan menjaga ketahanan pangan nasional.
Padahal sebagai pe rum, Bulog juga dituntut untung.
Centang
perenang ini harus diakhiri. Negeri ini banyak kehilangan energi, waktu, dan
tenaga untuk menuntaskan masalah yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Pertama,
merevitalisasi Bulog lengkap dengan jaringan distribusi dan dukungan finansial.
Menghidupkan kembali program pengelolaan stok komoditas strategis tertentu,
tidak hanya beras.
Kedua, untuk rakyat miskin, petani
dan industri berbasis pangan perlu dibuat kebijakan spesifik. Untuk orang
miskin, tujuan kebijakan adalah memberi akses pangan murah kepada mereka. Untuk
petani dan industri, tujuan kebijakan untuk memberi dukungan agar petani jadi
kompetitif dan menciptakan medan persaingan yang adil. Ini memang perlu dana
besar, tapi hasilnya akan setimpal: pemerintah tidak lagi reaktif, harga
kebutuhan pokok lebih stabil, dan guncangan politik bisa dihindari. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar