Selasa, 24 Juli 2012

Membela Bahasa Indonesia di RSBI

Membela Bahasa Indonesia di RSBI
Maryanto ; Pemerhati Politik Bahasa
KORAN TEMPO, 20 Juli 2012


Tidak surut animo orang tua memasukkan anak ke Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Padahal sekolah yang berlabel RSBI ini sudah digugat agar dibubarkan. Gugatan diajukan kepada Mahkamah Konstitusi oleh Koalisi Anti-Komersialisasi Pendidikan dengan dukungan berbagai unsur masyarakat. Sekolah ini dianggap inkonstitusional karena tidak membela bahasa Indonesia.

Di lembaga RSBI, bahasa Indonesia terlihat makin merosot harkat dan martabatnya; makin direndahkan oleh kehadiran bahasa selain Indonesia, yaitu bahasa Inggris, sebagai bahasa pendidikan. Kehadiran bahasa Inggris sudah membuat warga yang belajar di RSBI berkasta tinggi, seiring dengan tingginya biaya RSBI. Sementara itu, warga masyarakat yang tidak mampu memenuhi tuntutan biaya itu terpaksa memilih sekolah reguler yang berbasis bahasa Indonesia, dan mereka pun rela menerima stigma kasta rendah. Cita-cita bangsa untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan Indonesia sudah tergadai demi pendidikan bertaraf internasional.

Bilingual
Sistem RSBI diselenggarakan dengan mengadopsi teori bilingualisme pendidikan. Secara teoretis, tidaklah salah sistem pendidikan Indonesia dirancang berbentuk bilingual atau--bahkan--multilingual. Manusia Indonesia yang terdidik dengan baik, seperti Sukarno dan kawan-kawan pendiri kebangsaan Indonesia, memang tidak monolingual. Permasalahan RSBI sekarang terletak pada perencanaan pemerolehan dua bahasa: bilingualisme diakronis atau sinkronis?

Melalui sistem RSBI, anak sekolah sekarang dituntut menuturkan dua bahasa seketika. Ketika anak hendak belajar berhitung, misalnya, buku teks yang disuguhkan kepada mereka harus berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris. Faktanya, sebagaimana didalilkan para penggugat RSBI, bahasa Inggris lebih difokuskan. Bahkan, seperti dalam terbitan Yudhistira, judul buku teks untuk anak sekolah dasar ini pun bukan lagi “Matematika”, melainkan “Mathematics”.

Hopefully this book will help you to study; do not forget to read the instructions; ask your teachers or your parents if there are parts that you do not understand. Itu sekadar cuplikan dari kata pengantar (tanpa bahasa Indonesia) yang ditulis penerbit Yudhistira (2009) dalam buku Mathematics for Elementary School Year VI. Di dalam buku pendidikan dasar itu tampak begitu besar tuntutan agar guru dan orang tua juga berbahasa Inggris untuk membimbing anak belajar matematika. 

Masih dari contoh buku Yudhistira tersebut, terdapat pernyataan bilangan kubik adalah bilangan hasil perpangkatan tiga (halaman 38). Pernyataan itu belum memberikan definisi terbaik dan penjelasan arti “pangkat tiga”, tetapi anak sudah diajak buru-buru berbahasa Inggris untuk memahami pernyataan “Cubic number is the result of cubing” (hlm. 39) yang tidak lebih jelas. Ketika masih bingung dengan perintah ”Ayo kerjakan!” pada halaman pertama itu, anak juga secara langsung diperintah dalam bahasa Inggris “Let’s do it!” pada halaman berikutnya. Ketika itu, bisa jadi mereka hanya terbengong; tugas latihan matematika itu tidak dikerjakan.

Kesibukan anak di ruang kelas RSBI akan berkutat hanya pada tugas menerjemahkan teks bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris sebagai bahasa target. Lembaga sekolah mereka pun berubah fungsi menjadi bak biro penerjemahan. Ketika itu pula, rupa-rupa biaya bisa dimunculkan, misalnya dengan mendatangkan penutur asli bahasa Inggris untuk mengajarkan materi pendidikan kepada anak sekolah di Indonesia. Dari situlah komersialisasi pendidikan mulai terjadi.

Tuntutan bilingualisme sinkronis dalam sistem RSBI tersebut sulit dimasukkan ke akal sehat. Bayangkan, anak, yang hanya memiliki satu mulut dan--tentunya--satu lidah, harus dipaksa meluncurkan tuturan dua bahasa dalam setiap peristiwa komunikasi pendidikan. Dalam ruang pendidikan itu cuma terlihat jelas mulut anak yang komat-kamit; tidak jelas perilaku atau karakter bahasa mereka. Pendidikan bilingual yang dipraktekkan dalam RSBI itu tampak bertolak belakang dengan gerakan pembangunan karakter bangsa.

Pengawasan
Sangat lemah pengawasan terhadap bahasa pendidikan RSBI. Skema RSBI tentu masih bisa ditata ulang untuk membentuk karakter bangsa Indonesia melalui pendekatan diakronis. Bilingualisme pendidikan tidak berarti bahwa dua bahasa bisa digunakan sekaligus. Penggunaan dua bahasa atau lebih sebagai bahasa pendidikan dilakukan secara bertahap. Pada tahap pendidikan dasar, terutama kelas-kelas awal sekolah dasar dan prasekolah, pendidikan perlu diproses dengan berbasis bahasa ibu: bahasa yang diperoleh anak dari daerah tempat tinggal masing-masing.

Perintisan sekolah agar berstandar internasional mestinya dimulai dengan penggunaan bahasa ibu untuk membuka mata anak agar melek aksara. Literasi awal yang tidak berbasis bahasa ibu, seperti praktek RSBI sekarang, sama halnya dengan mencabut anak dari akar kearifan lokal. Bahasa lokal--yang hidup di tempat tinggal anak (bukan bahasa yang hampir atau telah punah)--perlu dirancang pemanfaatannya sebagai bahasa pendidikan Indonesia secara linear dengan bahasa nasional.

Lembaga RSBI bisa jadi pelopor pemanfaatan bahasa lokal dan nasional untuk pendidikan yang mutunya dirancang berstandar internasional. Internasionalisasi pendidikan Indonesia tidak selalu identik dengan penggunaan bahasa Inggris. Dalam kaitan dengan itu, sangat menarik pengalaman dari seorang pendidik profesional yang disewa untuk mengajar pada sebuah lembaga pendidikan di Surabaya. Walaupun berlatar belakang penutur bahasa Inggris, dengan bersemangat sang guru membela bahasa Indonesia di ruang kelas bidang studi non-bahasa. Sayang sekali, pendekatan pengajaran yang berbasis bahasa Indonesia itu justru diprotes oleh siswa dan lembaga.

Pembelaan bahasa Indonesia di RSBI tidak berarti mencegah penggunaan bahasa selain Indonesia. Pencegahan itu perlu dilakukan hanya dalam konteks bahasa pendidikan. Sebaliknya, dalam konteks pendidikan bahasa, lembaga RSBI perlu difasilitasi untuk membuka lebar-lebar ruang kelas bahasa Inggris dan, jika perlu, bahasa internasional yang lain, seperti bahasa (Cina) Mandarin. Pembukaan kelas mata pelajaran bahasa itu boleh dimulai di sekolah dasar.

Semua siswa RSBI perlu diberi hak otonom untuk memilih mata pelajaran bahasa tersebut sesuai dengan minat dan keperluannya. Jika mereka berminat belajar bahasa Inggris untuk berhitung pada tingkat lanjut, mata pelajaran bahasa itu untuk keperluan khusus (English for specific purposes) perlu disediakan dan tidak dicampur aduk dengan mata pelajaran berhitung atau matematika yang wajib diantar dengan bahasa Indonesia yang sebaik-baiknya. Sepanjang penyelenggara RSBI sanggup melakukan pembelaan bahasa Indonesia seperti itu, konsep RSBI tidak perlu dihapus oleh MK.

Tanpa pengawasan internal dan eksternal untuk kembali berorientasi pada bahasa (pendidikan) Indonesia, penyelenggaraan sistem RSBI akan tetap didominasi oleh pemangku kepentingan--termasuk orang tua siswa--yang umumnya sedang dilanda gejala kekaguman (xenofilia) terhadap pendidikan yang berstandar luar negeri. Gejala itu lebih mengkhawatirkan apabila RUU Perguruan Tinggi yang baru-baru ini disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dilaksanakan, tanpa pengawasan, untuk mengundang lembaga pendidikan tinggi berstandar luar negeri hadir di Indonesia. 

Sekarang, siswa RSBI sudah patut dikhawatirkan akan terdidik untuk menjunjung tinggi bahasa internasional, bahasa Inggris. Kalau komitmen Sumpah Pemuda 1928 sudah dipelesetkan, negara dan bangsa ini--cepat atau lambat--bakal terperosok dan jatuh. Waduh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar