Ketika
Harga Bahan Pokok Melambung
Tulus Abadi ; Anggota
Pengurus Harian YLKI
KORAN TEMPO, 24 Juli 2012
Dalam konteks agama (Islam),
sangat dianjurkan bagi masyarakat muslim untuk menyambut bulan Ramadan dengan
perasaan sukacita. Namun, dalam konteks ekonomi mikro seperti sekarang, rasanya
perasaan sukacita itu menjadi hal yang mustahil, khususnya bagi masyarakat yang
berdaya beli rendah. Pasalnya, awal bulan Ramadan justru diserimpung oleh harga
bahan kebutuhan pokok yang melambung.
Bagaimana tidak sakit hati. Harga
telur ayam, yang biasanya cuma Rp 18 ribu per kilogram, kini melambung menjadi
Rp 22 ribu per kg. Demikian juga harga daging ayam, yang rata-rata hanya Rp 30
ribu per kg, ikut terkerek menjadi Rp 40 ribu per kg. Yang membuat sesak napas adalah
harga daging sapi, yang pasarannya hanya Rp 70 ribu per kg, kini rata-rata
mencapai Rp 85-100 ribu per kg. Di Kabupaten Bireuen, Aceh, konon harga daging
sapi malah mencapai Rp 120 ribu per kg. Alamak!
Pada skala mikro (hukum pasar),
kondisi ini bisa dipahami. Hukum pasar menyebutkan, jika terjadi permintaan (demand)
naik, harga pun juga akan naik. Pada saat bulan puasa seperti ini, kebutuhan
masyarakat akan bahan pokok memang meningkat drastis.
Misalnya, menurut
Kementerian Perdagangan, konsumsi gula pasir meningkat hingga 30 persen dari
biasanya. Kondisi semacam ini jelas akan menimbulkan kontraksi, dan efek
samping yang paling kentara adalah kenaikan harga. Namun, jika terjadi fenomena
yang demikian, lazimnya kenaikan harga itu terjadi pada kisaran 10 persen saja,
atau bahkan kurang. Atau setidaknya setara dengan angka inflasi yang sedang
berjalan. Fakta berbicara lain, kenaikan harga bahan pokok di awal bulan puasa
ini rata-rata mencapai lebih dari 30 persen. Maka, hal ini merupakan anomali,
yakni terjadi distorsi pasar yang amat serius dan sistemik.
Lalu apa penyebab sistemik yang
kemudian menimbulkan distorsi pasar, yang mengakibatkan masyarakat konsumen
buntung? Setidaknya ada beberapa hal yang layak dijadikan tertuduh atas hal
ini. Pertama, perilaku spekulan atau pedagang besar. Diduga, mereka melakukan
penimbunan kebutuhan pokok. Permintaan yang sedang meninggi, sedangkan pasokan
tetap (atau bahkan menurun), sudah tentu akan melambungkan harga barang
tersebut. Kedua, distribusi yang buruk. Kondisi ini bisa dipengaruhi oleh
ketidaksiapan infrastruktur, seperti jalan yang rusak. Kemacetan di pelabuhan
Merak-Bakauheni hingga berhari-hari jelas akan mengganggu arus pasokan
kebutuhan pokok.
Ketiga, dominannya market
mechanism. Kini, semua komoditas kebutuhan pokok (kecuali beras) diserahkan
sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Hanya beras yang masih bisa dikendalikan
oleh Bulog. Sedangkan bahan pokok yang lain nyaris tak ada sentuhan
(intervensi) oleh negara, baik pada konteks pasokan, distribusi, maupun harga.
Karena itu, jika terjadi distorsi pada bahan pokok dimaksud seperti sekarang
ini--praktis negara (pemerintah) bak orang linglung, tak mampu melakukan
tindakan apa pun, selain hanya operasi pasar. Sedangkan kita tahu, operasi
pasar hanyalah tindakan instan, yang tidak mempunyai dampak signifikan.
Untuk mengatasi hal ini, pada
konteks kebijakan makro, bukanlah perkara gampang. Diperlukan sebuah terobosan
yang radikal, baik pada konteks kebijakan maupun atau regulasi. Meski demikian,
bukan berarti pemerintah harus mati angin. Dalam konteks penegakan hukum,
pemerintah bisa menjerat para spekulan (yang terbukti melakukan penimbunan
barang) dengan tindak pidana ekonomi. Instrumen hukum untuk menjerat para
spekulan dengan sangkaan tindak pidana ekonomi sangatlah kuat. Tinggal
pemerintah, khususnya aparat penegak hukum, punya nyali atau tidak. Tanpa jerat
tindak pidana ekonomi, dengan hukuman pidana yang setimpal, tidak akan timbul
efek jera bagi pelakunya. Secara mendesak, perbaikan infrastruktur vital, seperti
perbaikan jalan, jembatan, dan pelabuhan, tak bisa ditunda. Kondisi
infrastruktur yang buruk mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, yakni naiknya
ongkos produksi bagi pelaku usaha, dan efek paling konkret adalah konsumen
akhir. Tingginya dana subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang tak kurang dari Rp
200 triliun, seharusnya bisa dialokasikan untuk perbaikan dan pembangunan
infrastruktur. Tetapi apa lacur, kalangan “koboi Senayan” telah menyandera
kebijakan subsidi BBM menjadi kepentingan politik jangka pendek.
Dari sisi ekonomi makro, harus
mulai dipikirkan dengan sangat keras, yakni bagaimana mengembalikan kehadiran
negara terhadap kebijakan bahan pokok. Pemerintah harus membuat badan penyangga
(semacam Bulog), sehingga jika terjadi gejolak pada bahan pokok tersebut, baik
karena pasokan maupun harga, pemerintah bisa intervensi langsung.
Tidak seperti
sekarang, pemerintah justru hanya menjadi penonton belaka. Lihatlah negeri
seperti Malaysia, dan bahkan Australia, yang mempunyai regulasi yang bernama Price Control Act. Dengan regulasi
semacam ini, kedua pemerintah negeri jiran itu bisa melakukan intervensi
langsung terhadap sembilan bahan pokok, di antaranya telur, daging, minyak
goreng, bahkan susu. Pemerintah, dan juga kalangan DPR, harus mulai melek matanya,
bagaimana mengurangi--bahkan kalau perlu menghilangkan--kebijakan mekanisme
pasar pada harga dan pasokan bahan kebutuhan pokok.
Bagaimana mungkin komoditas yang menyangkut hidup-matinya warga
negara justru diserahkan kepada mekanisme pasar, yang jelas-jelas sangat
kapitalistik?
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar